Pertanyaan ini muncul dari seorang pemuda yang hadir dalam sebuah seminar yang saya pimpin. Awalnya pertanyaan ini mengarah pada isu Allah ada atau tidak. Sanggahan seperti ini dengan mudah dapat dipatahkan karena berkontradiksi dengan pertanyaannya: kalau Allah ternyata tidak ada, maka dia tidak mungkin bisa berbohong, apalagi melakukan hal itu dengan sempurna. Jadi, pemikiran kritis dari pemuda tadi sebenarnya tidak logis.
Selanjutnya, si penanya mengarahkan pada sebuah kemungkinan hipotetikal yang lain. Bagaimana jika di akhir jaman nanti ternyata ada allah lain yang lebih tinggi daripada Allah yang selama ini kita percayai? Bagaimana jika Allah yang selama ini kita percayai ternyata telah mengatur segala sesuatu dengan sempurna sehingga banyak orang tertipu?
Sebelum menjawab inti yang ditanyakan, kita perlu mengkritisi pertanyaan ini terlebih dahulu. Jika dipikirkan secara lebih mendalam, pertanyaan ini juga mengandung kesalahan fatal. Allah tidak mungkin menjadi pembohong yang sempurna, karena dalam kenyataannya ada sebagian orang yang tetap tidak percaya bahwa Allah itu ada (ateis) atau mempercayai allah lain yang berbeda dengan yang kita percayai (agama-agama lain). Seandainya kebohongan Allah adalah sempurna, maka sulit menjelaskan mengapa orang-orang itu gagal untuk ditipu. Fakta bahwa si penanya bisa mencurigai “kebohongan Allah” membuktikan bahwa kebohongan itu tidak sempurna!
Secara filosofis pertanyaan di atas juga bermasalah. “Bohong” atau “tidak benar” dapat didefinisikan sebagai ketidaksesuaian dengan sistem berpikir seseorang (inkonsistensi internal) dan ketidaksesuaian dengan realita (inkonsistensi eksternal). Seandainya “kebohongan Allah” adalah sempurna (seperti yang diasumsikan si penanya), maka hal itu pasti melibatkan inkonsistensi internal dan eksternal yang mutlak. Maksudnya, petunjuk apapun yang Allah sediakan di dunia ini secara konsisten selalu inkonsisten. Jika ini yang terjadi, maka batasan antara konsisten dan inkonsistensi akan menjadi kabur. Inkonsistensi Allah telah menjadi sebuah konsistensi. Lagipula, hal itu juga menjadikan batasan antara kebenaran dan kesalahan menjadi membingungkan. Jika Allah secara sempurna berhasil membohongi kita, maka segala sesuatu yang kita anggap “benar” tentang Dia adalah kesalahan, begitu pula sebaliknya. Lebih jauh lagi, konsep tentang kebohongan Allah yang sempurna juga menyisakan sebuah pertanyaan besar: jika semua realita adalah kebohongan, lalau atas dasar apa kita membedakan apa yang benar dan apa yang salah? Bukankah penilaian kita tentang “benar” ditentukan oleh kesesuaian dengan realita?
Seseorang mungkin dapat membantah jawaban di atas dengan mengatakan: “Allah yang pembohong sempurna itu hanya mampu merekayasa ‘semua’ realita di dunia, tetapi ia tidak mampu merekayasa realitas di dunia yang akan datang, karena nanti ada allah lain yang lebih berkuasa daripada dia.” Terhadap pertanyaan ini kita hanya perlu menanyakan balik mengapa allah yang lebih tinggi itu tidak campur tangan sama sekali dalam realita di dunia ini. Mengapa ia membiarkan semua orang tertipu secara sempurna oleh allah yang lebih rendah daripada dia? Seandainya ia berintervensi di dalam dunia, maka kebohongan yang dilakukan allah lain tidak mungkin bisa disebut sempurna, karena pasti ada realita lain yang berasal dari allah yang lebih tinggi yang bertabrakan dengan realita kebohongan yang diupayakan allah yang lebih rendah.