Berkurban Bagi Injil (Filipi 1:27-30)

Posted on 16/09/2018 | In Teaching | Leave a comment

Sebagian orang Kristen cenderung memahami Injil secara egois. Injil hanyalah anugerah Allah bagi kepentingan mereka. Injil untuk mereka, bukan mereka untuk Injil.

Konsep ini jelas tidak tepat. Kita hidup melalui Injil. Kita juga hidup bagi Injil. Seberapa jauh kita berkontribusi bagi pekerjaan Injil menunjukkan seberapa jauh Injil telah meresapi kehidupan kita. Dengan kata lain, hidup kita harus berpadanan dengan Injil.

Apa artinya berpadanan dengan Injil? Apa bentuk konkrit dari kehidupan yang berpadanan dengan Injil?

 

Hidup yang berpadanan dengan Injil

Ayat 27 mengawali sebuah topik yang baru. Paulus tidak lagi berbicara tentang keadaan dirinya atau harapannya (1:12-26). Dia sekarang mengalihkan fokus pada jemaat di Filipi. Apapun yang akan terjadi pada diri Paulus (entah dia dihukum mati atau dibebaskan, bdk. 1:22-26), hal itu tidak boleh menggeser perhatian jemaat pada satu hal yang penting: hidup berpadanan dengan Injil (ayat 27a). Entah Paulus nanti bisa mengunjungi mereka atau tidak (1:27a), mereka tetap tidak boleh berpaling dari panggilan ini.

Paulus bahkan menyiratkan bahwa bagaimana jemaat Filipi hidup adalah lebih penting daripada apakah dia akan hidup atau mati dalam penjara. Hal ini ditunjukkan melalui pemunculan kata monon (LAI:TB “hanya”) di awal ayat 27. Walaupun banyak versi Inggris memilih terjemahan hurufiah (KJV/ASV/NASB/RSV/ESV “only”), makna yang disiratkan lebih ke arah “apapun yang terjadi” (NIV) atau “di atas semuanya” (NLT). Maksudnya, di atas apapun yang terjadi pada Paulus. Yang penting adalah bagaimana Injil dihidupi dan diperjuangkan.

Kata “hidup” (politheuomai) bukan hanya sekadar tindakan, tetapi gaya hidup. Cara seseorang menjalani hidupnnya. Kata politheuomai mengandung arti “hidup sebagai warga negara” (NLT). Pilihan kata ini pasti berhubungan dengan status orang-orang percaya di Filipi sebagai warga negara (politeuma) surga (3:20).

Standar kehidupan bagi warga negara surga adalah keselarasan dengan Injil. Hidup kita harus berpadanan dengan Injil. Kata “berpadanan” di 1:27 sebenarnya kurang begitu kuat. Kata Yunani axiōs lebih tepat diterjemahkan “layak” (lihat mayoritas versi Inggris). Pilihan kata ini menyiratkan bahwa ada gaya hidup tertentu yang memang tidak layak atau tidak pantas bagi Injil. Bukan hanya tidak selaras, namun tidak pantas. Injil adalah berita baik yang mulia. Semua orang yang sudah diselamatkan oleh Injil seyogyanya menunjukkan gaya hidup yang mulia pula.     

Mereka yang hidup di Filipi pasti mengetahui dengan baik bagaimana kota ini merupakan miniatur Roma. Banyak warga negara Romawi yang tinggal maupun memilih pensiun di sana. Mereka memiliki status khusus dan mendapatkan perlakuan khusus pula. Semua ini pada gilirannya mempengaruhi cara mereka hidup. Mereka merasa diri lebih mulia dan beruntung daripada orang-orang lain yang bukan warna negara Romawi.

 

Bentuk konkrit hidup yang berpadanan dengan Injil

Kita sudah belajar apa yang dimaksud dengan hidup yang berpadanan dengan Injil. Ini berbicara tentang gaya hidup surgawi yang berbeda dengan yang lain. Gaya hidup yang mulia.

Bentuk konkrit dari gaya hidup ini adalah berdiri teguh dalam satu roh (ayat 27b stēkete en heni pneumati). Berdiri teguh berarti ada ketahanan. Dalam satu iman berarti ada kesatuan. Ketahanan dan kesatuan. Dua poin inilah yang selanjutnya akan diuraikan oleh Paulus di bagian lain (1:27-30 ketahanan, 2:1-4 kesatuan).

Dua hal di atas tidak terpisahkan. Ketahanan dicapai melalui kesatuan. Allah Tritunggal telah mengatur agar pertumbuhan dan kekuatan rohani dibentuk melalui proses komunal. Sesama orang percaya saling membutuhkan satu dengan yang lain. Tidak ada orang yang bisa kuat berdiri sendirian.

Kesatuan seperti ini semakin diperlukan pada saat ada tekanan. Itulah yang sedang terjadi dengan jemaat Filipi. Mereka menghadapi penganiayaan (1:29-30) dan ajaran sesat (3:1-3). Mereka hidup di tengah zaman yang bengkok (2:15). Tidak mungkin seseorang bisa kuat setiap saat dan sepanjang tekanan. Pasti ada momen-momen tertentu ketika kebingungan, kekecewaan, kelemahan, dan keputusasaan datang menerjang. Kesatuan akan meningkatkan ketahanan.

Ketahanan dalam kesatuan di 1:27a selanjutnya diterangkan dengan dua anak kalimat partisip. Yang pertama adalah berjuang sehati sejiwa untuk Injil (1:27b, mia psychē synathlountes tē pistei tou euangeliou). Yang kedua adalah tidak digentarkan oleh lawan (1:28a, ptyromenoi en mēdeni hypo tōn antikeimenōn).

 

Berjuang sehati sejiwa untuk Injil (ayat 27b)

Kekristenan tidak menawarkan kenyamanan. Tidak pula mendorong orang untuk berada di zona nyaman. Keselamatan bukanlah tujuan, melainkan sarana mencapai sebuah tujuan. Keselamatan bukanlah sesuatu untuk dinikmati, melainkan untuk dibagi.

Kata “berjuang” menyiratkan sebuah pergumulan. Ada usaha keras yang diberikan. Ada pengorbanan yang dilakukan. Kata yang sama dikenakan oleh Paulus pada dirinya sendiri dan teman-teman seperjuangannya (4:3 “mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil”).

Perjuangan ini, sekali lagi, bukanlah upaya individual. Diperlukan kebersamaan dan kesatuan. Frasa mia psychē synathlountes secara hurufiah dapat diterjemahkan “dengan satu jiwa bersama-sama berjuang”. Penerjemah NIV mencoba mengungkapkan makna ini dengan terjemahan “berjuang seperti satu orang” (contending as one man).

Sebagian orang memilih berjuang sendirian. Mereka yang berjuang dalam kebersamaan ternyata belum tentu memiliki kesatuan. Antar gereja tidak ada kesadaran untuk bergandengan tangan. Ada kecurigaan dan kesombongan. Akibatnya persebaran Injil tidak bisa secepat yang diharapkan. Yang lebih parah, tidak semua gereja mau berjuang bagi Injil. Ada yang memilih untuk menikmati berkat Tuhan dalam zona nyaman.

Yang perlu untuk bersama-sama diperjuangan dengan satu jiwa adalah “iman yang timbul dari berita Injil” (LAI:TB). Dalam teks Yunani, kata yang muncul adalah tē pistei tou euangeliou, yang secara hurufiah berarti “demi iman Injil” (mayoritas versi Inggris “for the faith of the gospel”). Apa arti “iman Injil”di sini? Berdasarkan pertimbangan konteks 1:27-30 dan penggunaan kata “bersama-sama berjuang” di 4:3, kita sebaiknya memahami tē pistei tou euangeliou sebagai “iman itu, yaitu Injil” (NLT). Maksudnya, “iman” di sini lebih mengarah pada “ajaran atau berita dalam Injil”, bukan iman dalam arti keyakinan dalam diri kita sendiri. Paulus tidak menasihati jemaat Filipi untuk memperjuangkan keyakinan mereka, tetapi untuk memperjuangkan Injil. Ini bukan sekadar pergumulan untuk mempertahankan iman, melainkan untuk menyebarkan berita keselamatan. 

 

Tidak digentarkan oleh lawan (ayat 28-30)

Paulus paling akrab dengan penganiayaan, penindasan, dan tekanan. Dia tahu persis bagaimana situasi itu bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan memang wajar, tetapi bukan berarti dapat dibenarkan. Ketakutan memang kadangkala datang, tetapi bukan berarti boleh terus tinggal. Walaupun ketakutan tidak bisa dihilangkan, tetapi ketakutan perlu untuk dikalahkan.

Terjemahan LAI:TB “sedikitpun” (en mēdeni) lebih mengarah pada kualitas ketakutan. Tidak boleh ada secuil ketakutan pun. Dalam teks Yunani, bagaimanapun, makna yang ditekankan tampaknya lebih diletakkan pada alasan untuk takut. Frasa en mēdeni lebih tepat diterjemahkan “dalam hal apapun” (NIV/ESV/NLT). Jadi, kita tidak boleh gentar terhadap musuh dalam hal apapun, entah oleh fitnahan, hinaan, tekanan, atau siksaan mereka.

Bagaimana kita dapat mengalahkan ketakutan? Bukan dengan mengubah keadaan (hal ini tidak selalu bisa dilakukan). Bukan dengan melawan dengan kekuatan (hal ini bertentangan dengan ajaran Tuhan). Kuncinya terletak pada perubahan konsep tentang penderitaan.

Dari perspektif Paulus, penderitaan karena iman yang dialami oleh jemaat Filipi justru merupakan sesuatu yang serba positif. Itu adalah tanda keselamatan (1:28). Tanda itu datang dari Allah (1:28). Mereka yang menderita bagi Injil bukan saja menerima anugerah keselamatan, tetapi juga anugerah penderitaan bagi Kristus (1:29). Ini adalah kasih karunia Allah. Kita bukan hanya diselamatkan melalui pengorbanan Kristus, tetapi juga diberi kesempatan untuk mengorbankan sesuatu bagi Dia. Bukan hanya menikmati kematian-Nya, tetapi bersekutu dalam kematian itu (3:10-11).

Apakah Anda sudah berjuang bagi Injil? Apa yang Anda sudah lakukan demi pekabaran Injil ke seluruh dunia? Apakah Anda sudah memberikan waktu, tenaga, pikiran, dan dana yang sepantasnya untuk pekerjaan Injil? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko