Bagaimana sikap TUHAN terhadap poligami?

Posted on 16/02/2014 | In QnA | Leave a comment

Persoalan seputar poligami selalu menarik perhatian. Ketertarikan ini tidak sulit untuk dipahami. Pada awal penciptaan Allah secara implisit menjadikan monogami sebagai pola pernikahan yang ideal. Ia hanya menciptakan seorang perempuan (Kej 2:18) untuk Adam supaya keduanya menjadi satu (Kej 2:23-24). Praktek poligami baru dilakukan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej 4:19). Sesudah itu tidak ada catatan yang eksplisit tentang larangan terhadap poligami dalam PL. Beberapa tokoh terkenal dalam Alkitab bahkan berpoligami, misalnya Abraham, Yakub, Daud, dan Salomo. Apakah ini berarti bahwa Allah menyetujui poligami?

Ketidakadaan larangan eksplisit terhadap poligami dalam PL membuat sebagian orang menafsirkannya sebagai sebuah bentuk persetujuan. Apalagi Alkitab juga mencatat perkataan TUHAN kepada Daud waktu itu berzinah dengan Betsyeba: “Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu” (2 Sam 12:8).

Untuk memahami hal ini kita terutama perlu menekankan bahwa rancangan ideal pernikahan dalam Alkitab dari awal sampai sekarang tetap sama, yaitu monogami. Seperti sudah disinggung di depan, kisah penciptaan memberikan petunjuk jelas ke arah sana. TUHAN juga memberi peringatan tentang bahaya poligami bagi raja-raja (Ul 17:14-20). Tuhan Yesus pernah mengutip kisah penciptaan dan digunakan sebagai alasan untuk melarang perceraian dengan alasan apapun (Mat 19:3-6). Pada saat Paulus menggambarkan misteri pernikahan yang agung sebagai gambaran kasih Kristus kepada jemaat, ia juga mengungkapkannya dalam konteks pernikahan yang monogami (Ef 5:25-33). Salah satu syarat menjadi penatua adalah pernikahan monogami (1 Tim 3:2, 12; Tit 1:6), terlepas dari apakah monogami yang dimaksud dalam teks-teks ini adalah pernikahan pertama atau pernikahan kembali sesudah perceraian. Semua data ini sudah cukup untuk menunjukkan konsistensi Allah dalam memandang pernikahan monogami.

Kalau memang demikian, mengapa dalam PL aturan tentang monogami terlihat agak longgar? Secara umum kita perlu mengetahui bahwa manusia yang berdosa sudah tidak mungkin mencapai standar yang diinginkan Allah. Seandainya Allah menambah peraturan atau memperketat apa yang sudah ada, hal itu tetap tidak akan mengubah kecenderungan manusia untuk melawan kebenaran (Rom 1:18-20).

Di tengah situasi yang tidak mungkin ideal inilah TUHAN kemudian menjaga agar apa yang sudah buruk tidak menjadi lebih buruk lagi. Sebagai contoh, perceraian bukanlah rancangan ideal Allah, namun Ia tetap memerintahkan Musa untuk memberikan surat cerai agar status para perempuan jelas dan mereka tidak diperlakukan secara semena-mena oleh kaum pria (Mat 19:7-8). Walaupun perzinahan dapat menjadi alasan bagi perceraian (Mat 19:9), tetapi Allah sendiri secara konsisten menunjukkan bahwa pengampunan adalah rancangan ideal. Bangsa Israel yang berkali-kali berzinah secara rohani melalui penyembahan berhala tetap diampuni dan diterima oleh Allah.

Begitu pula dengan kasus poligami. Allah tetap memandang poligami bukan sebagai rancangan ideal, tetapi Ia membiarkannya dengan alasan dan tujuan tertentu. Ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dalam mencermati hal ini. Pertama, dalam budaya patriakhal yang tidak memberi tempat bagi perempuan, sangat sulit bagi mereka untuk bisa hidup mandiri tanpa keberadaan laki-laki yang mengayomi mereka. Kedua, perempuan yang tidak berada di bawah perlindungan dan pengayoman laki-laki secara resmi justru seringkali berada dalam keadaan yang lebih buruk, misalnya pelacuran dan perbudakan. Ketiga, peperangan yang sering terjadi pada zaman dahulu menyebabkan jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Jika digabungkan dengan dua poin sebelumnya, kita dapat ‘memaklumi’ mengapa poligami sering menjadi alternatif bagi mereka. Keempat, budaya patriakhal memang memberikan dominasi dan kebebasan yang terlalu besar bagi pria. Secara budaya poligami tidak dianggap rendah atau salah.

Jadi, kita tetap harus memandang poligami sebagai dosa, karena tidak sesuai dengan rancangan ilahi yang awal dan ideal. Walaupun demikian, dalam keterbatasan manusia ini Allah masih berkenan bekerja di dalam dan melaluinya supaya yang lebih buruk tidak terjadi. Solusi sejati sudah dilakukan Allah. Kedatangan Kristus ke dunia bertujuan untuk menahbiskan Kerajaan Allah di muka bumi dan memulihkan nilai-nilai ideal dari Kerajaan tersebut.

admin