Sejarah gereja menunjukkan bahwa orang-orang Kristen memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat. Di satu pihak ada yang cenderung anti terhadap filsafat. Mereka meyakini bahwa teologi dan filsafat seharusnya tidak bersentuhan sama sekali. Pada tingkat awam, beberapa orang menggunakan teks-teks Alkitab tertentu sebagai dukungan, misalnya Kolose 2:8 (“Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu..”) atau 1 Korintus 3:19 (“karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah”).
Di pihak lain sebagian orang Kristen sangat menggandrungi filsafat. Mereka bahkan tidak segan-segan menjadikan filsafat sebagai patokan kebenaran tertinggi. Celakanya, mereka sendiri berbeda pendapat tentang aliran filsafat yang mereka anut dan jadikan patokan. Sejarah gereja mencatat bagaimana filsafat-filsafat tertentu telah berdampak buruk terhadap perkembangan kekristenan.
Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap filsafat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memperjelas definisi “filsafat” di sini. Istilah ini memiliki beragam arti. Secara hurufiah istilah ini merujuk pada sikap yang mencintai hikmat (philos = mencintai, sophos = hikmat). Sikap ini pada dirinya sendiri tentu saja tidak keliru, tergantung pada jenis “hikmat” yang dicintai.
Secara umum istilah ini juga mengandung arti sangat luas. Dari sudut arti yang luas ini bahkan dapat dikatakan bahwa semua orang pasti berfilsafat. Sebagai contoh, logika adalah bagian dari filsafat. Ketika seseorang berlogika – entah secara benar atau keliru – dia sedang melakukan tugas filsafat. Jadi, pada dirinya sendiri filsafat bersifat netral.
Pernyataan ini selaras dengan Alkitab. Yang ditentang oleh Alkitab bukanlah semua filsafat. Kolose 2:8 berbicara tentang filsafat yang kosong dan palsu. Hikmat yang ditawarkan sebenarnya bukan hikmat (Kol. 2:23). Jika kita membaca Kolose 2:8-23 dengan teliti kita akan menemukan jenis filsafat atau hikmat apa yang sedang dikritisi oleh Paulus di sini. Paulus tidak sedang menentang semua jenis filsafat. Lagipula, apa yang disebut “filsafat” di teks ini memiliki arti yang berbeda dengan istilah “filsafat” sekarang. Paulus sedang membicarakan tentang jenis kesalehan atau ibadah tertentu yang keliru.
Hal yang sama bisa dikatakan untuk 1 Korintus 3:19. Yang dimaksud “hikmat dunia” di situ bukan semua jenis filsafat. Yang disorot adalah pandangan populer Yunani-Romawi yang menganggap bahwa Injil adalah sebuah kebodohan (1:22-23).
Paulus sendiri beberapa kali menggunakan filsafat dalam khotbahnya. Ketika dia berbicara di depan para filsuf Athena, dia beberapa kali mengutip perkataan para filsuf (Kis. 17:22-33). Dari cara pengutipannya terlihat bahwa Paulus menyetujui pandangan itu. Dia bahkan menjadikan itu sebagai kritikan terhadap keagamaan penduduk Athena dan jembatan untuk pemberitaan Injil.
Tuhan Yesus juga menggunakan filsafat dalam pengajaran-Nya. Paling tidak, Dia menggunakan logika. Sebagai contoh, Dia mengajak pendengar-Nya untuk menalar pemeliharaan Allah, misalnya bunga dan burung saja dipelihara Allah apalagi manusia (Mat. 6). Apa yang benar untuk hal yang tidak penting pasti berlaku atas hal yang lebih penting. Bukankah itu pemikiran yang sangat logis?
Alkitab juga memerintahkan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap akal budi kita (Mrk. 12:30). Akal budi juga diperlukan untuk mengerti kehendak Allah (Rm. 12:2). Jika akal budi merupakan objek penebusan dan sarana pertumbuhan rohani, bukankah kita tidak boleh bersikap negatif terhadap penalaran? Bukankah itu berarti bahwa kita harus mencintai kebenaran (hikmat) dalam arti “filsafat yang benar”?
Jadi, setiap orang pasti terlibat dalam aktivitas filosofis. Sayangnya, tidak semua orang melakukannya dengan cara yang benar. Sebagian melakukan kekeliruan-kekeliruan logika. Sebagian menabrak hukum logika. Sebagian mengikuti aliran filsafat tertentu yang tidak benar. Sebagian lagi terlalu mengandalkan logika saja sehingga terjebak pada rasionalisme. Kita harus rasional, tetapi jangan sampai menjadi seorang rasionalis. Rasio manusia terbatas untuk memahami banyak hal.
Kristus telah menebus akal budi kita. Pikiran yang dulu gelap dan sia-sia (2Kor. 4:4; Ef. 4:17-18) sudah diterangi oleh Injil. Akal budi kita terus-menerus mengalami transformasi oleh Roh Kudus (Rm. 12:2). Selama kita senantiasa menawan dan menaklukkan pikiran kita kepada Kristus (2Kor. 10:5) kita akan baik-baik saja ketika mengarungi samudera filsafat.