Baptisan ulang perlukah?

Posted on 17/04/2016 | In QnA | Leave a comment

Baptisan pasti tidak asing bagi semua orang Kristen. Sebagian sudah mengerti arti baptisan, bahkan mungkin sudah menjalani sakramen ini. Walaupun demikian, perdebatan seputar baptisan tidak pernah reda. Beragam aspek dipersoalkan. Apakah dasar Alkitabiah bagi baptisan anak? Apakah baptisan harus dengan cara diselamkan? Apakah baptisan perlu diulang?

Deretan pertanyaan di atas tentu saja masih bisa diperpanjang dan dipersulit. Deretan tersebut juga tidak berdiri sendiri-sendiri. Jawaban terhadap suatu pertanyaan menentukan sikap seseorang terhadap pertanyaan yang lain. Dalam artikel ini kita hanya akan berfokus pada isu baptisan ulang. Apakah seseorang perlu dibaptis ulang?

Tinjauan historis singkat

Perdebatan seputar baptisan ulang sudah berusia belasan abad. Isu ini sudah muncul sejak abad permulaan. Beragam sekte dan bidat pada zaman itu juga mempraktekkan baptisan. Tatkala pengikut ajaran sesat ini keluar dan bergabung dengan gereja-gereja yang menganut teologi ortodoks, mereka tidak jarang didesak atau dipaksa untuk menjalani baptisan ulang. Sejak abad ke-4 para pemimpin gereja umumnya mengambil keputusan bahwa sejauh baptisan itu dilakukan di dalam Nama Allah Tritunggal, bapitsan itu tetap sah. Mantan anggota sekte atau bidat hanya perlu mengikuti pembinaan doktrin.

Kontroversi juga sempat mencuat lagi di abad ke-4 sehubungan dengan gerakan Donatisme. Pengikut gerakan ini mempersoalkan keabsahan baptisan yang dilakukan oleh para rohaniwan yang tidak benar. Sebagaimana diketahui, beberapa pemimpin Kristen justru berkomplot dengan pihak Romawi yang menganiaya orang-orang Kristen. Bapa gereja Aurelius Agustinus menentang pandangan ini dan menegaskan bahwa keabsahan baptisan tidak ditentukan oleh rohaniwan. Mereka memang instrumen ilahi yang tidak sempurna, namun baptisan yang sesungguhnya dilakukan sendiri oleh Kristus.

Pada zaman reformasi (abad ke-16) persoalan lain dimunculkan. Pengikut aliran Anabaptis menolak baptisan anak maupun baptisan yang dilakukan oleh Gereja Roma Katholik. Mereka meyakini bahwa baptisan adalah tanda pertobatan, sehingga tidak pantas diberikan pada bayi atau anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Terhadap desakan ini, para reformator lain sepakat menentang. Warisan lama “sejauh baptisan itu dilakukan dalam Nama Allah Tritunggal” kembali didengungkan dan dipertegas. Tidak ada baptisan ulang bagi yang pernah dibaptis dalam Gereja Roma Katholik, baik pada baptisan anak-anak maupun dewasa, karena orang-orang Roma Katholik juga mempercayai Allah Tritunggal.

Banyak gereja aliran Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik di masa modern memaksakan baptisan ulang. Mereka yang dulu hanya dibaptis secara percik diwajibkan mengikuti sakramen baptisan lagi. Baptisan anak-anak dianggap tidak Alkitabiah maupun tidak sah, sehingga perlu dilakukan lagi. Gereja-gereja Protestan umumnya tetap kukuh pada warisan teologi mereka. Baptisan ulang tidak diperlukan sejauh baptisan yang lama dilakukan dalam Nama Allah Tritunggal.

Mereka yang menentang baptisan anak memandang baptisan itu sebagai sesuatu yang tidak sah. Alasan yang mereka berikan secara garis besar dapat dirangkum dalam dua kelompok: (1) Alkitab tidak pernah menceritakan – apalagi mengajarkan - tentang baptisan anak-anak; (2) baptisan adalah tanda pertobatan, sehingga anak-anak tidak mungkin memenuhi kriteria ini. Karena itu, siapa saja yang sudah dibaptis pada waktu anak-anak harus dibaptis dewasa lagi pada waktu mereka sudah mampu memahami dan menerima penebusan di dalam Kristus Yesus.

Dua argumen di atas jelas tidak terlalu kuat. Ketidakadaan rujukan eksplisit di dalam Alkitab terhadap suatu hal bukan selalu berarti larangan terhadap hal tersebut. Alkitab tidak pernah menyinggung keikutsertaan perempuan dalam sakramen perjamuan kudus, namun hal itu pasti tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk melarang partisipasi jemaat perempuan dalam perjamuan kudus. Begitu pula sebaliknya, ketidakadaan larangan eksplisit terhadap suatu hal tidak berarti bahwa hal tersebut dizinkan. Larangan eksplisit terhadap kebiasaan merokok tidak ada di Alkitab, namun hal itu tidak boleh diartikan sebagai izin untuk merokok. Alkitab tidak mencatat segala sesuatu dan secara detil. Hanya apa yang perlu bagi keselamatan dan pertumbuhan rohani kita yang dituliskan (Ul 29:29; 2 Tim 3:16). Alkitab bersifat cukup, bukan lengkap.

Dalam kaitan dengan baptisan anak dalam Alkitab, pendukung baptisan anak bisa saja mengutip beberapa peristiwa sebagai dukungan. Beberapa kali Alkitab mencatat kisah pertobatan dan baptisan yang dijalani oleh seseorang beserta seluruh is rumahnya (Kis 16:15, 33; 18:8). Ungkapan “seisi rumahnya” di luar Alkitab kadangkala merujuk pada semua orang yang berada dalam perlindungan atau pemeliharaan seorang kepala keluarga tanpa terkecuali. Anak-anak jelas termasuk di dalamnya.

Bagaimanapun, kita tidak dapat memastikan bahwa arti secara umum itu juga berlaku atas setiap kasus khusus di Kisah Para Rasul 16:15, 33, dan 18:8. Tidak ada petunjuk jelas bahwa anak-anak kecil turut dibaptiskan. Jadi, tidak ada petunjuk eksplisit yang konklusif dalam hal ini.

Tentang baptisan sebagai tanda pertobatan, kita perlu berhati-hati di sini. Perjanjian Baru tidak hanya memandang baptisan dalam makna itu saja. Kolose 2:11-12 jelas menyamakan baptisan dengan sunat. Sebagaimana sunat merupakan tanda perjanjian dan dipraktekkan pada bayi-bayi Israel (Kej 17:11), demikian pula dengan baptisan pada anak-anak. Sebagaimana sunat tidak menunggu sampai anak-anak Israel beranjak remaja dan mampu memutuskan sendiri, demikian pula dengan baptisan anak. Baik sunat maupun baptisan anak muncul dari kehendak dan keputusan orang tua dalam konteks ikatan umat perjanjian. Mereka secara sadar meletakkan semua aspek kehidupan mereka, termasuk anak-anak, ke dalam wadah perjanjian, karena mereka adalah umat perjanjian.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa baptisan anak adalah praktek yang sah. Bahkan jika dua posisi yang ada ditimbang dengan seksama berdasarkan Alkitab, kita dapat mengatakan bahwa posisi mereka yang mendukung baptisan anak jauh lebih kuat. Jadi, mereka yang sudah dibaptis pada waktu anak-anak tidak perlu lagi dibaptis dewasa. Mereka hanya perlu menjalani pembinaan doktrin (katekisasi) dan diteguhkan imannya di depan publik (sidi).

Sebagian besar gereja Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik tidak hanya menolak baptisan anak. Mereka juga menentang baptisan percik, termasuk yang dikenakan pada orang Kristen yang sudah dewasa. Semua baptisan percik dipandang tidak sah, dan wajib diulangi lagi pada waktu dewasa secara selam.

Banyak argumen diangkut sebagai dukungan. Tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan persoalan, semua argumen mereka dapat diringkas sebagai berikut: (1) tidak ada petunjuk Alkitab bahwa suatu baptisan pernah dilakukan secara percik; (2) Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis secara selam (Mat 3:16//Mar 1:10); (3) gereja mula-mula juga mempraktekkan baptisan selam (Kis 8:39); (4) baptisan merupakan lambang persatuan dalam kematian dan kebangkitan Kristus, sehingga cara selam paling tepat menggambarkan makna kesatuan itu; (5) kata “membaptis” (baptizō) selalu berarti “menyelamkan sesuatu seluruhnya ke dalam air.”

Sekilas alasan-alasan di atas terlihat benar, masuk akal, dan pasti. Ternyata, pemikiran lebih lanjut menghasilkan kesan yang berlainan. Sebagaimana sudah disinggung di bagian sebelumnya, ketidakadaan rujukan eksplisit dalam Alkitab tidak dapat dijadikan pembenaran, kecuali jika didukung oleh rujukan-rujukan lain yang implisit.

Baptisan yang dikenakan pada Kristus juga perlu dikaji lebih mendalam. Keteladanan Kristosentris bukan secara hurufiah dan sembarangan. Misalnya, kita tidak perlu meniru cara kematian Kristus. Kematian kita tidak akan memiliki nilai penebusan seperti kematian-Nya. Kita tidak usah meniru cara Yesus mengekspresikan kemarahannya di halaman bait Allah, karena apa yang Ia lakukan hanyalah pesan simbolis dalam kapasitas Dia sebagai Mesias. Bahkan dalam kaitan dengan baptisan Yesus, kita langsung dapat menangkap keunikan baptisan-Nya. Tidak seperti orang lain yang dibaptis sebagai tanda pertobatan dari dosa-dosa (Mat 3:2, 6), baptisan Yesus untuk penggenapan rencana ilahi (Mat 3:13-15). Pada poin ini saja, baptisan kita “tidak meneladani” Kristus. Di samping itu, jika cara baptisan harus sama dengan Yesus, mengapa tempat (Sungai Yordan) dan pelaksana baptisan (Yohanes Pembaptis) tidak disamakan sekalian? Sebagai catatan, kegilaan banyak orang untuk dibaptis ulang di Israel (daerah Yardenit) merupakan sikap yang keliru dan bodoh. Baptisan yang sudah sah tidak perlu diulang. Yardenit juga terbukti (secara konklusif!) tidak sama dengan tempat Yesus dibaptis dahulu.

Berkaitan dengan praktek baptisan selam di gereja mula-mula, kita perlu mengerti juga bahwa ritual baptisan bukanlah eksklusif milik orang Kristen. Pembasuhan tubuh dengan air sebagai tanda kesucian rohani sudah ada dalam tradisi Yahudi sebelum zaman Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus, maupun para rasul. Masyarakat Qumran di Laut Mati pada abad ke-2 SM sampai abad ke-1 M mempraktekkan ritual semacam ini. Baptisan “selam” pada kekristenan awal harus dipandang sebagai pesan teologis yang dibungkus secara kultural dan historis. Maksudnya, yang bernilai permanen hanyalah esensinya (pembasuhan jasmani sebagai lambang penyucian rohani), sedangkan bentuk ekspresinya (diselamkan) merupakan warisan kultural Yahudi pada zaman tertentu. Itulah sebabnya, gereja-gereja paska-rasuli di abad permulaan mempraktekkan cara baptisan air yang berlainan: ada yang diselam, ada yang dituang, ada yang diolesi, adapula yang dipercik. Para penerus para rasul tidak pernah mempersoalkan perbedaan kecil ini sama seperti orang-orang Kristen sekarang yang menuntut baptisan ulang secara selam. Yang penting apa yang disimbolkan, bukan simbolnya.

Untuk menyampaikan apa yang disimbolkan, perlambangan yang paling kuat – harus diakui – adalah baptisan selam. Kesatuan dengan kematian Kristus (dimasukkan ke dalam air) dan dengan kebangkitan-Nya (diangkat keluar dari air) dapat tervisualisasi secara lebih baik. Walaupun demikian, kita tidak boleh memutlakkan simbol sama seperti kita memutlakkan esensinya. Apa yang disimbolkan memang mutlak, tetapi perwujudannya tidak selalu begitu. Saya sendiri dibaptis secara selam dan lebih mendukung baptisan selam, tetapi saya tidak pernah menganggap cara ini lebih Alkitabiah atau lebih bermakna daripada baptisan air yang lain.

Baptisan oleh rohaniwan bermasalah tidak perlu diulang

Beberapa orang sempat menggumulkan baptisan mereka karena mereka mendengar kabar bahwa pendeta yang membaptis mereka dahulu ternyata bermasalah. Beberapa hamba Tuhan itu melakukan kriminalitas sehingga terjerat ke dalam kemelut hukum yang berat. Beberapa yang lain memiliki kehidupan keluarga yang berantakan. Beberapa lagi mungkin ada yang murtad dan meninggalkan kekristenan. Apakah semua baptisan yang sudah dilayankan oleh rohaniwan semacam ini menjadi tidak sah? Sama sekali tidak!

Keabsahan baptisan ditentukan oleh Tuhan sendiri. Selama baptisan sudah dilakukan seturut dengan firman Allah, baptisan itu tetap sah dan mengikat. Alkitab tidak pernah meletakkan khasiat baptisan pada hamba Tuhan. Paulus bahkan mensyukuri bahwa ia tidak membaptis banyak orang di Korintus, karena hal itu ternyata telah dijadikan salah satu akar perselisihan (1 Kor 1:14-17). Sebagian jemaat merasa bahwa baptisan oleh rasul atau hamba Tuhan tertentu memiliki makna yang spesial.

Sekali lagi, kita perlu mengingat bahwa baptisan hanyalah tanda. Seberapapun penting dan mengikat suatu baptisan, sakramen hanyalah tanda. Selama dijalankan seturut kitab suci, khasiatnya tetap ada. Allah memeteraikan berkat, janji, dan kasih-Nya di dalam sakramen. Keberlangsungan dari semua manfaat rohani ini tidak dibatasi oleh perilaku hamba Tuhan yang menjalankan sakramen.

Baptisan yang mungkin perlu diulang

Bagian ini sangat problematis. Kontroversi tajam bisa muncul. Karena itu, saya ingin menerangkan hal ini sejelas mungkin.

Ada sebuah kasus menarik yang baru-baru ini saya temui. Seseorang pernah dibaptis pada saat remaja di sebuah gereja kharismatik. Persoalannya, saat itu ia hanya dipaksa oleh orang tuanya. Ia belum beriman kepada Tuhan Yesus. Satu-satunya alasan adalah paksaan orang tua. Kini ia sudah beranjak dewasa dan semakin mengerti apa yang benar. Ia memohon untuk dibaptis ulang.

Kasus ini jelas berbeda dengan baptisan anak. Baptisan anak merupakan tanda perjanjian dan memang tidak memerlukan persetujuan si anak. Tidak ada alasan apapun untuk mengulang baptisan anak.

Jika seseorang dibaptis dewasa tetapi bukan karena kehendaknya dan bukan didasari pada iman kepada Yesus Kristus, apakah baptisan seperti ini secara esensial sah? Mari kita membandingkannya dengan seorang ateis atau penganut agama lain yang bersedia dibaptis hanya sebagai syarat pemberkatan nikah di gereja. Ia secara terang-terangan menyatakan ketidakpercayaannya kepada Yesus Kristus. Saya pernah menghadapi situasi semacam ini, dan saya menolak untuk membaptis orang-orang seperti itu.

Gereja mungkin berhak mengeluarkan surat baptisan maupun surat nikah. Catatan sipil juga akan menerima pengesahan gerejawi itu. Pertanyaannya, apakah status orang itu di hadapan Allah juga berubah: dari seteru menjadi anak-Nya? Apakah baptisannya benar-benar menjadi tanda perjanjian, pengakuan dosa, dan keselamatan? Tentu saja tidak, bukan?

Nah, cara berpikir yang sama dapat diterapkan pada mereka yang pernah dibaptis dewasa tetapi sekadar didasari oleh paksaan orang lain dan ketidakadaan iman kepada Yesus Kristus. Baptisan yang sah memang tidak menuntut pemahaman doktrin yang utuh, namun paling tidak konsep seseorang tentang baptisan dan keyakinan dasar terhadap keselamatan di dalam Kristus harus ada. Di luar ini, baptisannya menjadi tanpa makna.

Hal yang sama berlaku atas sakramen perjamuan kudus. Beberapa jemaat Korintus melakukan sakramen ini, tetapi dengan konsep dan cara yang keliru (1 Kor 11:23-34). Apakah sakramen mereka menjadi meterai bagi berkat-berkat rohani dari Allah? Tidak! Ritual itu justru menjadi penyebab hukuman Allah (ayat 29-32).

Untuk menerangkan problem baptisan yang sedang kita bahas, saya ingin melihatnya dengan sebuah pendekatan yang berbeda. Ada dua kisah tentang baptisan yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dalam perdebatan ini. Dua-duanya berhubungan dengan baptisan Yohanes Pembaptis.

Suatu kali Yohanes Pembaptis didatangi oleh sebagian orang Farisi dan Saduki yang ingin dibaptis juga (Mat 3:7-12). Yohanes tahu persis bahwa konsep mereka tentang baptisan keliru (hanya dipandang sebagai cara melepaskan diri dari hukuman Allah, tetapi tanpa disertai pertobatan yang sungguh-sungguh), karena itu ia menegur mereka dengan keras. Ia menegaskan bahwa baptisannya adalah sebagai tanda pertobatan, dan perlu disempurnakan melalui baptisan Yesus Kristus. Tidak ada petunjuk yang jelas apakah Yohanes pada akhirnya membaptis orang-orang itu. Menilik tegurannya yang begitu keras, ada kemungkinan besar Yohanes Pembaptis tidak mau membaptis mereka. Jika benar demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa baptisan dewasa yang tidak didasari oleh pengertian yang tepat tentang baptisan menjadikan baptisan tersebut tidak bermakna.

Kisah selanjutnya terjadi di Efesus (Kis 19:1-5). Paulus menjumpai beberapa orang yang sudah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Paulus tidak meremehkan baptisan Yohanes. Ia hanya menerangkan bahwa baptisan itu untuk pertobatan dan mengarahkan orang kepada Mesias, yaitu Tuhan Yesus. Pada saat orang-orang itu mendengar injil, mereka percaya kepada Yesus Kristus dan memberi diri untuk dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Paulus ternyata membaptis mereka lagi. Tidakkah cukup bagi Paulus untuk mengubah doktrin mereka tanpa harus dibaptis? Bukankah baptisan Yohanes tidak bertentangan dengan baptisan Kristiani (bahkan sebagai persiapan bagi yang lebih kemudian)? Kisah ini tampaknya memberi ruang tertentu untuk baptisan ulang.

Orang mungkin dapat menyanggah pernyataan di atas dengan menegaskan perbedaan antara baptisan oleh Yohanes dan baptisan oleh Yesus Kristus. Perbedaan itu dapat dijadikan alasan bahwa baptisan ulang diperbolehkan, bahkan diperlukan. Bagaimanapun, sanggahan ini kurang kuat. Paulus tidak menegaskan perbedaan antara dua baptisan itu saja, melainkan menerangkan bahwa baptisan yang awal mempersiapkan untuk yang kemudian. Dengan kata lain, ia lebih mempedulikan kesinambungan daripada kontras. Bahkan untuk yang bersifat berkesinambungan seperti ini Paulus bersedia melakukan baptisan ulang!

Perbedaan antara baptisan Yohanes dan baptisan Kristiani sebenarnya tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan perbedaan antara baptisan Kristiani yang tidak benar (dipaksa oleh orang lain dan tanpa pertobatan) dengan yang benar. Baptisan Yohanes masih memiliki makna dalam taraf tertentu. Baptisan dewasa Kristiani yang tidak benar hanyalah sebuah ritual tanpa makna. Jika yang masih bermakna dan berkaitan saja perlu diulang, bagaimana dengan yang mengandung perbedaan yang lebih jauh?

Berdasarkan pertimbangan ini, saya secara tentatif cenderung mengizinkan baptisan ulang bagi mereka yang pernah mengikuti baptisan dewasa tetapi bukan atas kehendak sendiri dan tidak disertai dengan konsep yang benar tentang baptisan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko