Berpuasa (Matius 6:16-18)

Posted on 20/11/2016 | In Teaching | Leave a comment

Kewajiban agama terakhir yang disinggung oleh Tuhan Yesus di Matius 6 adalah berpuasa. Dalam Alkitab berpuasa bukanlah praktek relijius yang asing. Kata dasar “puasa” muncul 68 kali dalam Alkitab (perhitungan berdasarkan LAI:TB). Para pengikut Yohanes Pembaptis maupun golongan Farisi rutin berpuasa (9:14; Luk 5:33). Orang-orang Farisi bahkan berpuasa dua kali dalam seminggu (Senin dan Kamis), dan mereka sangat membanggakan hal tersebut (Luk 18:12). Gereja mula-mula juga menerapkan puasa, terutama dalam situasi-situasi yang khusus (Kis 13:2-3; 14:23). Salah satu tulisan Kristen kuno di akhir abad ke-1 Masehi (disebut Kitab Didachē) memuat nasihat kepada orang-orang Kristen untuk berpuasa di Hari Rabu dan Jumat supaya tidak sama dengan orang-orang Farisi yang munafik.

Di Matius 6:16-18 Tuhan Yesus tidak memerintahkan para pengikut-Nya untuk berpuasa. Ia mengasumsikan bahwa mereka sudah mempraktekkannya. Ia hanya mengajarkan tentang cara berpuasa yang benar.

Berpuasa yang keliru (ayat 16)

Sebagaimana dalam hal bersedekah (6:1-4) dan berdoa (6:5-13), sesuatu yang rutin dilakukan bukan berarti telah dilakukan secara benar. Ada banyak macam kesalahan dalam hal berpuasa, namun ayat 16 ini hanya menyoroti dari sisi motivasi. Beberapa orang yang mempraktekkan puasa telah berlaku munafik.

Apa yang dilakukan oleh mereka? Mengapa tindakan itu disebut munafik?

Orang-orang munafik melakukan dua hal supaya orang lain tahu bahwa mereka sedang berpuasa. Pertama, mereka memasang wajah muram (ayat 16a). Kata Yunani skythrōpos digunakan untuk menggambarkan kesedihan para pegawai Firaun yang dipenjara bersama-sama dengan Yusuf (Kej 40:7 LXX). Kata yang sama juga dipakai untuk menggambarkan kesedihan dan keputusasaan dua murid yang sedang memikirkan kematian Tuhan Yesus (Luk 24:17). Dalam salah satu kitab apokrifa, kata skythrōpos dikenakan pada suami yang memiliki isteri jahat (Sirakh 25:23). Semua penjelasan ini menunjukkan bahwa skythrōpos disebabkan oleh kesedihan yang tidak biasa. Seperti itulah wajah yang dipasang oleh orang-orang Farisi pada waktu mereka berpuasa. Mereka benar-benar terlihat sedang sangat murung.

Kedua, mereka mengubah air mukanya (ayat 16b). Secara hurufiah kata kerja aphanizō (LAI:TB “mengubah”) mengandung arti “merusakkan” (6:20) atau “melenyapkan” (Kis 13:41; Yak 4:14). Kita tidak tahu persis sejauh mana mereka membuat wajah mereka terlihat “rusak” atau “lenyap”. Mereka mungkin tidak merusakkan wajah mereka secara ekstrim sampai tidak dapat dikenali. Jika ini yang mereka lakukan, tujuan untuk dilihat dan dipuji orang tidak akan tercapai. Mereka mungkin menaruh kain kabung dan menaburkan abu di wajah maupun kepala mereka.

Dua tindakan di atas dilakukan mereka dengan satu tujuan: “supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa” (ayat 16c). Di mata orang lain mereka terlihat begitu saleh. Mereka tidak hanya terlihat sedang berpuasa. Mereka juga tampak berpuasa secara sungguh-sungguh. Namun, benarkah demikian?

Apa yang mereka lakukan masuk dalam kategori munafik. Mengapa demikian? Karena apa yang terlihat dari luar tidak sama dengan apa yang ada di dalam! Penampilan dan motivasi tidak selaras. Alkitab berkali-kali mengaitkan berpuasa dengan merendahkan diri (Im 16:29, 31; 23:27, 29, 32; Ez 8:21), tetapi orang-orang Farisi justru memanfaatkan puasa supaya terlihat hebat di mata orang lain. Berpuasa menurut Alkitab berarti menangisi dosa-dosa (1 Sam 7:6; Neh 9:1-2), namun orang-orang munafik justru mendapatkan kesenangan (pujian dari orang lain) melalui tangisan palsu mereka. Berpuasa seharusnya disertai dengan pengakuan dosa (Dan 9:3-6), tetapi orang-orang Farisi justru berbuat dosa melalui puasa mereka.   

Jika orang-orang munafik hanya mengharapkan pujian dari manusia, mereka hanya akan mendapatkan itu. Mereka sudah mendapatkan upahnya (ayat 16d). Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, “sudah mendapatkan” berarti “sudah lunas dibayar”. Tidak ada lagi upah yang lain dari Allah.

Berpuasa yang benar (ayat 17-18)

Ayat 17 diawali dengan negasi atau kontras yang disertai penekanan. Secara hurufiah bagian ini dapat diterjemahkan “tetapi kalian, ketika kalian berpuasa”. Tuhan Yesus sedang membandingkan praktek puasa yang dilakukan oleh orang-orang munafik dengan yang seharusnya dipraktekkan oleh murid-murid-Nya.

Meminyaki rambut dan mencuci wajah (ayat 17) merupakan rutinitas setiap hari bagi orang-orang Yahudi. Tidak ada yang istimewa dengan dua tindakan ini. Dengan kata lain, Tuhan Yesus sedang menasihati para pengikut-Nya untuk berperilaku dan berpenampilan seperti hari-hari biasa tatkala mereka tidak sedang berpuasa. Ini sesuai dengan tujuan dari nasihat ini, yaitu “supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa” (ayat 18a).

Jika meminyaki rambut dan mencuci wajah adalah aktivitas yang tidak lazim, orang lain tetap akan mengetahui bahwa ada sesuatu yang spesial dengan orang yang meminyaki rambut dan mencuci wajahnya. Mereka akan mencari tahu alasan di balik tindakan tersebut. Jika ini yang terjadi, kemunafikan tetap masih bisa terjadi, hanya saja penampilan luarnya berbeda.

Puasa bukanlah alasan untuk melarikan diri dari aktivitas dan tanggung-jawab kita setiap hari. Yang berbeda pada saat puasa bukanlah penampilan dan aktivitas kita, melainkan hati dan fokus hidup kita. Apa gunanya puasa jika seseorang hanya menghabiskan waktu tidur seharian di dalam rumah? Puasa harus menjadi sesuatu yang biasa bagi kita, dan juga dilakukan dengan cara yang biasa.

Orang lain tidak perlu mengetahui puasa yang kita sedang lakukan, karena puasa terutama adalah tentang kita dengan Allah. Puasa ditujukan kepada Allah, bukan kepada manusia. Puasa merupakan salah satu wujud pertobatan kita di hadapan Allah (Yoel 2:12). Bangsa Niniwe memaklumkan puasa nasional sebagai tanda pertobatan (Yun 3:5). Puasa adalah wujud persandaran yang total dan sungguh-sungguh kepada Allah. Ester, Mordekhai, dan seluruh orang Yahudi di pembuangan berpuasa sambil mempertaruhkan nasih mereka ke dalam tangan TUHAN (Est 4:3, 16). Jemaat mula-mula berdoa dan berpuasa tatkala mereka menyerahkan Barnabas dan Saulus untuk tugas pemberitaan injil (Kis 13:2-3). Demikian pula dengan para rasul yang menyerahkan para penatua di setiap kota ke dalam tangan Tuhan melalui puasa bersama (Kis 14:23). Puasa adalah tentang kita dan Allah.

Kalaupun sebuah puasa berkaitan dengan orang lain, tujuan dari puasa yang semacam itu adalah untuk kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Daud berpuasa dan menangisi kemalangan yang menimpa orang lain (Mzm 35:13-14). Puasa yang dilakukan oleh bangsa Yehuda dikecam oleh Nabi Yesaya karena mereka tidak memperhatikan kesusahan orang lain (Yes 58:3-7).

Bagi mereka yang berpuasa secara benar, Bapa di surga tidak akan menutup mata terhadap hal itu. Apa yang dilakukan di tempat yang tersembunyi akan diketahui oleh Bapa yang juga berada di tempat yang tersembunyi (ayat 18b). Pandangan orang lain adalah tidak penting.

Allah bukan hanya mengetahui. Dia pun memberikan upah. Dalam kedaulatan dan anugerah-Nya Allah telah menetapkan ini sebagai sebuah pola rohani. Tindakan yang dilakukan tanpa motivasi untuk mendapatkan apapun justru akan diapresiasi dengan upah ilahi.

Apa yang Tuhan Yesus ajarkan hari ini sangat perlu digarisbawahi. Disiplin rohani berupa puasa  seringkali diabaikan oleh banyak orang Kristen. Kita terjebak pada rutinitas kehidupan sehingga lupa meluangkan waktu secara khusus bersama Allah di dalam doa dan puasa. Kita seringkali menganggap dosa menjadi hal yang terlalu biasa sehingga kita tidak merasa perlu untuk menangisi dosa-dosa itu secara sungguh-sungguh di dalam puasa kita. Kita juga tidak jarang merasa diri kuat tanpa campur tangan Tuhan. Itulah sebabnya kita merasa tidak perlu untuk berpuasa secara khusus pada waktu merencanakan atau melakukan sesuatu.

Dengan berpuasa kita disadarkan dan diingatkan bahwa kita begitu lemah. Tanpa makanan dan minuman saja kita begitu tidak berdaya, apalagi hidup tanpa Tuhan, Sang pemberi makanan dan minuman. Dengan berpuasa kita belajar untuk mengendalikan hawa nafsu. Keinginan untuk makan dan minum dikontrol sedemikian rupa sehingga kita dapat berfokus pada Allah. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko