Lanjutan dari warta tanggal 18 Mei 2014
Alasan lain untuk menolak perpacaran/pernikahan yang tidak seiman berhubungan dengan perbedaan nilai hidup. Sebagaimana kita ketahui, penilaian seseorang terhadap banyak hal ditentukan oleh teologi orang tersebut. Sebagai contoh, mereka yang mempercayai takdir cenderung bersikap masa bodoh atau fatalis terhadap masa depan. Beberapa dekade yang lalu ada cerita tentang seorang penganut Saksi Yehuwah yang lebih memilih anaknya mati kehabisan darah daripada menyetujui upaya transfusi darah. Mengapa? Karena dalam ajaran Saksi Yehuwah waktu itu transfusi darah dianggap keliru dan dapat disamakan dengan kanibalisme.
Perbedaan nilai-nilai kehidupan pada gilirannya akan menentukan tindakan seseorang. Hal ini bahkan terjadi pada pernikahan Kristen yang berbeda aliran teologi. Misalnya, suami yang menganut Gerakan Kesembuhan-Iman (Faith-Healing Movement) akan menganggap keputusan isteri membawa anak mereka yang sakit ke dokter sebagai tindakan yang kurang beriman. Persoalan akan menjadi lebih rumit apabila pasangan ini juga menghadapi kekurangan secara ekonomi. Apakah anak tersebut perlu dibawa ke dokter?
Suatu kali terjadi pertengkaran antara suami dan isteri seputar alat kontrasepsi. Sesuai dengan ajaran agamanya, suami bersikeras untuk menolak pembatasan jumlah anak melalui alat kontrasepsi. Di sisi lain, dalam agama yang dianut oleh isterinya penggunaan alat KB dianggap sah-sah saja. Di samping itu isteri juga mempertimbangkan keadaan ekonomi dan kemampuan diri dalam memberikan perawatan anak yang optimal. Pertengkaran terus berlanjut sampai akhirnya si suami menyerah dengan keadaan. Ia merasa bahwa ajaran agamanya sulit dicocokkan secara bijaksana dengan realita hidup.
Kita masih dapat menambahkan contoh-contoh lain yang terkait. Namun, inti yang disampaikan tetap sama: perbedaan teologi menyebabkan perbedaan nilai hidup dan pada gilirannya akan menentukan tindakan seseorang. Mengapa perbedaan nilai hidup ini perlu untuk dipikirkan secara serius?
Relasi pacaran atau pernikahan adalah sarana yang digunakan Allah untuk mendewasakan kerohanian kita. Seandainya kita membangu relasi dengan orang yang berbeda teologi dan nilai hidup, maka proses pembelajaran itu akan menjadi lebih sulit. Perdebatan dan pertengkaran menjadi tak terelakkan.
Banyak orang berusaha menghindari perselisihan semacam ini dengan cara tidak mau membicarakannya. Sikap ini jelas tidak berdampak positif bagi pertumbuhan rohani. Lagipula, sikap ini sulit untuk dipertahankan secara konsisten sepanjang kehidupan pernikahan. Pada akhirnya kita pasti akan dipaksa untuk membicarakannya, karena kita sudah tidak tahan menanggung semua perbedaan itu. Jika pembicaraan ini baru dilakukan di tengah pernikahan, hal itu akan menjadi terlambat.
Apakah kita ingin memiliki relasi yang berkualitas? Apakah kita rindu bertumbuh secara rohani melalui relasi percintaan kita? Maukah kita menyiapkan sebuah pernikahan yang meminimalisasi persoalan sebisa mungkin? Carilah pasangan yang seiman dan berdiri di atas kebenaran!