Berkumpul bersama-sama pada waktu yang sama dan melakukan aktivitas yang sama belum tentu memiliki kebersamaan. Waktu, tempat dan jenis kegiatan yang sama hanya menyediakan kebersamaan bagi raga. Belum tentu ada kesatuan jiwa.
Kebersamaan sejati dimulai dari hati dan diwujudkan melalui kebiasaan berbagi. Tanpa motivasi tulus dari dalam hati pemberian bantuan hanyalah keterpaksaan atau pencitraan sosial. Tanpa kebiasaan berbagi kebersamaan hanyalah slogan yang menjengkelkan. Tanpa keduanya, ada banyak orang yang merasa kesepian di tengah keramaian. Dalam hiruk-pikuk perbincangan dan kegiatan mereka justru akan merasa dipinggirkan.
Komunitas Kristen dipanggil untuk berbagi. Itupun harus dimulai dari hati. Namun, sikap hati seperti apa yang diperlukan? Bagaimana mendapatkan sikap hati seperti itu? Kebersamaan seperti apa yang diharapkan dalam komunitas orang percaya? Teks kita hari ini akan menjawab deretan pertanyaan ini (dan beberapa pertanyaan lain seputar berbagi kehidupan).
Dari sisi struktur teks hari ini dapat dibagi menjadi dua: fondasi (ayat 32-33) dan aksi (ayat 34-37). Fondasi berbicara tentang apa yang mendorong jemaat mula-mula untuk berbagi. Aksi berbicara tentang wujud konkrit dari kebiasaan berbagi tadi.
Fondasi (ayat 32-33)
Apa yang kita lihat di 4:32-37 tidak boleh dipisahkan dari 4:23-31. Secara lebih spesifik, kebiasaan gereja mula-mula di 4:32-37 merupakan wujud dari mereka dipenuhi oleh Roh Kudus di 4:31. Ada kebiasaan baru yang muncul dari pengalaman rohani ini.
Observasi ini seharusnya tidak mengagetkan. Kita sudah melihat pola yang sama sebelumnya. Pada saat jemaat mula-mula dipenuhi oleh Roh Kudus pada Hari Pentakosta (2:1-11) dan banyak orang bertobat melalui khotbah Petrus (2:37-41), kumpulan orang percaya tersebut juga menunjukkan kebiasaan baru (2:42-47). Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, persekutuan, sakramen dan doa.
Kemiripan pola di atas menyiratkan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam komunitas Kristen pasti membawa transformasi dalam berbagai sisi. Ada kegairahan dan dinamika. Ada kebiasaan baru yang positif. Tercipta sebuah kultur yang melampaui kebajikan pada umumnya. Jadi, Roh Kudus bukan hanya memberikan karunia-karunia rohani yang terlihat spektakuler. Dia juga memampukan setiap orang percaya untuk memainkan mengambil bagian dalam kehidupan sesama. Orang yang dipenuhi Roh Kudus hatinya ditarik ke arah vertikal (bagi Allah) dan horizontal (bagi orang lain).
Kebiasaan berbagi di 4:34-37 bukan sebuah respons spontan yang emosional. Jemaat mula-mula secara sadar melakukanya. Modal untuk berbagi bukan hanya materi, tetapi hati, teologi dan anugerah ilahi. Mari kita menguraikan masing-masing poin ini.
Pertama, hati (ayat 32a). Kumpulan orang percaya dalam kisah ini memiliki kesatuan hati dan jiwa. Kesatuan tampaknya menjadi salah satu ciri khas dari jemaat mula-mula (lihat 2:46). Di dalam Kristus mereka memiliki kesamaan-kesamaan baru yang jauh melampaui semua perbedaan yang ada: satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Bapa (Ef. 4:4-6).
Tanpa intervensi Roh Kudus jemaat mula-mula tidak akan mampu untuk memelihara kesatuan. Jumlah mereka telah bertambah secara luar biasa. Dari 120 orang menjadi ribuan orang dalam waktu sekejap. Jumlah yang besar jelas membuat upaya mempertahankan kesatuan menjadi lebih sukar. Jenis keragaman semakin meningkat. Kepentingan masing-masing orang semakin mencuat. Walaupun demikian, Roh Kudus mampu berkarya melampaui semua kesulitan yang ada.
Kedua, teologi (ayat 32b). Kumpulan orang percaya di 4:32-37 tidak hanya memiliki kesatuan hati. Mereka juga mempunyai kesatuan teologi. Semua mengadopsi pandangan yang sama. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang beranggapan bahwa “sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (ayat 32b). Hati selaras dengan teologi yang diyakini. Ajaran yang benar mengontrol perasaan.
Apakah arti dari ayat 32b di atas? Apakah teks ini mengajarkan prinsip harta bersama seperti dalam masyarakat Qumran (abad ke-2 SM) atau prinsip kesamarataan seperti dalam komunisme?
Pembacaan sekilas sudah cukup untuk menemukan perbedaan-perbedaan penting antara gaya hidup jemaat mula-mula dan masyarakat Qumran/komunisme. Tidak ada keharusan bagi jemaat mula-mula untuk menjual semua harta mereka dan menyerahkannya untuk kepentingan bersama (5:4). Sebagian jemaat masih memiliki rumah yang dijadikan tempat untuk beribadah secara bergantian (2:45-46).
Penekanan dalam teks ini terletak pada ide tentang “penatalayan” (stewardship) versus “kepemilikan” (ownership). Apapun yang Allah berikan kepada kita merupakan sebuah penatalayanan. Kita hanya dipercaya oleh Allah untuk mengurus pemberian itu secara bijaksana. Posisi kita lebih ke arah “pengatur” (manajer) daripada “pemilik” (owner).
Dengan kesadaran sebagai para penatalayan, jemaat mula-mula tidak berani mengklaim bahwa “sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri” (4:32b). Ada bagian yang memang kita juga bisa nikmati, tetapi kenikmatan itu tidak boleh “sendiri”. Orang lain juga berhak menikmati apa yang kita miliki. Itulah sebabnya jemaat mula-mula berani berkata: “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (4:32b).
Ketiga, anugerah ilahi (ayat 33). Sikap hati (4:32a) dan teologi (4:32b) jemaat mula-mula tidak dapat dipisahkan dari Injil Yesus Kristus (4:33). Semua hal baik ini dimulai dari pemberitaan Injil: kematian dan kebangkitan Yesus.
Kuasa ilahi dalam pemberitaan Injil bukan hanya terlihat melalui mujizat. Kuasa ilahi juga dinyatakan melalui pencurahan anugerah ilahi. Pemberitaan Injil yang terus-menerus membuat jemaat mula-mula hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah (4:33b). Secara hurufiah bagian ini berbunyi: “dan kasih karunia yang besar/melimpah ada atas mereka semua” (mayoritas versi Inggris). Kata sambung “dan” (te) mengaitkan pemberitaan Injil di ayat 33a dengan pemberian kasih karunia Allah yang melimpah di ayat 33b. Pemberian ilahi inilah yang mendorong mereka untuk berani memberi diri bagi orang lain. Kasih karunia melimpah mengubahkan kita menjadi pribadi yang tidak kikir dan tidak serakah. Sebagaimana Allah telah mencari dan menyelamatkan orang berdosa, demikian pula orang percaya mencari dan menyelamatkan orang yang tidak punya apa-apa.
Kebenaran ini bertabrakan keras dengan berita di banyak mimbar gereja. Jemaat memang didorong untuk memberi, tetapi bukan melalui berita Injil. Mereka dimotivasi dengan janji-janji kenikmatan duniawi: banyak memberi akan banyak diberkati. Ini adalah pemutarbalikan kebenaran!
Kita memberi karena sudah diberkati. Di dalam kematian dan kebangkitan Kristus kita sudah menerima lebih daripada yang kita pantas dapatkan. Hanya mereka yang benar-benar puas di dalam Kristus yang mampu untuk menyampahkan dunia.
Aksi (ayat 34-37)
Kita sering menemukan di dalam Alkitab bahwa imperatif (perintah) didahului dengan indikatif (pernyataan). Tindakan praktis dilandaskan pada alasan teologis. Apa yang kita lakukan didorong oleh apa yang Allah lakukan. Pola itulah yang kita temukan di sini. Aksi (4:34-37) bersumber dari hati (4:32a), teologi (4:32b), dan anugerah ilahi (4:33).
Ribuan orang Yahudi yang bertobat dari pasal 2-4 kemungkinan besar adalah para peziarah dari berbagai daerah yang sedang merayakan Hari Raya Pentakosta (lihat 2:1-11). Tatkala mereka bertobat, mereka memutuskan untuk tinggal di Yerusalem lebih lama. Perbekalan mereka sangat mungkin tidak lagi memadai. Mereka tidak mampu membayar sewa penginapan maupun kebutuhan sehari-hari mereka. Di tengah situasi seperti ini jemaat mula-mula tidak berdiam diri. Mereka memberi diri. Mereka belajar untuk berbagi.
Apa yang dilakukan oleh mereka di sini terbilang luar biasa. Kemurahhatian mereka melebihi praktek kebajikan pada zamannya. Sebagai contoh, pada zaman itu tanah atau rumah merupakan sumber kekayaan, status sosial dan jaminan utama. Semakin banyak tanah/rumah yang dimiliki, semakin seseorang dihormati. Semakin banyak ladang berarti semakin banyak penghasilan. Semakin banyak properti semakin tenang sampai tua nanti. Ketika seseorang menjual tanah/rumah dan diberikan untuk kepentingan bersama, orang itu mungkin telah mengurbankan harta utama, sumber penghasilan utama, martabat dalam komunitas maupun ketenangan hari tua.
Hal lain yang membuat kemurahhatian jemaat mula-mula terlihat sangat menonjol adalah pemberian yang tanpa pilih dan pamrih. Menurut kebiasaan pada waktu itu, banyak orang cenderung memberi kepada orang lain yang memiliki status sosial yang sama. Pemberian itu juga umumnya bersifat resiprokal. Maksudnya, memberi supaya diberi. Ada pamrih. Tidak demikian dengan jemaat mula-mula di 4:34-37. Tidak ada keuntungan yang mereka dapatkan dari penerima bantuan. Yang diberi juga orang-orang yang secara sosial dan ekonomi lebih rendah daripada mereka.
Yang tidak kalah menarik, para pemberi di jemaat mula-mula meletakkan hasil penjualan di depan kaki para rasul untuk dikelola. Bukan kebetulan jika keterangan ini dituliskan sebanyak dua kali (4;35, 37; juga 5:2). Cara pemberian seperti ini mengurangi godaan arogansi dan dominasi. Si pemberi tidak akan tahu siapa yang menerima pemberian itu. Dia tidak memiliki ruang untuk menyombongkan diri maupun mengontrol penerima bantuan. Pola ini berbeda dengan kebiasaan pada zaman itu. Sebagian orang kaya memang melindungi dan memberi bagi kumpulan orang tertentu. Pemberi akhirnya memiliki dominasi. Penerima memberikan loyalitas pada pemberi. Dua hal ini tidak akan terjadi di jemaat mula-mula. Tidak ada ketergantungan pada orang kaya karena semua diberikan melalui gereja. Para rasul juga bisa dipercaya. Mereka menyalurkan pemberian kepada yang membutuhkan (4:35), bukan untuk memperkaya diri sendiri. Soli Deo Gloria.