Bapa mengurbankan Anak-Nya merupakan salah satu doktrin favorit dalam kekristenan. Ini menjadi salah satu fondasi doktrinal dalam kekristenan. Ternyata tidak semua orang serta-merta menerima doktrin ini begitu saja.
Baru beberapa hari yang lalu saya mendapatkan pertanyaan ini. Ada orang yang mengalami kesulitan menerima doktrin ini. Bapa di surga mengurbankan Anak-Nya? Sebegitu teganyakah Dia? Bagaimana mungkin seorang ayah melakukan hal tersebut?
Coba kita renungkan sebentar keberatan ini. Seandainya Anda adalah seorang ayah, apakah Anda akan mengurbankan anak untuk kepentingan orang lain? Seandainya Anda melakukan hal itu, apakah tindakan itu akan menuai tanggapan positif atau negatif dari masyarakat? Jadi, pertanyaan ini memang wajar untuk ditanyakan. Ada kesulitan yang kentara.
Apakah benar doktrin ini tidak logis dan tidak bisa dibenarkan? Bagaimana menjawab keberatan seperti ini?
Yang perlu diperjelas di awal adalah jenis keberatan yang ada. Keberatan yang diajukan sebenarnya lebih ke arah emosional daripada intelektual. Relasi orang tua dan anak memang selalu melibatkan unsur perasaan. Keberatan yang diajukan lebih ke arah “tidak benar” dalam arti “tidak baik”, bukan dalam arti “tidak dapat dibenarkan secara logis dan realistis”.
Untuk menyikapi keberatan emosional ini saya akan memberikan sebuah ilustrasi. Seandainya anak Anda ingin menjadi tentara atau pemadam kebakaran, apakah Anda akan mendukung rencana ini? Anda tahu bahwa menjadi tentara atau pemadam kebakaran berarti anak Anda bersiap melayani dan mengorbankan diri untuk kebenaran atau kepentingan orang lain. Nah, seandainya anak Anda gugur dalam bertugas, apakah Anda akan menganggap anak Anda sebagai orang yang bodoh atau membanggakan? Bukankah Anda akan berbangga dengan hal itu, bukan? Bagaimana pula dengan orang-orang lain? Bukankah mereka juga akan memandang anak Anda sebagai seorang pahlawan? Jadi, mengurbankan anak pada dirinya sendiri tidak selalu salah atau negatif. Ada kasus-kasus tertentu ketika tindakan itu justru dinilai mulia.
Kuncinya terletak pada dua hal. Pertama, kerelaan orang tua dan anak. Jika tidak ada pihak yang dipaksa, tindakan berkurban bagi orang lain merupakan sebuah kebajikan. Keterpaksaan akan mengurangi keluhuran dari tindakan itu.
Dalam kasus Bapa dan Yesus Kristus, Allah Tritunggal memang sepakat (Yoh. 17:4). Mereka adalah satu Allah dalam tiga Pribadi. Ada yang mengutus, ada pula yang diutus. Keduanya sama-sama rela melakukan hal tersebut. Kerelaan ini didorong oleh kasih mereka yang besar (Yoh. 3:16). Tidak ada yang salah dengan sebuah pengurbanan selama hal itu dilakukan tanpa paksaan.
Kedua, tujuan yang baik. Para teroris yang meledakkan diri di tengah kerumuman orang melakukan pengurbanan. Namun, hampir semua orang akan menyebut itu sebagai tindakan yang bodoh atau tidak beradab. Mengapa? Karena pengurbanan itu dilakukan demi sebuah tujuan yang tidak baik. Mencelakan orang lain jelas bukan sebuah kebajikan, apalagi dengan tujuan untuk memaksa orang lain mengadopsi gaya hidup yang dia yakini. Mati saat bertugas menolong seorang bayi di tengah kebakaran jelas kasus yang berbeda. Tertembak pada saat mempertahankan negara melalui perang yang adil juga kasus yang berbeda. Tujuan turut menentukan apakah suatu pengurbanan dapat disebut kebajikan.
Dalam kasus penebusan Kristus, semua dilakukan untuk kebaikan manusia. Mereka yang dikuasai oleh dosa dibebaskan. Yang tidak memiliki harapan sekarang memiliki jaminan pengharapan. Yang menderita dijanjikan kelepasan total di surga.
Jadi, apakah pengurbanan Yesus Krisus adalah sesuatu yang bisa dibenarkan? Tentu saja. Bukan hanya bisa dibenarkan, tetapi sangat membanggakan. Soli Deo Gloria.