Oleh: Denny Teguh Sutandio (mahasiswa M.Th. Praktika di STT-SAAT Malang)
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) mengajarkan bahwa Imamat 11:1-47 tentang makanan halal dan haram tetap berlaku bagi orang Kristen zaman ini. Alasannya adalah hukum Allah, salah satunya Imamat 11:1-47, tidak berubah. Ketidakberubahan hukum Allah ditunjukkan dengan hukum makanan halal dan haram tidak dihapuskan di Perjanjian Baru. Dengan presuposisi ini, maka GMAHK menafsirkan Kisah Para Rasul 10:15 dengan menjelaskan bahwa penglihatan yang Petrus terima bukan berarti hukum makanan halal dan haram ditiadakan, tetapi penglihatan Petrus memiliki makna rohani yaitu Petrus tidak boleh membeda-bedakan orang najis atau tahir (ay. 28). Benarkah argumentasi demikian dapat dibenarkan?
Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi GMAHK yang mempedulikan kesehatan manusia dengan tidak memakan makanan yang “haram,” namun di sisi lain, perhatian terhadap kesehatan manusia tidak berarti dukungan Alkitab terhadap doktrin larangan makan makanan haram dapat dibenarkan. Hukum Allah memang berlaku universal, namun permasalahannya hukum Allah harus dilihat dari doktrin kovenan. Roy E. Gane, teolog GMAHK mengatakan bahwa kovenan baru di dalam Kristus didasarkan pada kovenan sebelumnya, sehingga bagi Gane, selama kovenan baru tidak membatalkan kovenan Musa, maka hukum Allah di dalam kovenan Musa tetap berlaku di era kovenan baru. Permasalahannya adalah Gane tidak melihat kovenan baru membatalkan hukum makanan halal dan haram karena Gane seorang penganut GMAHK yang memang menganut doktrin universalitas hukum makanan halal dan haram. Berbeda dengan GMAHK, Alkitab jelas mengajarkan bahwa kovenan baru membatalkan dan menggantikan kovenan lama karena kovenan lama disebut sebagai kovenan yang “tua,” “usang,” dan “telah dekat kepada kemusnahannya” (Ibr. 8:13). Hal ini berarti kovenan lama tidak berlaku lagi bagi orang Kristen zaman ini. Tetapi apakah itu berarti segala hal di dalam kovenan lama tidak memiliki signifikansi bagi orang Kristen? Tentu ada. Esensi atau prinsip teologis di dalam kovenan lama tetap berlaku, namun hukum-hukum dan hal-hal detail tidak berlaku.
Dengan prinsip ini, maka kita dapat menafsirkan Imamat 11:1-47 secara detail tidak berlaku lagi bagi orang Kristen zaman ini karena Imamat 11:1-47 ditujukan kepada orang-orang Israel (ay. 2) dengan latar belakang mereka dipersiapkan Allah dengan serangkaian hukum kemurnian (Im. 11-15) untuk menghadap Allah yang Mahakudus di Kemah Suci (konteks besar seluruh kitab Imamat). Nah, orang Kristen zaman ini jelas bukan termasuk orang Israel jasmani dan tidak perlu menghadap Allah di Kemah Suci, sehingga peraturan detail di Imamat 11:1-47 tidak berlaku bagi orang Kristen zaman ini. Jika Imamat 11:1-47 yang jelas ditujukan kepada orang Israel ditafsirkan sebagai hal universal, maka secara logis, Imamat 12 yang juga ditujukan kepada orang Israel (ay. 2) bersifat universal. Jika Imamat 12 bersifat universal, maka secara logis, ayat 3 yang mengajarkan tentang anak-anak laki-laki harus disunat pada hari kedelapan juga bersifat universal, namun permasalahannya adalah mereka yang menafsirkan Imamat 11 sebagai hukum yang universal tidak konsisten karena mereka tidak menafsirkan Imamat 12:3 juga sebagai hukum yang universal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya anak laki-laki mereka yang disunat pada hari kedelapan sesuai Imamat 12:3. Selain hukum makanan halal dan haram di Imamat 11 tidak berlaku lagi, hukum ini pun jelas dibatalkan oleh Kristus di Markus 7:19 dan Allah sendiri melalui penglihatan Petrus di Kisah Para Rasul 10:15.
Bersambung………