Berkata-kata kasar seperti Yesus?

Posted on 19/01/2014 | In QnA | Leave a comment

Sebagian orang Kristen menganggap bahwa penggunaan kata-kata kasar (atau mereka sebut ‘keras’) adalah sah-sah saja dalam sebuah perdebatan atau teguran. Beberapa argumen diajukan sebagai dukungan. Salah satu adalah tindakan Tuhan Yesus yang ‘memaki’ orang-orang Farisi sebagai ‘keturunan ular beludak’ (Mat 12:34; 23:33) atau membongkar-balikkan fasilitas ibadah di bait Allah (Mat 21:12-13). Benarkah apa yang dilakukan di atas dapat digunakan sebagai pembenaran untuk sikap dan perkataan kita yang kasar kepada orang lain?

Yang terutama kita pahami adalah seberapa jauh kita meniru Tuhan Yesus. Walaupun setiap orang Kristen harus meneladani Kristus (1 Kor 11:1; 1 Pet 2:21), tetapi itu tidak berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Yesus boleh kita lakukan. Sebagai contoh, kita tidak boleh mengklaim seperti Yesus bahwa seluruh kitab suci digenapi di dalam Dia (Luk 24:44). Kita tidak diharuskan berpuasa total selama 40 hari 40 malam (bdk. Mat 4:1-11). Walaupun kita mati syahid demi kebenaran – bahkan sekalipun kematian di kayu salib seperti Yesus (Yoh 21:15-19) – makna kematian itu tidak bersifat menebus seperti kematian Kristus. Contoh semacam ini masih dapat kita perpanjang lagi. Intinya, kita tidak boleh secara ceroboh meniru Tuhan Yesus secara hurufiah tanpa memperhatikan perbedaan hakiki antara Kristus dan kita: Dia adalah Mesias dan Anak Allah, kita hanyalah manusia biasa.

Penyucian bait Allah oleh Tuhan Yesus merupakan salah satu yang tidak boleh kita tiru. Mengapa? Tindakan ini merupakan tindakan simbolis bahwa Mesias akan merestorasi ibadah di bait Allah. Pengharapan mesianis dari PL mencakup ide penyucian ini (misalnya Mal 3:1-3). Makna simbolis dari tindakan ini akan terlihat semakin jelas apabila kita mempertimbangkan konteks sastra maupun historis-teologis penyucian bait Allah.

Dari sisi sastra, tindakan ini dikaitkan erat dengan pengutukan pohon ara yang tidak menghasilkan buah (Mar 11:12-14, 15-19, 20-21). Sebagaimana pengutukan pohon ara pasti menyimbolkan sebuah pelajaran rohani (Yesus tidak mungkin marah-marah kepada sebuah pohon hanya gara-gara pohon itu tidak menghasilkan buah), demikian pula tindakan penyucian bait Allah merupakan simbol penghukuman Allah atas ibadah Yahudi yang tidak menghasilkan buah bagi Allah.

Dari sisi historis-teologis, perdagangan di halaman bait Allah dimaksudkan sebagai upaya untuk menolong para peziarah dari luar Palestina agar mereka dapat beribadah ke bait Allah dengan lebih nyaman dan efisien. Mereka tidak perlu membawa binatang korban dari daerah asal masing-masing. Mereka bisa menukar uang mereka (yang biasa bergambar penguasa kafir) dengan uang khusus bait Allah, sehingga mereka dapat mempersembahkan uang yang halal untuk bait Allah. Tatkala Yesus membongkar-balikkan aktivitas perdagangan ini, Ia ingin mengirimkan sebuah pesan teologis bahwa akses ibadah yang paling tepat dan efisien adalah melalui diri-Nya. Ia adalah bait Allah yang sesungguhnya (Yoh 2:19-22).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa penggunaan kisah penyucian bait Allah demi membenarkan tindakan kasar kita adalah penyalahgunaan teks Alkitab. Tindakan Yesus di bait Allah yang terlihat sangat ekstrim hanyalah tindakan simbolis untuk menyampaikan pesan bahwa Mesias sudah datang dan memurnikan ibadah umat Allah. Sebagaimana pengajaran simbolis para nabi terkadang terlihat sangat ekstrim, demikian pula berita simbolis di bait Allah oleh Tuhan Yesus.

Saya tidak mengatakan bahwa perkataan tegas adalah dosa dan tidak diperlukan. Tidak semua marah adalah dosa (Mzm 4:5; Ef 4:26). Poin yang ingin ditekankan dalam penjelasan di atas adalah penggunaan teks Alkitab secara keliru.  (bersambung)

admin