Belajar Penginjilan dari Paulus (Kisah Para Rasul 17:16-34)

Posted on 11/11/2018 | In Teaching | Leave a comment

Injil memang bersifat kekal dan universal. Kekal, karena sampai kapanpun manusia membutuhkan kebebasan dari belenggu dosa dan keselamatan dari hukuman ilahi. Injil akan selalu relevan dan tidak pernah ketinggalan zaman. Universal, karena kebutuhan terhadap kebebasan dan keselamatan ini menjadi milik semua orang. Tidak peduli siapa, darimana, bagaimana, dan di mana seseorang berada, Alkitab dengan jelas berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23)”.

Pengakuan terhadap kekekalan dan universalitas Injil ini tidak berarti penolakan terhadap elemen temporal dan kultural dalam pemberitaan Injil. Kemasan dan strategi penginjilan harus disesuaikan dengan orang dan situasi. Beda orang, beda keadaan, beda pendekatan.

Begitu juga yang dilakukan oleh Paulus. Dia mendekati orang-orang Yahudi dengan cara yang berbeda dengan dia menghadapi orang-orang Yunani. Tatkala dia berada di depan orang-orang Yunani dia tidak mengutip ayat-ayat kitab suci maupun menunjukkan penggenapan nubuat-nubuat dalam kitab suci, walaupun apa yang dia katakan selaras dengan kitab suci. Pendengarnya mungkin tidak pernah mengetahui atau membaca kitab-kitab itu. Karena itu, Paulus menggunakan strategi yang berbeda.

Bagaimana Paulus memberitakan Injil kepada orang-orang di Athena? Apa yang kita bisa adopsi dan adaptasi ke dalam keadaan kita sekarang?

 

Mengenali keadaan dengan cermat (ayat 16-21)

Hal pertama yang dilakukan Paulus di Atena adalah mengamati kota itu. Dia mendapati begitu banyak penyembahan berhala di sana, sehingga hatinya merasa sedih (LAI:TB, ayat 16). Beberapa versi Inggris menerjemahkan kata “sedih” (paroxynomai) di sini dengan “tertekan” (RSV/NIV/NLT). Terjemahan yang lebih hurufiah adalah “terprovokasi” (ESV/NASB). Maknanya lebih berkaitan dengan kemarahan (1Kor. 13:5 “kasih itu tidak marah”; Yes. 65:3; Hos. 8:5) daripada kesedihan atau tekanan. Sikap hati yang marah atau jijik terhadap penyembahan berhala ini sangat lazim di antara orang-orang Yahudi yang menganut monoteisme secara ketat.

Apa yang ada di dalam hati perlu diekspresikan dengan hati-hati. Ada banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan. Setiap ungkapan kemarahan harus memperhatikan keadaan.

Paulus memilih untuk menyalurkan isi hatinya melalui dialog (ayat 17 dialegomai, LAI:TB “bertukar pendapat”). Dia melakukannya ini pada tempat yang tepat, yaitu synagoge (untuk orang-orang Yahudi) atau pasar (untuk orang-orang Yunani). Dua tempat ini memang menjadi salah satu tempat strategis untuk menyampaikan pendapat. Tidak heran, ajarannya dengan cepat menarik perhatian banyak orang. Dia pun dibawa ke sidang Areopagus (ayat 19-20), entah dalam rangka diadili atau sekadar diminta pendapatnya.

Paulus juga cermat dalam mengamati pendengarnya. Dia mengetahui dengan baik bahwa penduduk Atena memiliki keterbukaan terhadap berbagai ajaran (ayat 21). Sikap ini tidak lepas dari posisi Atena sebagai kota pengetahuan. Banyak filsuf ternama lahir atau berkarya di sana. Keterbukaan ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Atena.

 

Menghargai keyakinan orang lain (ayat 22-23)

Di awal khotbahnya, Paulus menyebut penduduk Atena sebagai orang-orang yang “sangat beribadah kepada dewa-dewa” (deisidaimōn, ayat 22). Kata ini bisa bermakna positif (“relijius”, RSV/NASB/NIV) atau negatif (“percaya takhayul”, KJV). Dalam hal ini yang menjadi penentu arti adalah konteks. Karena pernyataan ini diucapkan oleh Paulus di awal khotbahnya dan keseluruhan khotbah juga tidak terlalu menyerang keyakinan mereka, kita sebaiknya menhgambil makna yang lebih positif. Paulus memang mengapresiasi hasrat relijius mereka.

Penduduk Atena bukan hanya relijius. Mereka sangat relijius (NRSV “extremely religious”). Hal ini ditunjukkan bukan hanya melalui satu hal, tetapi “dalam segala hal”(kata panta). Kita tidak tahu persis hal-hal apa saja yang dilihat oleh Paulus dan membuat dia mengambil kesimpulan seperti itu. Yang jelas, salah satu bukti kualitas relijius mereka adalah keberadaan mezbah yang diperuntukkan bagi illah yang tidak dikenal (ayat 23).

Bagi penganut politeisme, keberadaan mezbah seperti ini sangat bisa dipahami. Pada prinsipnya mereka ingin menyembah semua dewa. Namun, mereka juga tidak mengetahui jumlah pasti dari semua dewa yang ada. Sebagai upaya berjaga-jaga – supaya tidak ada satu dewa pun yang terabaikan dan menjadi marah – mereka mempersembahkan mezbah kepada dewa itu.

Apa yang mereka sembah tanpa mengenal, itulah yang ingin dikenalkan Paulus kepada mereka. Bukan berarti Paulus dan mereka menyembah allah yang sama. Bukan berarti tidak ada perbedaan konsep antara keduanya. Dalam konteks “allah-allah yang tidak dikenal oleh penduduk Atena”, Allah yang disembah oleh Paulus jelas masuk dalam kategori itu.

Penghargaan seperti ini terbilang luar biasa. Paulus sendiri memahami bahwa apa yang disembah mereka sebenarnya bukan allah (Gal. 4:8). Lebih jauh lagi, objek penyembahan itu adalah roh-roh jahat (1Kor. 10:20-21). Bagaimanapun, di mata mereka, objek penyembahan adalah allah/dewa. Paulus hanya memulai dari sana sebagai titik awal penginjilan.

 

Menggunakan penalaran sebagai pijakan bersama (ayat 25-26)

Dalam bagian ini Paulus memulai dengan konsep tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Dua hal ini juga diamini oleh orang-orang Yunani yang relijius. Terlepas dari berapa banyak allah yang mereka percayai, semua percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara. 

Yang ditekankan oleh Paulus adalah implikasi dari konsep di atas. Jika Allah adalah Pencipta, maka Dia tidak dapat dibatasi oleh tempat (ayat 25). Dia lebih besar daripada semua tempat. Bagaimana Pencipta langit dan bumi dapat dibatasi pada mezbah atau kuil tertentu buatan manusia? Poin ini sebenarnya berakar dari Perjanjian Lama (1Raj. 8:27), tetapi Paulus sengaja tidak menggunakan kitab suci. Pada poin ini, penalaran saja sudah memadai.

Jika Allah adalah Pemelihara alam semesta, maka Dia tidak membutuhkan apapun di luar diri-Nya (ayat 25). Dia benar-benar bebas dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada keharusan dan kebutuhan dalam diri-Nya. Tanpa apapun Dia tetap sempurna dan utuh,  karena itu, Allah tidak membutuhkan pelayanan manusia (bdk. Rm. 11:33-35). Konsep yang sama diajarkan oleh para pemikir Yunani (Aristobulus, Euripides, Heracles). Bagaimana mungkin Allah membutuhkan manusia sedangkan manusia sendiri menggantungkan diri pada Allah untuk nafas dan segala sesuatu dalam hidup ini?

 

Memahami dan memanfaatkan ajaran pihak lain (ayat 26-29)

Allah adalah Pemelihara semua manusia (ayat 24-25). Bagaimana Dia menunjukkan pemeliharaan tersebut? Di ayat 26-29 Paulus menerangkan lebih jauh tentang salah satu wujud pemeliharaan Allah atas alam semesta, yaitu asal-usul dan keberlangsungan umat manusia di bumi ini. 

Allah menjadikan semua bangsa dari satu orang saja (ayat 26a). Dia juga yang menentukan batas kediaman dan musim bagi mereka (ayat 26b). Tidak terlalu jelas apakah musim di sini merujuk pada sejarah politis masing-masing negara atau musim yang berkaitan dengan alam (musim panen, iklim, dsb.). Manapun yang benar, poin yang ingin disampaikan adalah keterlibatan Allah secara langsung dalam pemeliharaan segala bangsa (bandingkan dengan ayat 24-25 yang masih terkesan konseptual).

Allah memiliki maksud di balik keterlibatan yang langsung ini. Allah ingin menunjukkan bahwa Dia tidak jauh dari manusia (ayat 27b), sehingga manusia seyogyanya bisa menemukan Dia (ayat 27a). Seberapa dekatkah Allah dengan kita? Paulus, mengutip beberapa pujangga (filsuf/pemikir) Yunani, berkata: “sebab di dalam Dia kita hidup, kita ada, kita bergerak” (ayat 28). Ungkapan yang sangat mirip diucapkan oleh Seneca, salah seorang penulis Yunani kuno: “Allah itu dekat dengan engkau, bersama engkau, dan di dalam engkau”. Beberapa penulis kuno lain pun mengajarkan konsep yang sama (misalnya: Dio Chrysostom, Epimenidies).

Manusia bisa sedekat itu dengan Allah sebab manusia adalah keturunan Allah (ayat 28). Konsep ini tidak asing bagi penduduk Atena. Konsep ini seringkali dikaitkan dengan Aratus atau Cleanthes. Dalam pikiran pendengarnya, Paulus mungkin sedang membicarakan tentang Zeus sebagai cikal-bakal semua manusia.

Kutipan-kutipan ini menyiapkan landasan bagi kritikan Paulus terhadap penyembahan berhala. Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka dalam banyak hal manusia mencerminkan Allah. Jikalau manusia bukan hanya terdiri dari aspek-aspek jasmaniah, apalagi Tuhan (ayat 29). Jikalau manusia adalah keturunan Allah, maka Allah pasti lebih besar daripada yang bisa dilakukan oleh manusia (mezbah, patung, kuil, dsb.).

 

Menjelaskan keunikan kekristenan (ayat 30-31)

Kritikan terhadap keyakinan penduduk Atena (ayat 22-29) bermanfaat untuk membuktikan bahwa semua manusia bersalah (ayat 30). Rasio menunjukkan betapa salahnya penyembahan berhala. Allah tidak boleh dan tidak dapat dibatasi oleh mezbah, kuil, atau patung. Keteraturan alam menyingkapkan bahwa Allah sebenarnya tidak jauh. Tetapi, mengapa manusia tidak mampu menemukan Dia? Kesalahan ini lebih ke arah kebebalan daripada kebodohan.

Jikalau manusia memang melakukan kesalahan, maka hukuman patut diberikan. Itu adalah keadilan. Pertanyaannya, apakah dengan memberikan hukuman maka kegagalan itu dapat diselesaikan? Tentu saja tidak! Pasti ada cara dan solusi lain.

Manusia memang gagal menemukan Allah, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Allah gagal untuk ditemukan. Sesudah membiarkan periode kebebalan cukup lama, Allah berintervensi langsung ke dalam sejarah (ayat 31). Allah menjadi manusia untuk menanggung kesalahan dan menggantikan kegagalan manusia. Kematian-Nya menyelesaikan persoalan dosa. Namun, upah dosa belum sepenuhnya dibereskan. Kebangkitan-Nya dari antara orang mati membuktikan bahwa upah dosa sudah diselesaikan.

Poin yang ingin ditegaskan Paulus di ayat 31 sangat mungkin terletak pada kebangkitan tubuh. Konsep ini sangat ditentang dalam budaya Yunani, karena tubuh dianggap jahat atau tidak sempurna. Melalui kebangkitan tubuh di dalam Kristus, aspek jasmaniah dan rohaniah manusia dipuaskan. Tubuh tidak sepenuhnya jahat dan tidak selamanya lemah. Tubuh tidak selalu menjadi penjara bagi jiwa-roh. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko