Bagaimana Sikap Kita terhadap Pengadopsian Anak?

Posted on 27/09/2015 | In QnA | Leave a comment

Isu ini seringkali digumulkan oleh mereka yang sudah bertahun-tahun menikah namun belum diberi Tuhan keturunan. Banyak cara medis ditempuh tetapi belum ada titik terang. Usia makin bertambah. Hormon dalam tubuh mungkin juga semakin menurun jumlah dan kualitasnya. Belum lagi, pandangan sosial terhadap kemandulan yang makin memberikan tekanan. Apakah adopsi anak sebaiknya dipikirkan sebagai sebuah alternatif solusi?

Perspektif teologis

Dalam kasus semacam ini, yang paling penting untuk dibicarakan adalah pemahaman teologis yang benar terhadap adopsi anak. Walaupun Alkitab tidak memberikan teks yang secara khusus dan eksplisit menjawab pergumulan ini, tetapi kita masih bisa mendapatkan beberapa pedoman penting.

Pertama, melahirkan anak adalah sarana untuk merealisasikan rencana Allah bagi dunia ini. Dalam Kejadian 1:26 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar Allah dengan tujuan agar mereka menguasai bumi. Tujuan ini hanya mungkin tercapai apabila Adam dan Hawa berkembang-biak, bertambah banyak, memenuhi bumi, menaklukkannya, dan menguasainya bagi Allah (Kej 1:28). Mengingat memiliki keturunan secara biologis merupakan sebuah sarana, kita tidak perlu terlalu terfokus pada sarana ini sehingga tujuan di baliknya justru tidak terpenuhi. Seandainya adopsi anak menjadi salah satu cara khusus yang Tuhan berikan pada kita untuk menggapai tujuan tersebut (baik yang sudah maupun belum memiliki keturunan sendiri), mengapa kita tidak mencoba untuk mulai menggumulkannya?

Kedua, status kita sebagai orang-orang Kristen pun karena adopsi secara rohani. Sebagai orang yang menjadi hamba dosa (Rom 6:17, 20) dan mati di dalam dosa (Ef 2:1), kita semua dahulu adalah seteru-seteru Allah (Rom 5:7-8). Kini kita adalah anak-anak Allah melalui iman kepada Yesus Kristus (Yoh 1:12). Bagaimana ini bisa terjadi? Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kita, sehingga kita bisa berseru: “Ya Abba, Ya Bapa” (Rom 8:15; Gal 4:6). Kelak kita semua akan masuk dalam kemuliaan sebagai anak-anak Allah (Rom 8:19, 21) dan menjadi ahli waris kerajaan sorga (Rom 8:17).

Ketiga, kesempurnaan hidup tidak dapat diukur berdasarkan kepemilikan keturunan secara biologis. Sebagian tokoh iman tidak menikah (dan dengan demikian juga tidak memiliki keturunan), misalnya Yohanes Pembaptis, Yesus Kristus, dan Paulus. Apakah hidup mereka tidak sempurna? Sama sekali tidak! Hidup mereka bahkan lebih efektif bagi kerajaan Allah daripada orang-orang lain yang memiliki anak kandung.

Keempat, memiliki anak kandung bukanlah satu-satunya cara. Salah satu hukum pernikahan dalam Alkitab adalah hukum levirat. Dalam hukum ini disebutkan bahwa adik laki-laki berkewajiban mengawini istri dari kakaknya apabila kakaknya itu mati tanpa memiliki keturunan (Kej 38; Ul 25:5-10). Tujuannya adalah supaya nama kakaknya itu tidak hilang dalam daftar silsilah di Israel. Dari peraturan ini tersirat bahwa meninggalkan sebuah warisan bagi generasi berikutnya (warisan dalam arti legacy) tidak harus melalui keturunan biologis.

Semua konsep teologis di atas seyogyanya diberi ruang lebih besar dalam pergumulan untuk mengadopsi anak. Walaupun saya memahami bahwa budaya secara umum dan situasi keluarga secara khusus memberikan tekanan yang besar dan mempengaruhi perasaan kita, bagaimana pun kita harus menundukkan pikiran, perasaan, dan pertimbangan kita di bawah kebenaran firman Tuhan. Jika Alkitab memberikan gambaran yang cukup positif terhadap adopsi anak, mengapa kita tidak menjadikan itu sebagai salah satu pertimbangan?

Perspektif praktis

Bagian sebelumnya menerangkan bahwa memiliki anak kandung maupun anak angkat secara teologis tidak ada bedanya. Yang penting adalah tujuan akhirnya, yaitu membimbing gambar Allah untuk ditransformasi di dalam Kristus dan menguasai bumi dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Pergumulan teologis seputar adopsi anak tampaknya tidak terlalu rumit.

Walaupun demikian, bukan berarti pergumulan praktis secara otomatis menjadi mudah. Banyak pertanyaan praktis masih menggelantung di pikiran mereka. Kapan sebaiknya mengadopsi anak? Apakah anak nanti perlu diberitahu siapa orang tua kandung mereka? Jika iya, pada usia berapa sebaiknya informasi itu dilakukan? Daftar pertanyaan tentu saja dapat diperpanjang lagi. Semua kerisauan ini membutuhkan jawaban detil atau, paling tidak, panduan yang jelas. Dalam tulisan yang pendek ini, marilah kita melihat beberapa pertanyaan umum saja dan mencoba menjawabnya satu per satu.

Waktu terbaik untuk mengadopsi anak bergantung pada banyak faktor: usia pasangan, kondisi biologis, kesiapan psikologis, maupun kemapanan ekonomi. Secara umum adopsi anak sebaiknya mulai dipikirkan sejak 7-10 tahun pernikahan. Tujuh tahun untuk berusaha secara medis. Tiga tahun kemudian untuk menggumulkan adopsi. Bagaimana pun, pertimbangan ini juga bergantung pada usia pasangan. Bagi yang menikah muda, mereka bisa menunggu antara 10-15 tahun. 

Hal ini tidak berarti bahwa sesudah tahun ke-7 atau ke-10 kemungkinan memiliki anak kandung pasti tertutup. Beberapa orang baru mendapatkan anak kandung sesudah 10-15 tahun pernikahan. Allah masih mampu melakukan suatu perkara ajaib apabila Dia memang menghendakinya.

Pilihan waktu di atas lebih banyak dikaitkan dengan kondisi prima tubuh manusia. Produksi hormon terbaik secara umum terjadi antara usia 25-35 tahun. Di atas itu tingkat kesuburan biasanya akan menurun. Antara usia 35-40 tahun adalah masa pergumulan untuk adopsi. Lagipula, dengan mengadopsi anak pada saat pasangan berusia 40 tahun akan memberikan waktu yang cukup bagi mereka untuk membesarkan anak. Orang tua akan berusia 65 tahun pada saat anak sudah bisa mandiri (usia 25 tahun).

Yang tidak boleh dilupakan adalah kesiapan mental pasangan. Ada banyak faktor turut terlibat: tuntutan keluarga besar, adat-istiadat suku, tipe komunitas, dsb. Siapa saja yang memutuskan untuk mengadopsi anak harus memiliki kemantapan hati yang bersumber dari pemahaman teologis yang benar tentang adopsi anak.

Apakah anak angkat perlu diberitahu keadaan yang sebenarnya? Jawabannya adalah “ya”. Mengetahui identitas orang tua kandung merupakan hak bagi setiap anak. Di samping itu, jika disembunyikan dan anak mengetahui hal itu bukan dari orang tua angkatnya secara langsung, anak bisa merasa tertipu dan dirampas haknya. Karena itu, identitas dan nomer kontak orang tua kandung sebisa mungkin disimpan.

Dalam hal ini orang tua tidak perlu dikuasai kekuatiran bahwa sang anak akan meninggalkan mereka dan memilih untuk tinggal bersama orang tua kandung. Seandainya orang tua angkat benar-benar sudah memberikan kasih, perhatian, dan ajaran yang tulus dan sungguh-sungguh, sang anak tidak akan dengan mudah meninggalkan mereka. Fakta menunjukkan bahwa banyak anak lebih dekat dengan orang lain yang mengasihi mereka daripada orang tua kandung mereka. Hubungan darah memang kuat (strong) dan berpengaruh (influential), tetapi tetap tidak menentukan (determinative).

Yang harus dipertimbangkan secara matang di sini adalah kesiapan anak. Waktu yang paling ideal adalah sedini mungkin sesudah anak bisa memahami persoalan yang ada. Secara umum, hal ini terjadi pada saat anak berusia 9-10 tahun. Anak sendiri pada usia tersebut rata-rata belum mengalami krisis identitas sebagai remaja.

Dengan memberitahukan anak sejak dini, orang tua memiliki waktu yang cukup untuk menemani mereka menghadapi momen-momen goncangan. Diharapkan goncangan tersebut sudah mulai hilang secara signifikan pada waktu anak menginjak usia remaja. Ini sangat bermanfaat bagi stabilitas pertumbuhan psikologis anak ke depan.

Kesiapan orang tua juga perlu dipertimbangkan. Kekuatiran dan ketakutan pasti ada. Kuatir anak tidak akan mengasihi mereka lagi. Takut kalau anak berubah menjadi liar atau larut dalam depresi.

Kesiapan akan lebih mudah dan cepat dicapai apabila orang tua sudah memahami perspektif teologis yang benar tentang adopsi dan sudah menggumulkannya secara serius, bahkan sebelum melakukan adopsi. Dengan demikian orang tua bisa sekaligus mempersiapkan anak dan diri mereka sendiri. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko