Bahaya Ketamakan (Matius 6:19-24)

Posted on 04/12/2016 | In Teaching | Leave a comment

Kekristenan bukan hanya tentang praktek-praktek relijius tertentu, misalnya sedekah (6:1-4), doa (6:5-13), dan puasa (6:16-18). Kekristenan juga mencakup hal-hal praktis sehari-hari seperti harta (6:19-24) maupun kebutuhan sehari-hari (6:25-34). Tidak ada perbedaan antara yang sakral dan sekular. Pembedaan populer antara rohani dan jasmani merupakan dikotomi yang keliru dan tidak perlu. Ibadah kepada Allah tidak boleh dibatasi pada aktivitas, tempat, dan hari tertentu.

Tidak sulit untuk menemukan dukungan bagi kebenaran ini. Kedaulatan Allah yang mutlak atas segala sesuatu membuat segala sesuatu bersentuhan dengan Dia. Dengan demikian segala sesuatu adalah (seharusnya) rohani. Cara kita memandang dan memperlakukan harta (6:19-24) juga termasuk salah satu area yang berada di bawah ke-Tuhanan Kristus.

Akar persoalan: ketamakan (ayat 19-23)

Pembacaan secara sekilas mungkin menimbulkan kesan bahwa Tuhan Yesus sangat anti terhadap kekayaan. Kepemilikan harta pada dirinya sendiri dipandang keliru. Tabungan dan investasi masa depan ditentang. Asuransi sebagai sebuah proteksi pun dilarang.

Kesan semacam ini jelas keliru. Alkitab tidak pernah melarang kepemilikan harta. Perintah ke-10 (“Jangan mengingini harta milik sesamamu”) bertujuan untuk melindungi harta pribadi masing-masing orang. Nasihat untuk belajar kepada semut yang menyiapkan perbekalan di saat susah (Ams 6:6-8; 30:25) menyiratkan bahwa kerja keras, tabungan, dan asuransi pada dirinya sendiri tidaklah salah. Allah tidak anti terhadap kekayaan.

Yang menjadi inti masalah di ayat 19-23 adalah ketamakan, bukan harta. Sama seperti ajaran Paulus, akar segala kejahatan bukanlah uang, melainkan cinta uang (1 Tim 6:10). Ada beberapa petunjuk dalam teks yang mengarah pada kesimpulan ini.

Pertama, kata “bagimu” (hymin) di ayat 19-20. Kata ini muncul dua kali, namun penerjemah LAI:TB lalai menerjemahkan yang pertama. Ayat 19a seharusnya berbunyi: “Janganlah kalian mengumpulkan bagi kalian (hymin) harta di atas bumi ini”. Kelalaian ini cukup disayangkan, sebab inti larangan justru terletak pada kata hymin. Kata ini menyiratkan orang yang mengumpulkan harta secara egois. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Bukan orang lain. Bukan kerajaan Allah.

Kedua, kata “hati” (kardia) di ayat 21. Ayat ini menerangkan bahwa yang dipersoalkan bukanlah jumlah harta, tetapi posisi hati. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ketamakan bukan hanya menjadi milik orang-orang kaya. Siapa saja, termasuk orang miskin dan sederhana, berpotensi terjerumus pada ketamakan.

Ketiga, metafora mata di ayat 22-23. Ungkapan “mata adalah pelita tubuh” (ayat 22) mengajarkan bahwa seluruh aktivitas seseorang ditentukan (atau, paling tidak, dipengaruhi) oleh mata. Bagi kita yang tidak tuna netra maupun tidak terbiasa, seluruh aktivitas kita sehari-hari membutuhkan mata.

Secara metaforis, mata menyiratkan sebuah cara pandang. Ini berbicara tentang nilai dan arti hidup. Ini tentang fokus dalam kehidupan. Cara pandang mempengaruhi seluruh tindakan. Jika seseorang menganggap harta sebagai hal yang paling penting, orang tersebut tentu akan mengejarnya sekuat tenaga. Seluruh waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan pada harta. Hal-hal lain menjadi tidak terlalu berarti.

Peringatan bagi orang-orang tamak (ayat 19-23)

Ketamakan dan kenikmatan tidak selalu berteman. Ada masa bulan madu. Ada pula masa kelabu.

Mereka yang tamak perlu menyadari bahwa suatu ketika mereka pasti akan kehilangan harta mereka (ayat 19). Anehnya, mereka tetap saja meletakkan hati pada  harta. Dengan demikian ketamakan merupakan sebuah kebodohan yang ironis.

Orang yang tamak pasti mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bagi diri mereka sendiri. Pengumpulan ini dimaksudkan agar mereka memiliki persediaan yang melimpah untuk masa yang panjang di depan. Ironisnya, kekayaan duniawi justru bersifat sementara. Ada banyak penyebab yang dapat merenggut harta seseorang. Binatang (ngengat), alam (karat), maupun orang lain (pencuri) dapat meniadakan harta orang. Dalam konteks budaya kuno, peringatan ini tentu sangat mengena. Pada zaman itu belum ada teknologi mutakhir yang bisa menjaga ketahanan hasil panen, makana, maupun barang yang lain. Belum ditemukan berbagai sistem pengamanan canggih. Belum ada bank dan deposito yang terbilang aman. Menyimpan harta dalam tanah pun tidak selalu aman. Peperangan seringkali menghancurleburkan kota sehingga tempat penyimpanan seringkali sukar dikenali lagi. Binatang dalam tanah pun berpotensi merusak barang yang dipendam. Belum lagi jika pemilik harta tersebut terbunuh dalam peperangan. Jika semua ini terjadi, untuk apa mengumpulkan harta sebanyak itu? Apa yang disiapkan untuk jangka panjang ternyata dapat hilang dalam sekejap.

Dalam konteks sekarang, tingkat bahaya kehilangan harta mungkin tidak sebesar pada zaman dulu. Namun, bukan berarti tidak ada bahaya sama sekali. Inflasi, devaluasi, spekulasi bisnis yang gagal, maupun krisis ekonomi (nasional maupun global) dapat menjadi perenggut kekayaan yang menakutkan. Kebakaran, bencana alam, kecelakaan, dan kerusuhan dapat menjadi momok mematikan. Apa yang disebut “krisis generasi ketiga” masih menjadi persoalan yangg merisaukan bagi bisnis keluarga yang sudah mapan. Pendeknya, hanya orang-orang tamak yang takabur yang merasa bahwa hartanya akan aman untuk selama-lamanya.

Orang-orang yang tamak juga perlu memperhatikan peringatan yang lain. Hidup mereka akan terasa seperti dalam kegelapan (ayat 23). Lebih parahnya, kegelapan ini bukan disebabkan tidak ada terang. Kegelapan ini disebabkan penglihatan buruk (kebutaan). Seandainya persoalan yang ada hanya sekadar tidak ada terang, sebuah pelita atau obor mungkin dapat menjadi solusi. Jika yang menjadi persoalan adalah kebutaan, tidak ada yang dapat dilakukan. Ini adalah kegelapan yang benar-benar gelap.

Seperti itulah orang-orang yang tamak. Mereka mempunyai cara pandang yang keliru. Mereka tidak mampu membedakan mana yang penting. Apa yang bersifat sementara justru dikejar sedemikian rupa. Fokus mereka hanya pada harta, harta, dan harta. Fokus yang sempit ini pasti menghalangi mereka melihat hal-hal lain yang lebih bermakna di dalam kehidupan. Usaha keras untuk mendapatkan harta seringkali harus dibayar dengan kehilangan hal-hal lain yang lebih penting: keluarga, integritas, dan keselamatan jiwa. 

Menggali lebih dalam (ayat 24)

Ibarat sebuah gunung es di tengah samudera, ketamakan hanyalah sebuah persoalan yang tampak dari luar. Di bawahnya masih ada persoalan lain yang lebih besar dan lebih serius: salah mendedikasikan hidup. Orang-orang yang tamak pada dasarnya telah gagal mendedikasikan hidup kepada Allah, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada Allah dan Mamon (harta) sekaligus (ayat 24; Luk 16:13).

Di telinga orang-orang zaman sekarang, pernyataan Tuhan Yesus di sini mungkin terdengar terlalu keras. Sebagian orang sekarang memiliki dua atau tiga pekerjaan sekaligus. Semua bisa dikerjakan dengan baik. Mengapa mendedikasikan diri pada dua tuan dianggap tidak mungkin dilakukan secara sekaligus?

Untuk memahami perkataan ini kita perlu mempertimbangkan konteks perbudakan kuno. Esensi dari perbudakan adalah kepemilikan yang tunggal dan dedikasi sepenuh waktu. Tidak ada seorang budak yang menjadi milik bersama beberapa tuan. Seorang budak hanya mengabdi pada satu tuan. Pengabdian ini bersifat sepenuh waktu (24 jam sehari). Seorang budak hanya bisa bebas dari tuannya apabila ia dibeli oleh tuan yang lain. Kalaupun seorang budak dimiliki bersama oleh dua tuan, mustahil budak itu dapat menjadi budak yang baik bagi dua tuannya.

Demikian pula dengan tuntutan Allah kepada kita. Allah adalah pemilik tunggal kehidupan kita. Ia yang menciptakan kita. Ia yang menebus kita dari dosa-dosa kita. Seluruh hidup kita – tenaga, fokus, hati, dan waktu – harus ditujukan pada Allah saja. Apa yang kita pikirkan setiap hari adalah bagaimana menyenangkan hati tuan kita. Nilai hidup kita ditentukan oleh seberapa besar dedikasi kita pada Allah.

Dengan konsep seperti ini kita sekarang dapat mengerti mengapa memberikan diri pada Allah dan Mamon merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Mereka yang mengabdi pada Allah pasti akan mencari harta di surga (ayat 20). Sebaliknya, mereka yang tamak pasti akan menghabiskan seluruh energi, waktu, dan pikiran demi hal-hal yang sementara di dalam dunia ini (ayat 19). Tidak ada netralitas. Tidak ada yang berdiri di atas pagar: entah ia di dalam atau di luar pagar. Tidak ada jalan tengah.

Saudara termasuk pada kelompok yang mana? Apakah yang berharga bagi Saudara adalah hal-hal yang bernilai kekal, misalnya karakter Kristiani, iman, pengharapan, kasih, dan pengetahuan tentang Allah? Apakah Saudara secara konkrit dan sungguh-sungguh melibatkan diri dalam pekabaran injil sehingga menjadi sarana keselamatan bagi jiwa orang lain? Apakah Saudara sudah maksimal dalam menggunakan harta dan talenta untuk pelebaran kerajaan Allah di muka bumi? Soli Deo Gloria.   

Yakub Tri Handoko