Tuhan tidak pernah mengambil hati orang dengan kebohongan. Dia selalu jujur memberitahukan apa yang ada di depan. Ada bahaya yang senantiasa menghadang setiap orang yang menuruti perintah Tuhan. Menjawab “ya” pada panggilan Tuhan bukan berarti bebas dari hal yang “tidak-tidak”.
Demikian pula dengan para pemberita Injil. Kabar baik yang mereka beritakan seringkali dibalas dengan sikap yang buruk. Tidak jarang para pekabar Injil justru akan berada dalam situasi yang buruk. Ironis memang; gara-gara kabar baik seseorang malah berada dalam keadaan yang buruk. Namun, keadaan yang buruk tidak seharusnya membelenggu kabar yang baik. Bahaya memang ada, tetapi penyertaan Tuhan tetap sempurna.
Apa yang akan ditemui di ladang misi? Bagaimana kita menyikapinya? Itulah yang akan menjadi pembahasan dalam khotbah hari ini.
Situasi buruk yang perlu diantisipasi
Murid-murid Yesus sudah berdoa (9:36-38). Mereka sudah menjadi jawaban doa (10:1-4). Mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan (10:5-8). Mereka juga sudah tahu apa yang perlu disiapkan dalam perjalanan (10:9-15). Kini mereka perlu mengetahui dan mengantisipasi apa yang akan dihadapi di ladang misi (10:16-25).
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berita Injil tidak selalu diresponi dengan cara yang sama. Ada penerimaan, begitu pula ada penolakan (10:13-14). Dalam teks hari ini Tuhan Yesus menerangkan secara lebih detil bentuk penolakan yang akan dialami oleh murid-murid. Penolakan ini mencakup bahaya dan aniaya (10:16-18). Penolakan adalah satu hal, berada dalam bahaya dan aniaya adalah hal yang berbeda.
Yesus tampaknya sedang menekankan dengan serius apa yang akan dihadapi oleh murid-murid-Nya. Dia memulai ayat 16 dengan kata seru “Lihat” (idou). Kata ganti orang “Aku” (egÅ) juga menyiratkan penekanan. Pesan yang ingin disampaikan adalah keniscayaan dari bahaya dan aniaya. Apa yang akan terjadi bukanlah sekadar situasi pengandaian (hipotetikal). Bukan pula sebuah peristiwa kebetulan atau kecelakaan. Yesus Kristus tahu persis apa yang akan terjadi pada para pemberita Injil.
Seberapa parah keadaan yang akan dialami oleh para pemberita Injil digambarkan dengan metafora dari dunia binatang: seperti domba-domba di tengah serigala-serigala (ayat 16a). Masyarakat kuno akan paham betapa berbahayanya situasi ini. Domba adalah gambaran dari binatang yang tidak berdaya dan tidak bersenjata. Dalam pandangan kuno binatang ini bahkan kadangkala digunakan sebagai gambaran untuk kebodohan. Gabungan dari tiga hal ini – tidak berdaya, tidak bersenjata dan bodoh – sangat mematikan. Domba akan menjadi mangsa yang empuk dan mudah bagi para serigala.
Ayat-ayat selanjutnya memberi penjelasan konkrit bagi keadaan di atas. Seperti domba yang sedang dikepung oleh serigala, bahaya bisa datang dari arah mana saja. Yang akan memangsa mereka bisa siapa saja (ayat 17a “waspadalah terhadap semua orang”). Penganiaya mereka bahkan bisa dari antara anggota keluarga mereka (10:21). Intinya, murid-murid akan dibenci oleh semua orang (10:22), karena itu mereka perlu waspada terhadap semua orang (10:17a).
Bukan hanya itu., seperti domba yang tidak berdaya di depan serigala, demikian pula para pemberita Injil di hadapan para penguasa: majelis agama, penguasa-penguasa dan raja-raja (10:17-18). Istilah “majelis agama” (synedrion) merujuk pada para pemimpin masyarakat Yahudi yang diberi otonomi tertentu oleh pemerintah Romawi untuk mengatur hal-hal tertentu sesuai dengan hukum religius Yahudi. Ada hal yang mereka bisa putuskan sendiri, ada pula yang harus mendapat persetujuan dari penguasa Romawi di daerah mereka. Sebagai contoh, mereka boleh memutuskan secara hukum untuk menyesah seseorang, tetapi tidak boleh menghukum mati orang tersebut.
Yang dimaksud dalam teks ini tampaknya adalah majelis agama lokal. Organisasi ini dapat menjatuhkan beragam hukuman kepada seseorang atas nama ketertiban umum. Hukuman terberat bisa dijatuhkan jika disetujui oleh 23 anggotanya. Jika anggota yang menyetujui kurang dari jumlah itu, hukuman yang diberikan akan lebih ringan. Hak legal ini tampaknya sudah dilakukan berkali-kali, walaupun tidak selalu dijatuhkan pada orang yang tepat (23:34). Situasi yang sama bisa saja terjadi pada pangikut Yesus.
Paulus adalah salah satunya (2Kor. 11:23-24). Dia didera di luar batas, kerap kali dalam bahaya maut (lit. “pukulan yang tak terhitung banyaknya, seringkali nyaris mati”). Lima kali dia disesah. Tiap kali disesah dia menerima pukulan 39 kali (bdk. Ul. 25:1-3). Keadaan ini menyiratkan bahwa Paulus seringkali berurusan dengan majelis lokal dan diberi hukuman maksimal.
Istilah “penguasa” (hÄ“gemÅn) dan raja (basileus) tampaknya lebih mengarah pada para penguasa asing (ayat 18b “bagi mereka dan orang-orang yang tidak mengenal Allah”). HÄ“gemÅn merujuk pada penguasa Romawi setingkat gubernur, misalnya Pontius Poilatus disebut sebagai hÄ“gemÅn Yudea (pasal 27-28). Jika sampai melibatkan para gubernur dan raja berarti itu menyiratkan hukuman yang lebih berat. Selain itu, bentuk jamak pada kata tersebut menyiratkan wilayah yang luas. Maksudnya, ucapan ini juga berlaku untuk para pengikut Yesus di kemudian hari, bukan hanya 12 murid. Mereka akan mengalami penganiayaan yang lebih berat dan lebih luas.
Penganiayaan ini terjadi bukan karena kesalahan mereka. Mereka dibenci hanya gara-gara menjadi pengikut Yesus dan pemberita Injil-Nya (10:18a “Karena Aku..”). Ternyata untuk menjadi pengikut Yesus tidak cukup hanya memiliki antusiasme belaka. Ada harga mahal yang harus dibayar.
Respons terhadap situasi buruk
Apa yang dilakukan oleh orang lain kepada kita memang seringkali di luar kontrol kita, tetapi kita tetap memiliki kontrol atas respons kita. Jangan terlalu kuatir dengan apa yang berada di luar kontrol kita. Fokuslah pada apa yang ada di tangan kita. Situasi yang buruk tidak boleh membuat kita terpuruk.
Tuhan Yesus memberikan beberapa nasihat bagi para pemberita Injil. Ketika bahaya dan aniaya datang menghadang, mereka perlu mengingat tiga hal.
Pertama, berhati tulus dan bertindak cerdik (ayat 16b). Ketulusan di sini dikaitkan dengan seekor binatang, yaitu merpati. Sama seperti domba, merpati juga sangat rentan terhadap bahaya. Mereka tidak memiliki senjata. Dalam budaya kuno merpati dianggap sebagai binatang yang lemah dan penakut. Poin yang ingin disampaikan oleh Yesus jelas bukan itu semua. Pemberita Injil tidak boleh takut dan lugu terhadap bahaya.
Poin analogi yang ditekankan di sini adalah ketulusan (akeraios). Ide dalam kata ini adalah kemurnian atau tidak bercampur dengan sesuatu yang buruk (Rm. 16:19; Flp. 2:15). Tidak heran, Roh Kudus juga dilambangkan seperti burung merpati (3:16).
Kita kadangkala tergoda untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Kita yang diperlukan tidak adi lingin menjadi hakim yang mendatangkan keadilan. Sayangnya, keadilan bagi kita seringkali menjadi ketidakadilan lanjutan bagi orang lain. Sikap terbaik adalah tetap menjaga hati dan diri tetap murni (tulus).
Apakah ini berarti bahwa kita pasrah terhadap ketidakadilan dan bahaya? Tidak juga. Kita diperintahkan untuk cerdik seperti ular (10:16; bdk. Kej . 3:1). Misalnya, ketika terjadi penganiayaan terjadi, mereka sebisa mungkin melarikan diri (10:23). Lari bukan karena ketakutan (10:26, 28), tetapi karena kota-kota lain juga membutuhkan kebenaran (10:23). Kita membutuhkan kecerdikan ular, tetapi tanpa racunnya yang mematikan (R. T. France).
Kedua, memanfaatkan setiap keadaan sebagai sarana kesaksian (ayat 18). Allah seringkali bekerja dengan cara-Nya yang tak terduga. Apa yang kita anggap buruk sebenarnya adalah jalan menuju kepada sesuatu yang baik. Dalam istilah populer ini disebut “berkat yang terselubung” (blessing in disguise). Dalam istilah Alkitab kita menyebutnya “manusia mereka-reka yang jahat, tetapi TUHAN mereka-reka yang baik” (Kej. 50:20).
Begitulah yang seringkali terjadi di ladang misi. Para pemberita mungkin digiring di depan para gubernur dan raja. Bahaya yang lebih besar mungkin ada di depan, tetapi kesempatan yang langka juga akan tiba. Mereka bisa menjadikan momen ini sebagai “kesaksian” (martyrion) bagi para gubernur, raja-raja dan rakyat mereka. Kapan lagi mereka mendapat kesempatan untuk berdiri di depan para penguasa itu? Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini seumur hidup mereka.
Kebenaran di atas dihidupi dengan baik oleh Paulus (Flp. 1:12-13). Di dalam penjara dia mendapatkan banyak kesempatan untuk bersaksi. Semua penghuni istana menjadi tahu siapa dia dan berita apa yang dia sampaikan. Jika dia tidak dipenjara, belum tentu dia mendapatkan kesempatan untuk memberitakan Injil kepada penghuni istana.
Ketiga, bersandar penuh pada pimpinan Roh Kudus (ayat 19-20). Sebagaimana murid-murid tidak boleh kuatir tentang apa yang akan mereka makan, minum dan pakai (6:25-34), mereka juga tidak boleh kuatir tentang bagaimana dan apa yang mereka akan katakan di depan para penguasa (10:19-20). Roh Allah akan memberitahukannya pada waktunya.
Janji ini tidak boleh dipahami seolah-olah akal budi kita tidak berperan sama sekali. Yesus tidak sedang berbicara tentang keadaan tanpa sadar (ekstasi) dengan perkataan-perkataan “sorgawi” yang aneh-aneh. Yesus juga tidak sedang menolak persiapan yang matang dalam pelayanan.
Sebagaimana perintah untuk “jangan kuatir” di 6:25-34 tidak berarti kita boleh bermalas-malasan dan tinggal menanti makanan dan pakaian dari Tuhan, demikian pula perintah yang sama di 10:19-20. Jaminan dari Allah bukan alasan untuk bersikap pasrah tanpa perlu berjerih-lelah.
Pimpinan Roh Kudus yang dijanjikan di bagian ini tidak boleh diceraikan dari kebenaran. Roh Kudus tidak akan memberikan wahyu baru. Dia hanya mengingatkan dan membimbing orang percaya pada kebenaran yang mereka sudah dengar sebelumnya (bdk. Yoh. 14:26; 15:26-27; 16:13-15). Tidak ada perkataan spontan yang aneh-aneh.
Itulah yang terjadi pada diri Stefanus yang penuh dengan Roh Kudus (Kis. 6:3; 7:55). Dia diberi dorongan dan kebijaksanaan oleh Roh Kudus sehingga tidak ada orang yang mampu mengalahkan dia dalam bersoal-jawab (Kis. 6:9-10). Dia dimampukan untuk membuktikan dari kitab suci bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan (Kis. 7:2-53).
Jadi, tugas kita adalah menyiapkan diri sebaik-baiknya. Maksimalkan apa yang ada di tangan kita. Pada saat yang sama kita harus mengingat bahwa kita tidak mampu melakukan apapun tanpa Allah. Banyak situasi di luar kendali kita. Namun, kita tidak boleh berkecil hati. Allah akan bekerja dengan cara-Nya dan menurut waktu-Nya. Soli Deo Gloria.