Benarkah Orang Kristen Sekarang Tidak Boleh Makan Makanan Haram Menurut Imamat 11? (Bagian 2)

Posted on 27/10/2019 | In QnA | Leave a comment

Oleh: Denny Teguh Sutandio (mahasiswa M.Th. Praktika di STT-SAAT Malang)

(Lanjutan tgl 20 Oktober 2019)

Sekarang kita beralih ke Kisah Para Rasul 10:15. Penglihatan Petrus di Kisah Para Rasul 10:11-16 (khususnya ay. 15) memang bermakna rohani yaitu agar Petrus tidak menyebut Kornelius dan keluarganya sebagai orang-orang kafir (ay. 28), namun makna rohani jelas berkaitan dengan simbolnya. Di dalam teologi PL, hukum makanan halal dan haram merupakan hukum simbolis di mana makanan halal merupakan simbol dari orang-orang Yahudi yang takut akan Allah dan makanan haram merupakan simbol dari orang-orang non-Yahudi (Im. 20:25-26). Ketika konsep PL ini diterapkan di Kisah Para Rasul 10, maka secara logis, penglihatan Petrus dan konfirmasi Allah kepadanya di ayat 15 bahwa apa yang Allah nyatakan halal jangan nyatakan haram jelas berarti makanan halal dan haram yang menyimbolkan orang-orang kafir dan non-kafir sudah tidak berlaku lagi. Penglihatan ini menyadarkan Petrus agar ia tidak menyebut Kornelius dan keluarganya sebagai orang kafir. Ini berarti makna penglihatan Petrus secara jasmani dan rohani saling berkaitan. Jika Kisah Para Rasul 10:15 ditafsirkan hanya secara rohani bahwa Petrus tidak boleh menyebut Kornelius dan keluarganya sebagai orang kafir (ay. 28) namun hukum makanan halal dan haram masih berlaku, maka tafsiran ini jelas tidak logis karena memisahkan simbol dan makna rohaninya. Jika hukum makanan halal dan haram masih berlaku, maka secara logis, Petrus pun berhak menyebut Kornelius dan keluarganya sebagai orang-orang kafir karena makanan haram menyimbolkan orang kafir atau non-Yahudi. Jika demikian, maka bukankah penglihatan Petrus di Kisah Para Rasul 10 terlihat aneh: makanan halal dan haram tidak dibatalkan, tetapi makna rohaninya adalah tidak ada lagi perbedaan orang kafir dan tidak?

Meskipun peraturan detail di Imamat 11:1-47 tidak berlaku dan hukum makanan halal dan haram sudah dibatalkan di Perjanjian Baru, namun prinsip teologis di balik hukum ini yaitu kekudusan (ay. 44-45) tetap berlaku bagi orang Kristen zaman ini. Di dalam 1 Petrus 1:15-16, pentingnya orang percaya hidup kudus seperti Allah yang kudus dari Imamat 11:44-45 kembali diulang Petrus, namun perbedaannya di 1 Petrus 1:15-16, kekudusan yang dimaksud berkaitan dengan moralitas (ay. 14), bukan tentang makanan. Lagipula, kekudusan di seluruh Perjanjian Baru tidak pernah berkaitan dengan makanan. Ini menunjukkan esensi Imamat 11 berlaku universal baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, namun ekstensinya berbeda antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Biarlah melalui penjelasan singkat ini dapat menyadarkan banyak orang Kristen bahwa Kristus telah membatalkan hukum makanan halal dan haram, namun di sisi lain, kita sebagai orang Kristen tetap perlu hidup kudus di hadapan Allah yang telah menciptakan, menebus, dan melahirbarukan kita melalui kehidupan sehari-hari kita, bukan tentang makanan. Amin. Soli Deo Gloria.

admin