Berdoa (Matius 6:5-13)

Posted on 13/11/2016 | In Teaching | Leave a comment

Sesuatu yang sudah sering dilakukan bukan berarti telah dilakukan dengan cara yang tepat. Begitu pula dengan doa. Orang-orang yang rajin berdoa ternyata melakukan kesalahan dalam berdoa. Kesalahan yang sering dilakukan berhubungan dengan motivasi (ayat 5-6) dan konsep (ayat 7-8) dalam berdoa.

Motivasi yang benar (ayat 5-6)

Contoh pertama dari doa yang salah diambil dari kebiasaan doa dalam agama Yahudi. Yudaisme mengajarkan dan menekankan doa-doa rutin setiap hari. Mereka berdoa minimal tiga kali dalam sehari dan selalu pada jam-jam yang sama (Dan 6:10; Kis 3:1). Berbagai tulisan para rabi Yahudi menunjukkan bahwa jam-jam doa itu harus diikuti, tidak peduli di manapun orang Yahudi sedang berada. Bahkan dalam sebuah tulisan diajarkan bahwa seorang raja pun tidak boleh menginterupsi seseorang yang sedang berdoa.

Doa-doa yang rutin tersebut pada dirinya sendiri belum tentu keliru. Rutinitas orang tidak selalu sama. Dalam beberapa kasus, beberapa orang secara tidak terelakkan pasti harus melaksanakan doa mereka di luar rumah. Mereka mungkin sedang dalam perjalanan atau bekerja di tempat lain.

Yang menjadi masalah adalah motivasi yang keliru. Sebagian orang sengaja mengatur aktivitas mereka supaya pada waktu jam-jam doa tertentu mereka sedang berada di keramaian, misalnya di rumah ibadat atau persimpangan jalan raya. Mereka ingin agar banyak orang melihat bahwa mereka adalah orang yang saleh (ayat 5 “supaya mereka dilihat orang”). Dengan posisi berdiri, mereka akan lebih terlihat oleh banyak orang. Situasi semacam ini sangat rentan dengan kemunafikan. Mereka terlihat suka berdoa, padahal yang mereka sukai adalah pujian dari manusia. Mereka tampak sangat mengasihi Allah, padahal mereka mengasihi reputasi diri sendiri. Mereka terlihat menyembah Allah, padahal mereka terjebak pada penyembahan pada diri sendiri.

Jika pujian dari orang lainlah yang dicari oleh orang-orang munafik, mereka “sudah mendapat upahnya” (ayat 5). Seperti sudah dijelaskan dalam khotbah sebelumnya, ungkapan ini berarti “sudah lunas dibayar”. Mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Tidak demikian dengan para pengikut Kristus (ayat 6). Rahasia doa kita adalah berdoa secara rahasia. Ada dua cara yang digunakan untuk menegaskan hal ini. Kata “kamar” (tameion) merujuk pada ruang penyimpanan barang. Kamar ini satu-satunya yang terletak di tengah-tengah rumah dan dinding-dindingnya tidak bersentuhan dengan daerah luar, sehingga aman dari para pencuri. Kamar-kamar lain terletak di area pinggir rumah, sehingga dapat dibobol dari luar oleh pencuri. Untuk menambah keamanan, kamar penyimpanan ini dilengkapi dengan pintu tambahan.

Kita bukan hanya diperintahkan untuk berdoa di kamar seperti ini, tetapi kita juga harus mengunci pintu. Ini merupakan sebuah penegasan agar tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang terjadi di kamar itu. Jika doa dilakukan di kamar-kamar lain, bisa saja suara orang yang sedang berdoa dapat didengar oleh orang-orang lain yang sedang berjalan di sekitar rumah tersebut. 

Cara kedua adalah pemunculan frase “yang tersembunyi” (en tō kryptō) sebanyak dua kali. Bapa berada di ketersembunyian. Ia melihat yang tersembunyi (lit. “melihat di dalam ketersembunyian”).

Motivasi yang benar dalam berdoa akan membawa berkat. Jika yang kita cari di dalam doa adalah Allah sendiri, kita akan mendapatkan segala kebaikan-Nya. Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa doa adalah alat untuk memanipulasi Allah. Bapa sudah menetapkan bahwa salah satu cara untuk menerima anugerah-Nya adalah melalui doa yang tulus. Kebaikan Allah sudah tersedia. Namun, siapkah kita menerimanya melalui doa?

Konsep yang benar (ayat 7-13)

Motivasi yang keliru bukanlah satu-satunya kesalahan umum dalam berdoa. Kita juga harus mewaspadai konsep yang keliru. Dalam hal ini Tuhan Yesus memberikan contoh dari kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah (ayat 7). Mereka terbiasa berdoa dengan bertele-tele (battalogeō).

Bertele-tele tidak sama dengan pengulangan kata-kata. Tuhan Yesus juga pernah mengucapkan doa yang sama berkali-kali (26:39-44). Bertele-tele juga tidak identik dengan berdoa tanpa jemu-jemu atau berdoa yang lama. Tuhan Yesus mengajarkan agar kita berdoa dengan tidak jemu-jemu (Lk 18:1). Dia juga berdoa semalam-malaman (Lk 6:12).

Bertele-tele sebaiknya dipahami dalam kaitan dengan jumlah kata dan cara berpikir seseorang terhadap doa. Di ayat 7, battalogeō dikaitkan dengan kata-kata yang banyak (polylogia). Di balik jumlah kata yang melimpah ini ada sebuah pemikiran yang salah. Mereka berpikir bahwa pengabulan doa ditentukan oleh jumlah kata-kata. Semakin banyak kata yang diucapkan, semakin berkuasa suatu doa. Begitulah kira-kira cara berpikir orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Cemoohan Elia terhadap 450 nabi Baal di Gunung Karmel menyiratkan praktek seperti ini (1 Raj 18:26-29). Beberapa peninggalan kuno yang berisi doa-doa menunjukkan bahwa sebagian orang memberi sebutan, nama, atau gelar yang begitu banyak untuk allah atau dewa supaya doanya lebih manjur. Semua ini termasuk kategori bertele-tele.

Sebagai kontras terhadap hal-hal tersebut, kita diajar bahwa doa bukanlah sekadar pemberitahuan kepada Allah tentang apa yang kita mau. Jika doa hanya dipandang sebagai pemberitahuan kepada Allah, maka kita tidak perlu berdoa. Allah sudah tahu semua kebutuhan kita, bahkan sebelum kita mengutarakannya (ayat 8).

Kita sekaligus diajar bahwa pengabulan doa tidak ditentukan oleh banyaknya kata-kata, melainkan pada kebaikan Allah sebagai Bapa (ayat 8). Yang penting bukanlah formulasi dan redaksi, melainkan relasi. Yang menentukan bukanlah apa dan bagaimana kita mempraktekkan doa, melainkan pada siapa Allah bagi kita. Pendeknya, doa tidak bersifat mekanis maupun otomatis seperti sebuah mesin berkat. Ada relasi dengan Allah di sana.

Untuk memperjelas poin di atas, Tuhan Yesus lalu mengajarkan sebuah doa yang dikenal dengan nama Doa Bapa Kami (ayat 9-13). Doa ini terutama dimaksudkan untuk dipahami, bukan sekadar dihafalkan (ayat 9a). Ini tentang bagaimana kita berdoa (NIV/KJV/ASV/NASB/NRSV), bukan sekadar apa yang kita doakan.

Pertama, berdoa berarti membangun relasi yang tepat dengan Allah (ayat 9b). Sebutan “Bapa kami yang ada di surga” menyiratkan keunikan konsep Kristiani tentang Allah. Ada keseimbangan antara transendensi Allah (kemuliaan dan kebesaran-Nya) dan immanensi-Nya (kedekatan-Nya). Transendensi disiratkan melalui kata “di surga,” sedangkan immanensi ditunjukkan melalui sebutan “Bapa”.

Sebagai Bapa, Allah sangat mengenal kita. Ia melihat apa yang kita lakukan di tempat tersembunyi (6:4, 6, 18). Ia mengetahui kebutuhan kita (6:8, 32). Ia selalu memberikan yang baik bagi kita (7:11). Sebagai Allah yang ada di surga, Bapa adalah Raja atas semesta. Langit adalah tahta-Nya (5:34). Dia adalah penguasa yang realisasi kerajaan-Nya kita doakan setiap hari (6:9c). Kehendak-Nya menjadi kesukaan kita (6:10).

Kedua, berdoa berarti mengutamakan kepentingan Allah (ayat 9c-10). Sebagian orang berpikir bahwa tujuan doa adalah memenuhi kebutuhan mereka. Ini merupakan konsep yang keliru. Sebelum kita memikirkan kebutuhan kita (ayat 11-13), kita diajar untuk berfokus pada kepentingan Allah terlebih dahulu (ayat 9c-10). Doa bukan memberitahu Allah apa yang kita mau, melainkan mencari tahu apa yang Allah mau.

Kita mendoakan agar kekudusan Allah dihormati (ayat 9c). Walaupun kekudusan-Nya adalah sempurna, tidak semua orang memahami dan menghargai hal itu. Kita juga mendoakan agar realisasi sempurna dari kerajaan-Nya segera dinyatakan di muka bumi (ayat 10a). Tuhan Yesus sudah memulai kerajaan Allah di muka bumi (3:2; 4:17, 23; 12:28), tetapi penahbisan total masih menunggu kedatangan-Nya yang kedua kali (16:27-28). Kita juga mendoakan agar ketaatan sempurna terhadap  kehendak Allah yang ditunjukkan oleh penghuni surga juga berlaku di bumi (ayat 10b). Di dalam surga kehendak Allah disukai dan ditaati secara sempurna. Tidak demikian dengan di bumi. Masih banyak manusia yang salah memahami dan menentang kehendak itu.

Ketiga, berdoa berarti menyandarkan hidup kepada Allah (ayat 11-13). Doa bukanlah sarana untuk mengontrol Allah. Sebaliknya, doa merupakan ekspresi ketidakberdayaan dan persandaran kita yang terus-menerus kepada Allah. Tiga hal yang disebutkan di bagian ini – makanan, pengampunan, dan kelepasan dari pencobaan – merupakan kebutuhan kita setiap hari. Sulit membayangkan kita bisa bertahan dan menikmati hidup tanpa tiga hal ini.

Meminta makanan setiap hari (ayat 10) menyiratkan kesadaran kita bahwa makanan lebih merupakan berkat Allah daripada hasil pekerjaan. Bagi para pendengar mula-mula yang bekerja sebagai buruh harian, doa ini sangat relevan. Jika mereka sakit, mereka tidak dapat bekerja. Jika tidak bekerja, mereka tidak akan bisa makan. Karena itu, mereka perlu belajar untuk bersandar kepada Allah tiap hari dan belajar bahwa “kesusahan sehari cukup untuk sehari” (6:34).

Kata “kesalahan” dan “orang yang bersalah” (ayat 11) secara hurufiah berarti “hutang” dan “orang yang berhutang” (lihat semua versi Inggris “debts” dan “debtors”). Pemilihan kata ini menyiratkan bahwa sebagai ciptaan kita wajib menaati Allah. Kegagalan melakukan hal ini merupakan hutang. Begitu pula dengan kebaikan kita terhadap orang lain. Adalah hak orang lain untuk menerima kebaikan kita begitu pula sebaliknya. Kegagalan dalam hal ini layak diperhitungkan sebagai hutang. Jika demikian, betapa banyaknya hutang kita setiap hari, baik kepada Allah maupun orang lain! Kita memerlukan pengampunan setiap hari.

Setiap hari kita juga mebutuhkan kelepasan dan kemenangan dari pencobaan (ayat 12-13a). Iblis selalu menggoda kita. Iblis jauh lebih kuat dan berpengalaman daripada kita. Dengan kekuatan sendiri kita tentu tidak mampu bertahan. Hanya melalui persandaran pada Allah kita akan mengalahkan Iblis (bdk. Yak 4:7 “Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!”). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko