Bertumbuh Dalam Lingkungan Relasional (Kolose 3:12-14)

Posted on 06/09/2020 | In Teaching | Leave a comment

Sebuah pepatah terkenal berkata: “tidak ada manusia yang seperti pulau, lengkap pada dirinya sendiri; setiap orang adalah sebuah penggalan dari benua, sebuah bagian dari yang lebih utama” (John Donne, tahun 1624). Makna dari kalimat ini adalah adanya saling ketergantungan antar manusia. Seseorang membutuhkan yang lain.

Kebenaran di atas sejalan dengan prinsip Alkitab. Hanya saja Alkitab memberi penekanan yang lebih sekaligus menyediakan landasan yang lebih doktrinal. Sebagai contoh, kebersamaan di antara orang percaya memegang peranan sentral dalam pertumbuhan rohani seseorang. Dalam kedaulatan-Nya Allah sudah mengatur agar pertumbuhan rohani terjadi dalam komunitas rohani. Jadi, pertumbuhan spiritual bersifat individual, tetapi sarananya bersifat komunal.

Walaupun demikian, komunitas spiritual yang baik tidak mungkin tercipta tanpa keterlibatan masing-masing bagiannya. Setiap orang memainkan peranan sekaligus mendapatkan pertumbuhan di dalamnya. Ada saling ketergantungan yang dekat dan sehat. Ketergantungan yang dilandaskan pada karya penebusan Kristus. Tanpa berpusat pada penebusan Kristus ketergantungan antar orang percaya akan menjadi sebuah kecanduan dan pemberhalaan yang membahayakan.

Teks kita hari ini mengajarkan komunitas rohani seperti apa yang diperlukan bagi pertumbuhan rohani masing-masing anggota. Sikap apa saja yang perlu dikembangkan? Apa dasar teologis bagi semua sikap tersebut?

 

Identitas mendahului aktivitas (ayat 12a)

Sebagian orang cenderung berfokus pada apa, bukan pada mengapa. Dalam hampir semua kasus, sikap ini kurang bijaksana. Mengetahui alasan bagi sebuah tindakan seringkali memegang peranan sentral. Kita akan berhasrat melakukan tindakan-tindakan tertentu (apa) jika kita memahami alasannya (mengapa).

Itulah yang diajarkan oleh Paulus di bagian ini. Sebelum dia memberikan nasihat-nasihat praktis kepada jemaat di Kolose Paulus menerangkan dahulu siapa mereka di dalam Kristus. Mengetahui apa yang dilakukan Allah bagi kita seharusnya mendahului apa yang kita lakukan bagi Dia. Allah tidak membutuhkan apa-apa dari kita. Sebaliknya, kita membutuhkan segalanya dari Dia.  

Jika prinsip ini diabaikan, kita mudah terjebak pada kesombongan atau kekecewaan. Kesombongan, karena kita beranggapan bahwa semua kesalehan kita merupakan hasil usaha kita saja. Kita lupa bahwa ada Allah yang memulai dan menyertai kita. Kecewa, karena orang lain seringkali kurang menghargai perbuatan baik kita. Ada yang menganggap biasa, bahkan ada yang menyalahpahaminya. Dengan memahami bahwa apa yang kita lakukan kepada orang lain sesungguhnya hanyalah cerminan dari apa yang Allah sudah lakukan bagi kita, kita akan dimampukan untuk terus-menerus melakukannya, tidak peduli seperti apa respons orang terhadap tindakan kita.

Nah, dalam bagian ini Paulus mengingatkan bahwa jemaat Kolose (juga kita) adalah “orang-orang pilihan yang dikuduskan dan dikasihi oleh Allah” (3:12a). Bagi jemaat Kolose yang sudah mengenal kitab suci dengan baik, mereka pasti mengerti maksud dari frasa tadi. Paulus sedang menunjukkan bahwa siapa saja yang berada di dalam Kristus merupakan Israel yang sesungguhnya. Ide tentang “pilihan, kudus dan kasih” memang seringkali muncul bersamaan dalam konteks pemilihan bangsa Israel (misalnya, Ul. 7:6 “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya; Ul. 14:2 “sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu, dan engkau dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi”; bdk. Rm. 1:7; 1Pet. 2:9-10).

Rujukan-rujukan dari Perjanjian Lama di atas sekaligus menerangkan keterkaitan ide antara pilihan ilahi, kekudusan umat dan kesayangan Allah. Pilihan ilahi adalah dasar, kekudusan dan kesayangan adalah tujuan. Allah memilih umat-Nya supaya mereka menjadi komunitas yang kudus dan yang dikasihi oleh Allah.

Poin ini tentu saja tidak bertabrakan dengan teks-teks lain yang menyatakan bahwa pilihan kekal Allah didasarkan pada kasih-Nya (Ef. 1:4-5; 2Tim. 1:9). Allah memang memilih berdasarkan kasih-Nya, tetapi pilihan itu juga bertujuan untuk menciptakan sebuah komnunitas yang dikasihi-Nya. Umat pilihan merupakan komunitas yang terpisah dari dunia dan dikhususkan bagi Allah (3:12a “yang dikuduskan”). Umat pilihan juga merupakan komunitas yang selalu berada dalam hati Allah untuk dicintai (3:12a “yang dikasihi-Nya”). Inilah identitas orang-orang percaya.

Identitas yang baru jelas akan membawa perilaku yang baru. Cara kita membangun relasi dengan orang lain pasti berubah: perbedaan status sosial tidak lagi menjadi halangan untuk saling memerhatikan (3:11). Status sosial kita mungkin tidak berubah, namun cara pandang kita terhadap status itu pasti berubah.

 

Lingkungan yang relasional (ayat 12b-14)

Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari penebusan Kristus dalam diri seseorang bukan hanya pada tingkat pemahaman (konsep). Perubahan itu juga terwujud dalam sifat dan sikap tertentu yang sesuai dengan penebusan. Intinya terletak pada “sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu” (ayat 13b). Kita hanya menunjukkan apa yang Kristus sudah kerjakan bagi kita. Kita hanya mengulang (kepada orang lain) apa yang Kristus sudah lakukan (bagi kita).

Ada tiga hal yang harus ada dalam sebuah komunitas yang relasional, sehingga kondusif bagi pertumbuhan rohani masing-masing anggotanya.

Pertama adalah sifat-sifat yang baik (ayat 12b). Kata “kenakanlah” (endysasthe) merujuk balik pada metafora mengenakan pakaian di 3:9-10. Sama seperti pakaian yang menutupi tubuh seseorang, sifat-sifat baik dalam diri kita juga seharusnya terlihat dari luar. Bukan dipamerkan, tetapi memang tidak bisa tidak terlihat dari luar. Apa yang Kristus sudah lakukan di dalam kita akan terlihat dari luar melalui apa yang kita lakukan bagi orang lain.

Kita tidak akan menguraikan masing-masing sifat di ayat ini. Sebaliknya, kita hanya menyoroti bahwa semua sifat ini merupakan sifat-sifat ilahi. Lima istilah yang digunakan di sini seringkali dikenakan kepada Allah atau Kristus. Sebagai contoh, kemurahan (chrÄ“stotÄ“s) digunakan untuk kebaikan Allah dalam konteks hukuman Allah. Kebaikan-Nya diwujudkan melalui kesabaran-Nya terhadap orang berdosa (Rm. 2:4; 11:22). Terjemahan LAI:TB “kemurahan” cukup tepat mengungkapkan maksud Paulus. Secara khusus, kebaikan ini dinyatakan melalui penebusan Kristus Yesus (Ef. 2:7; Tit. 3:4). Sifat-sifat yang lain – yaitu kerendahhatian (tapeinophrosynÄ“), kelemahlembutan (prautÄ“s) dan kesabaran (makrothymia) – secara sempurna ditunjukkan oleh Yesus Kristus. Dia merendahkan diri-Nya sampai ke kayu salib (Flp. 2:6-8). Dia lemah-lembut (Mat. 11:29; 2Kor. 10:1) dan sabar (1Tim. 1:16; 2Pet. 3:15).

Poin yang ingin disampaikan oleh Paulus melalui pemilihan sifat-sifat ini sudah cukup jelas: yang hatinya dikuasai oleh Kristus pasti memiliki sifat-sifat Kristus. Sifat berbicara tentang sikap hati. Kondisi terdalam dalam diri kita. Jika Kristus bertahta di hati kita seharusnya sifat-sifat-Nya juga muncul dari sana.

Kedua, tindakan yang baik (ayat 13). Ayat ini berisi dua anak kalimat partisip: sabar (anechomenoi) dan ampuni (charizomenoi). Hampir semua terjemahan secara tepat menerjemahkan dua partisip ini sebagai kalimat perintah. Sayangnya, keterkaitan antara dua partisip dan sifat-sifat di ayat 12b tidak terlalu jelas. Apakah dua partisip ini merupakan tambahan bagi lima poin di ayat sebelumnya?

Berdasarkan konteks yang ada, ayat 13 lebih tepat dilihat sebagai keterangan tentang wujud konkrit dari sifat-sifat di bagian sebelumnya. Apa yang ada di dalam hati (sifat) pasti akan terlihat dalam aksi (tindakan). Harus ada kesesuaian antara apa yang ada di dalam dan di luar. Jika tidak, yang terjadi hanyalah pencitraan dan kemunafikan.

Terjemahan “sabar” (LAI:TB) masih kurang sempurna. Kata kerja anechomai secara hurufiah berarti “menanggung” (semua versi Inggris “bearing” atau “forbearing”). Apa yang ditanggung? Alkitab mengaitkan kata ini dengan situasi yang sulit (2Kor. 4:12; 2Tes. 1:4) atau orang yang susah berubah (Mat. 17:17//Mrk. 9:19//Luk. 9:41). Nasihat ini sekaligus menyiratkan bahwa gereja bukan tempat orang sempurna. Gereja adalah komunitas orang berdosa yang terus bergantung pada kasih karunia. Di dalamnya pasti ada beragam manusia dengan segala kelemahan mereka. Orang-orang yang sulit seringkali menciptakan situasi yang sulit. Setiap orang harus belajar menanggung sesamanya.

Partisip adalah “mengampuni” (charizomai). Pemilihan kata ini cukup menarik. Ada beberapa kata lain untuk “mengampuni,” tetapi Paulus memilih kata ini. Makna yang terkandung dalam kata ini berhubungan dengan kasih karunia (charis). Makna ini dipertegas dengan frasa “seperti Tuhan telah mengampuni kamu” (ayat 13b). Jadi, pengampunan seharusnya tidak ditentukan oleh sikap orang lain atau bobot kesalahan mereka. Pengampunan lahir dari hati, tanpa didikte oleh situasi.  Lebih spesifik, pengampunan lahir dari pengalaman manis bersama dengan Tuhan dan tidak dibatasi oleh pengalaman pahit bersama orang lain.

Ketiga, kasih (ayat 14). Secara tata bahasa, keterkaitan bagian ini dengan ayat 12-13 sebenarnya kurang begitu jelas. Secara hurufiah, teks ini dimulai dengan “di atas semuanya kasih”. Tapi apa arti frasa ini? Apa yang dimaksud dengan “semuanya”? Kata kerja apa yang seharusnya diasumsikan di bagian ini?

Walaupun demikian, pertimbangan konteks menyediakan informasi yang cukup jelas. Paulus sangat mungkin masih memikirkan kata kerja “mengenakan” di awal ayat 12. Hampir semua versi setuju dengan dugaan ini. Jika ini diterima, kita selanjutnya dapat menafsirkan “semuanya” sebagai sifat dan sikap di ayat 12-13. Ibarat pakaian jaman dulu yang terdiri dari minimal dua lapis, kasih adalah jubah yang ada di luar. Bagian yang yang paling menonjol. Maksudnya, kasih bukan hanya tambahan sifat yang baik, tetapi sifat yang terutama.

Kasih adalah pengikat dari semua sifat dan sikap tadi. Jika seseorang tidak memiliki kasih, dia akan sulit mengembangkan sifat-sifat di ayat 12b. Jika semua tindakan di ayat 13 tidak didorong oleh kasih, semua itu pasti akan sia-sia (bdk. 1Kor. 13:1-3). Ada banyak alasan untuk menanggung orang/keadaan yang sukar, tetapi kasih seharusnya berada di tempat utama. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko