Bukan tanpa alasan apabila teks hari ini merupakan salah satu favorit bagi banyak orang Kristen dalam hal berdoa. Siapa yang meminta akan menerima. Siapa yang mencari akan mendapatkan. Siapa yang mengetuk akan mendapati pintu terbuka baginya. Sulit untuk menyangkali keindahan dan kekuatan dari teks ini.
Salah satu hal yang sederhana dan menarik dari teks ini – tapi sering dilupakan oleh banyak orang - adalah perintah untuk berdoa. Tiga kali kata kerja imperatif muncul di ayat 7 (mintalah, carilah, ketuklah). Pengulangan ini berfungsi sebagai penekanan. Ini merupakan perintah yang sangat penting sehingga memerlukan pengulangan.
Di samping itu, semua perintah ini berada dalam bentuk present tense. Artinya, perintah ini harus terus-menerus dilakukan. Kita diperintahkan untuk terus-menerus meminta, mencari, dan mengetuk. Ini bukan hanya tentang ketekunan dalam berdoa, melainkan keharusan terus-menerus dalam berdoa. Jika kita menyadari kebutuhan kita kepada Tuhan dalam segala sesuatu, kita pasti akan senantiasa berdoa. Dengan kata lain, berdoa bukanlah sesuatu yang kita lakukan, melainkan sebuah gaya hidup.
Jikalau berdoa merupakan sebuah perintah, berdoa bukanlah aktivitas yang alamiah. Manusia berdoa memiliki kecenderungan untuk tidak berdoa. Persandaran pada diri sendiri telah dipuja sedemikian rupa dalam dunia yang berdosa. Mengandalkan kekuatan adikodrati dari Allah dianggap sebagai kelemahan dan kebodohan. Ditambah dengan tempo hidup yang begitu tinggi dan berbagai aktivitas lain yang begitu menguras pikiran dan tenaga, berdoa seringkali tidak menjadi rutinitas wajib bagi banyak orang. Mereka hanya berdoa jikalau ada waktu tersisa.
Alkitab memberikan beberapa contoh tentang hal ini. Di tengah situasi yang begitu genting, murid-murid Tuhan Yesus justru tertidur pulas di Taman Getsemani (Mat 26:40). Sebagian jemaat di perantauan tidak mendapatkan apa-apa dari Tuhan karena mereka tidak berdoa (Yak 4:2b). Sebagian yang lain merencanakan hidup begitu rupa seolah-olah mereka sendiri yang berkuasa mengontrol dan menentukan hidup mereka (Yak 4:13-17). Semua contoh ini menunjukkan bahwa berdoa bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah.
Hal yang menarik lain dari teks utama hari ini adalah dorongan untuk berdoa. Fakta bahwa berdoa merupakan sebuah perintah dari Allah seyogyanya sudah cukup sebagai alasan untuk mulai berdoa. Namun, Tuhan Yesus masih menambahkan beragam dorongan dalam perintah ini. Dia ingin memastikan bahwa kita berdoa bukan dengan terpaksa, melainkan dengan sukacita. Berdoa bukan dengan keraguan, tetapi kepastian.
Apa saja bentuk dorongan yang diberikan oleh Tuhan Yesus? Bagaimana hal itu bisa menguatkan kita untuk berdoa?
Pertama, Allah berjanji untuk mengabulkan doa kita (ayat 7-8). Tidak sukar untuk menangkap penekanan pada janji ini. Janji ini diulang di ayat 7 dan 8 untuk menegaskan sebuah kepastian. Perubahan kata kerja dari bentuk futuris di ayat 7 (“…maka akan diberikan kepadamu;… maka kamu akan mendapat; …maka pintu akan dibukakan bagimu”) menjadi bentuk kekinian di ayat 8 (“…menerima…mendapat…baginya pintu akan dibukakan”) menyiratkan bahwa janji di ayat 7 didasarkan pada sebuah prinsip kebenaran di ayat 8. Ini bukan hanya tentang apa yang akan terjadi, namun apa yang selalu terjadi.
Kedua, janji ini berlaku untuk semua orang percaya (ayat 8). Kata “setiap” (pas) di awal ayat ini bersifat inklusif. Siapa saja yang termasuk anak-anak Allah (bdk. ayat 11 “Bapamu yang di surga”) mendapat kepastian yang sama. Tidak ada pembedaan dalam kategori anak-anak Allah. Persyaratan yang diberlakukan hanyalah berdoa dan berstatus sebagai anak Allah. Tidak didasarkan pada jabatan gerejawi, donasi untuk gereja, maupun jumlah talenta.
Ketiga, janji ini berlaku untuk semua keadaan (ayat 7-8). Para penafsir Alkitab berbeda pendapat mengenai penggunaan tiga kata kerja yang berbeda di ayat 7-8 (meminta, mencari, mengetuk). Beberapa menganggap bahwa tiga kata ini benar-benar sinonim. Tidak perlu dibedakan satu dengan yang lain. Sebagian yang lain meyakini bahwa tiga kata ini mengandung makna yang berbeda. Masing-masing kata menyiratkan keadaan yang berlainan. Alternatif terakhir tampaknya lebih masuk akal. Tiga kata ini memiliki konotasi yang sedikit berbeda. Lagipula, jikalau ketiganya adalah sinonim, maka ada kata-kata lain yang mungkin lebih pas, misalnya meminta, memohon, dan menginginkan.
Kadangkala kita merasa Allah begitu dekat, dan kita hanya perlu meminta saja. Semua tampak mudah dalam hidup kita. Kadangkala keadaan kita tidak semudah itu. Kita perlu mencari lebih dahulu. Ada sedikit ketidakpastian. Ada tambahan waktu yang diperlukan sebelum mendapatkan apa yang kita cari. Walaupun demikian, kita tetap yakin bahwa barang yang dicari berada di dalam rumah. Barang itu pasti ada di sana. Hanya dibutuhkan sedikit kesabaran. Kadangkala keadaan kita bahkan bisa lebih buruk lagi. Kita seolah-olah berada di luar rumah dengan pintu yang terkunci. Kunci tidak ada di tangan kita. Walaupun demikian, kita tetap yakin bahwa bapa kita selalu berada di rumah dan siap membukakan pintu tatkala kita mengetuk.
Keempat, janji ini didasarkan pada kebaikan Allah (ayat 9-11). Ilustrasi tentang bapa dan anak di ayat 9-10 berfungsi untuk menekankan kebaikan Allah sebagai Bapa. Secara umum, setiap ayah akan mengupayakan yang baik bagi anaknya. Ini merupakan bagian dari hukum moral yang ditaruh Allah di dalam diri setiap orang. Walaupun ayah-ayah yang tidak bertanggung-jawab selalu ada, tetapi jauh di dalam lubuk hati setiap orang sudah tertanam sebuah pemahaman: seorang ayah sepatutnya mengasihi, merawat, dan memberikan yang baik untuk anak-anaknya.
Dalam teks ini, Tuhan Yesus tidak sedang memikirkan ayah-ayah yang tidak bertanggung-jawab. Ia membicarakan para ayah pada umumnya, yaitu mereka yang tidak melalaikan pemeliharaan bagi anak-anak. Menariknya, para ayah yang bertanggung-jawab di sini tetap disebut “jahat” (ayat 11a). Bahkan dalam teks Yunani kata “kamu” di bagian ini mendapat penekanan (kata hymeis muncul secara eksplisit). Maksudnya, sebaik-baiknya seorang manusia, ia tetap orang yang berdosa. Secara hakiki, setiap orang adalah jahat di mata Tuhan. Dosa telah mengotori seluruh elemen kehidupan manusia.
Jikalau Tuhan Yesus sedang membicarakan tentang kejahatan manusia secara hakiki berarti ayat 11 berbicara tentang kebaikan Allah secara hakiki pula. Allah bukan hanya melakukan kebaikan, tetapi tindakan itu bersumber dari natur-Nya yang memang baik. Jikalau manusia yang secara hakiki adalah jahat saja tahu memberikan yang baik, apalagi Bapa di surga yang secara hakiki adalah baik. Ia pasti akan memberikan yang baik kepada anak-anak-Nya.
Apakah semua dorongan di atas berarti bahwa apapun yang didoakan oleh orang percaya pasti akan terkabul? Benarkah janji di ayat 7-8 berlaku secara inklusif tanpa batas sama sekali? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Matius 7:7-11 tidak mungkin dan tidak boleh ditafsirkan secara inklusif tanpa batas. Pertimbangan logis dan kontekstual menentang penggunaan teks ini secara sembarangan.
Dari pertimbangan logika saja kita dapat mengetahui bahwa tidak mungkin semua permintaan manusia akan dikabulkan. Permintaan manusia bisa sangat beragam. Pikiran manusia bisa begitu bebas dan liar tanpa batas. Tentu saja tidak semua keinginan yang terpikirkan oleh manusia akan dipenuhi oleh Allah. Sebagai contoh, jikalau kita meminta Allah untuk memberikan sifat-sifat ilahi-Nya kepada kita, misalnya kemahatahuan, kemahahadiran, dan kemahakuasaan-Nya, Ia pasti tidak mungkin mengabulkan permohonan ini. Manusia tidak mungkin menjadi Allah. Jikalau kita meminta Allah untuk memberkati perbuatan-perbuatan kita yang jahat, Ia pasti juga akan menolak untuk mendengarkan permintaan seperti ini. Itu bertentangan dengan hakikat Allah yang suci dan benar!
Dari pertimbangan konteks, kita mengetahui bahwa tidak semua doa memperkenankan hati Allah. Tuhan Yesus bahkan sebelumnya mengecam doa-doa yang dipraktekkan oleh orang-orang yang tidak percaya maupun orang-orang Farisi yang munafik (6:5-8). Teguran ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak cukup hanya meminta, tetapi meminta dengan benar. Allah tidak mendengarkan doa yang keliru.
Bahkan ketika sebuah doa sudah dipanjatkan dengan benar, belum tentu doa itu terkabul. Doa Yesus di Getsemani adalah salah satu contohnya (26:42). Ia meminta agar sekiranya mungkin peristiwa salib dilalukan dari diri-Nya. Permintaan ini “tidak terjawab,” karena Allah memiliki rencana lain yang lebih indah.
Matius 7:9-10 memberikan batasan yang jelas bahwa apa saja yang akan diberikan Bapa di surga kepada anak-anak-Nya adalah “kebutuhan,” bukan segala keinginan. Dalam ilustrasi yang diberikan oleh Tuhan Yesus, roti dan ikan merupakan makanan pokok orang-orang Yahudi, terutama mereka yang tinggal di Galilea dan sekitarnya. Untuk sesuatu yang memang menjadi kebutuhan anak, sang ayah pasti akan berusaha memberikannya. Begitu pula dengan Bapa di surga. Allah akan memenuhi segala apa yang menjadi keperluan hidup kita (Flp 4:19). Kebutuhan, bukan keinginan. Keperluan, bukan ketamakan.
Di samping itu, Matius 7:11 juga memberi batasan lain. Apa saja yang diberikan oleh Bapa di surga adalah “apa yang baik”. Yang sedang dibicarakan di sini adalah pemberian yang baik. Anak yang meminta ikan pasti akan diberi ikan. Bagaimana seandainya anak itu meminta ular? Tentu saja ayahnya tidak mungkin mengabulkan permintaan itu. Seekor ular tidak akan berguna bagi si anak, bahkan dapat berbahaya bagi dirinya. Begitu pula dengan Bapa di surga. Ia hanya memberikan yang baik dan yang sempurna (Yak 1:17). Soli Deo Gloria.