Bahaya Kekuatiran (Matius 6:25-34)

Posted on 11/12/2016 | In Teaching | Leave a comment

Bagian ini (6:25-34) masih berkaitan erat dengan bagian sebelumnya (6:19-24). Keduanya sama-sama membicarakan tentang materi. Kata sambung “karena itu” di awal ayat 25 menyiratkan bahwa 6:25-34 merupakan kelanjutan atau, lebih tepat, aplikasi dari 6:24. Maksudnya, orang yang mendedikasikan hidup hanya kepada Allah saja – bukan sekaligus pada Mamon – pasti tidak akan membiarkan diri dikuasai oleh kekuatiran. Bagi dia yang paling penting adalah Allah, bukan materi. Ia tidak akan memusingkan sesuatu yang tidak terlalu penting.

Apa yang diajarkan Tuhan Yesus di 6:25-34 tentu saja tidak berarti bahwa kita tidak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari. Memikirkan sesuatu berbeda dengan menguatirkan hal tersebut. Kuatir berarti menaruh perhatian yang berlebihan pada sesuatu sampai orang tersebut gagal menaruh keyakinan dan pengharapan yang sepantasnya pada Allah (ayat 30 “hai orang yang kurang percaya?”).

Teks ini juga tidak melarang kita untuk bekerja keras bagi kebutuhan kita atau mempersiapkan masa depan. Allah seringkali memenuhi kebutuhan melalui kerja keras dan perencanaan hidup yang baik. Kita tidak boleh menyelubungi kemalasan dalam bekerja dan merencanakan hidup dengan jargon-jargon rohani seperti “berserah penuh pada Allah” atau “tenang dalam pemeliharaan Tuhan”.

Larangan untuk kuatir muncul tiga kali di 6:25-34 (ayat 25, 31, 34). Ketiganya sama-sama dimulai dengan kata sambung “karena itu” atau “sebab itu” (dia touto di ayat 25, oun di ayat 31 dan 34). Pemunculan ini membantu kita untuk menemukan tiga alasan mengapa kita tidak boleh kuatir.

Karena kekuatiran tidak sesuai dengan logika kehidupan (ayat 25-30)

Sebagian orang Kristen beranggapan bahwa pemikiran logis adalah musuh iman. Bagi mereka, iman sepenuhnya masalah hati dan perasaan. Pemikiran semacam ini jelas tidak tepat. Allah yang trans-rasional (melampaui akal) tidak anti terhadap rasio. Ia adalah Allah yang rasional. Ia juga telah menciptakan dunia dan tatanan di dalamnya secara rasional sehingga dapat dipahami oleh manusia sebagai makhluk rasional. Itulah yang sedang diajarkan oleh Tuhan Yesus di ayat 25-30.

Pemikiran logis membantu kita untuk memahami bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting daripada makanan-minuman dan pakaian (ayat 25). Manusia makan supaya bertahan hidup. Bukan hidup untuk makan. Jadi, kehidupan lebih penting daripada makanan. Manusia berpakaian untuk menutupi tubuhnya. Bukan tubuh untuk pakaian. Jadi, tubuh lebih penting daripada pakaian. Sarana tidak pernah menjadi lebih penting daripada tujuan.

Menguatirkan makanan-minuman dan pakaian merupakan tindakan yang tidak rasional. Jika hidup dan tubuh kita saja yang lebih penting dan berada di luar kendali kita telah dipercayakan Allah kepada kita, masakan Allah tidak mampu menyediakan apa yang dibutuhkan oleh hidup dan tubuh kita? Kita tidak berkuasa atas detak jantung, aliran darah, atau proses biologis lain dalam tubuh kita, namun kita tidak pernah menguatirkan hal-hal tersebut. Lalu, untuk apa kita menguatirkan hal-hal lain yang jauh lebih sederhana dan sepele daripada semua proses misterius tadi? Kekuatiran adalah hal yang tidak rasional.

Pemikiran logis juga menolong kita untuk memahami bahwa manusia lebih penting daripada makhluk lain (ayat 26, 28-30). Tidak seperti para atheis modern yang menganggap manusia hanya sebagai spesies binatang yang paling kompleks dan berkembang, bangsa Yahudi sangat menyadari keunikan manusia sebagai gambar Allah (Kej 1:26-27) dan mahkota ciptaan (Mzm 8:3-8). Perbedaan manusia dengan binatang dan tumbuhan bukan hanya pada tingkatan (degree), melainkan pada jenis (kind). Manusia jauh lebih berharga daripada makhluk lain.

Kesadaran seperti inilah yang ada di balik ajaran Tuhan Yesus di bagian ini. Jikalau Allah memperhatikan hal-hal yang sepele (binatang dan tumbuhan), maka Ia pasti akan memperhatikan hal yang lebih penting (manusia). Binatang dan tumbuhan bukan hanya lebih rendah daripada manusia, tetapi mereka juga tidak sepandai manusia dalam menyediakan makanan atau pakaian. Mereka tidak tahu cara bercocok tanam maupun memintal. Mereka sangat bergantung pada alam. Jikalau makhluk hidup semacam ini saja dipelihara oleh Allah, masakan anak-anak Allah dibiarkan hidup dalam kelaparan dan ketelanjangan?

Dengan berpikir logis kita juga akan menyadari kesia-siaan kekuatiran (ayat 27). Kata “jalan hidup” (hēlikia) bisa merujuk pada tinggi badan (KJV “stature”) maupun umur (mayoritas versi Inggris). Para penafsir yang memilih alternatif pertama pada umumnya memandang ayat ini sebagai sebuah humor yang hiperbolik. Maksudnya, kekuatiran tidak akan membuat tubuh bertambah tinggi satu hasta (hampir ½ meter). Penambahan tinggi badan adalah urusan Allah. Menguatirkan hal itu tidak akan memperpanjang ukuran tubuh kita.

Sebagian besar penafsir memilih alternatif kedua. Satu hasta di sini dipahami sebagai rujukan pada sesuatu yang sangat kecil. Penambahan satu hasta untuk tubuh jelas merupakan sesuatu yang besar. Mayoritas penerjemah berusaha mengekspresikan makna ini melalui terjemahan “menambahkan satu jam saja pada panjang hidupnya?”

Arti manapun yang dipilih, maksud Tuhan Yesus tetap sama: kekuatiran sama sekali tidak berguna. Kekuatiran tidak akan menambah tinggi badan. Kekuatiran tidak akan memperpanjang kehidupan. Kekuatiran justru akan berdampak buruk bagi tubuh dan hidup.

Karena kekuatiran adalah bukti ketidakadaan iman (ayat 31-33)

Apa yang dipikirkan terus-menerus oleh seseorang menyiratkan betapa pentingnya hal itu bagi dia. Orang yang memandang harta sebagai yang terpenting dalam kehidupan pasti akan menjadikan harta sebagai fokus hidup. Sukacitanya ditentukan oleh jumlah hartanya. Tatkala apa yang dianggap penting sedang terancam hilang atau berkurang, orang itu pasti akan menguatirkannya sedemikian rupa. Itulah gambaran orang-orang yang tidak mengenal Allah (ayat 32a). Bagi mereka yang paling penting adalah bertahan hidup dan mengejar kenyamanannya.  

Tidak demikian dengan mereka yang beriman pada Bapa di surga. Mereka meyakini bahwa Bapa yang baik pasti sudah mengetahui apapun yang mereka perlukan (ayat 32b). Bapa bahkan sudah tahu hal itu sebelum kita memberitahu Dia (6:8). Menguatirkan makanan dan pakaian sama saja dengan meragukan perhatian dan pemeliharaan-Nya dalam kehidupan kita.

Jikalau makanan dan pakaian tidak lagi menjadi fokus kehidupan kita, kita pasti akan dimampukan untuk memiliki fokus yang benar, yaitu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (ayat 33). Sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah begitu gigih mencari materi (ayat 32a), demikian pula anak-anak Tuhan harus bersemangat dalam mencari kerajaan dan kebenaran Allah (ayat 33). Pernahkah kita melihat seseorang yang begitu terobsesi dengan materi sehingga ia rela melakukan apapun juga untuk mendapatkan apa yang ia inginkan? Seperti itulah seyogyanya sikap dan hasrat kita bagi Allah. Kita akan melakukan apa saja yang memperluas kerajaan Allah di muka bumi. Kita rela melakukan kebenaran, tidak peduli seberapa harga yang harus dibayar. Tidak acuh tak acuh, tetapi memikirkannya terus-menerus. Tidak bermalas-malasan, melainkan mengejarnya sampai keringat penghabisan.     

Perbandingan dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah di ayat 32 merupakan sebuah tamparan keras bagi kita. Orang yang menguatirkan materi dan tidak berfokus pada kerajaan maupun kebenaran Allah tidak lebih baik daripada mereka yang tidak mengenal Allah. Keduanya sama-sama tidak beriman. Keduanya sama-sama mengadopsi tujuan hidup yang keliru. Melalui teguran yang keras ini Tuhan Yesus ingin mengajarkan kepada kita bahwa kekristenan bukan sekadar tentang ritual relijius seperti bersedekah (6:1-4), berdoa (6:5-13), maupun berpuasa (6:16-18), tetapi tentang dedikasi hidup yang benar pada Allah (6:19-24) dan persandaran yang penuh pada kebaikan-Nya sebagai Bapa (6:25-34).

Karena kekuatiran hanya menambah persoalan (ayat 34)

Kata “kesusahan” (ayat 34b kakia) secara hurufiah berarti “buruk,” sehingga dapat merujuk pada segala sesuatu yang tampak tidak baik, misalnya kesusahan atau persoalan. Hal ini mungkin terjadi setiap hari. Allah tidak pernah berjanji untuk memberikan kehidupan yang tanpa tantangan dan kesulitan. Ia hanya berjanji bahwa Ia mengetahui dan memenuhi kebutuhan kita.

Dengan menyadari bahwa setiap hari memiliki kesusahannya sendiri, kita tidak sepatutnya menguatirkan hari besok. Hari besok mempunyai kesusahannya sendiri (ayat 34a). Menguatirkan hari besok adalah sebuah kebodohan. Pada saat kita kuatir tentang hari besok, kita sebenarnya sedang menambah persoalan. Kesusahan besok telah ditambahkan pada kesusahan hari ini. Semakin banyak hari di depan yang kita kuatirkan sekarang, semakin banyak pula kesusahan kita sekarang.

Menguatirkan hari besok juga merupakan kebodohan karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Seringkali persoalan yang kita kuatirkan tidak terjadi, padahal kekuatiran itu sudah menambah persoalan bagi kita. Seringkali persoalan yang dikuatirkan ternyata berbeda dengan realitanya. Kita mungkin akan berhadapan dengan persoalan lain yang tidak terduga, padahal kita sudah terlanjur membiarkan diri dikuasai ketakutan oleh persoalan yang lain dalam pikiran kita. Tidak ada keuntungan sama sekali di dalam kekuatiran. Ini bahkan hanya menambah persoalan belaka.

Yang perlu untuk dilakukan adalah menjalani kehidupan setiap hari dengan penuh iman dan persandaran pada Allah. Sama seperti lagu “one step at a time, only one step at a time” (terjemahan Indonesia “setiap langkah selalu ikut Tuhan”), kita belajar untuk mengambil langkah kecil tiap hari. Tidak usah merisaukan banyak hal yang masih jauh di depan. Fokuskan pada tiap langkah kecil yang perlu diambil. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko