Menyimak kecenderungan sikap pemerintah daerah maupun pusat dalam menangani pandemi Covid-19 di berbagai wilayah, tidak lama lagi PSBB akan dilonggarkan. Tidak tertutup kemungkinan ke depan kita memang harus mulai berdamai dengan virus ini. Menunggu virus ini benar-benar lenyap mungkin akan membutuhkan waktu berbulan-bulan lagi. Jika PSBB diteruskan seperti ini tanpa henti selama berbulan-bulan, ekonomi negara akan runtuh. Semua bidang akan lebih terpuruk.
Pemerintah sendiri sudah merencanakan untuk memberikan kelonggaran secara bertahap. Beberapa aktivitas penting akan mulai diizinkan. Salah satu yang menunggu giliran tentu saja adalah ibadah bersama di tempat ibadah (gereja).
Izin ini tentu saja dengan segala persyaratannya. Protokol kesehatan harus tetap diperhatikan. Persoalannya, bagian dari protokol kesehatan adalah jaga jarak (physical distancing). Ini akan berpengaruh pada jumlah jemaat yang boleh datang ke gereja pasca dikeluarkannya izin beribadah di gereja. Berapa orang yang boleh datang? Bagaimana memastikan jumlahnya? Jika yang ingin beribadah bersama melebihi kuota maksimal yang boleh datang, siapa yang harus didahulukan?
Jika gereja tidak mulai mengantisipasi hal ini, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kekacauan dan perselisihan. Sebagian jemaat akan merasa dianaktirikan dan yang lain diprioritaskan. Ini persoalan yang perlu dipikirkan secara matang.
Langkah awal yang patut dipikirkan oleh gereja lokal adalah mengadakan survei (riset lapangan) ke seluruh jemaat. Survei ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar dampak ibadah online bagi jemaat. Berapa banyak yang tidak bisa mengakses ibadah online (tidak memiliki HP atau data internet)? Berapa banyak yang bisa mengakses tetapi tetap tidak bisa beribadah dengan baik (adaptasi yang lama, situasi rumah, dsb)? Berapa banyak yang secara kepribadian memang membutuhkan persekutuan jasmani untuk bertumbuh? Seberapa besar keinginan jemaat untuk beribadah lagi secara tatap muka? Berdasarkan hasil survei, prioritas kursi ibadah diberikan kepada mereka yang memang kurang bisa bertumbuh dengan baik melalui ibadah online.
Langkah lain yang dapat dipikirkan (jika kuota maksimal tidak memadai) adalah merampingkan durasi ibadah sekaligus menambah jumlahnya. Jika biasanya diadakan ibadah Minggu hanya dua kali, sekarang ibadah dilakukan empat sampai lima kali, tetapi dengan durasi waktu yang pendek (sekitar 60 menit). Jika ini yang ditempuh, jarak waktu antar ibadah juga perlu diperhatikan, sehingga tetap ada waktu untuk pembersihan dan penyemprotan ruang ibadah. Berkaitan dengan kekurangan tenaga penatalayan, gereja dapat mempertimbangkan untuk mengadakan ibadah yang lebih sederhana. Jika memang memerlukan musik, gereja dapat menggunakan rekaman instrumen atau sequencer. Untuk pengkhotbah, penambahan jumlah ibadah seharusnya tidak terlalu menimbulkan kesulitan. Toh durasi khotbah di setiap ibadah juga akan jauh berkurang karena perampingan ibadah. Lagipula, banyak hamba Tuhan yang mampu berkhotbah sampai lima kali dalam seminggu dengan durasi khotbah yang lebih lama.
Opsi di atas dapat digabungkan dengan menyediakan tambahan ruang ibadah. Ruangan-ruangan gereja yang selama ini tidak dipergunakan pada saat ibadah Minggu berlangsung bisa dipertimbangkan sebagai tambahan ruangan. Gereja hanya perlu menambahkan dekorasi sederhana dan perbaikan sound system seperlunya. Penambahan ruangan juga bisa dilakukan di luar gedung gereja, misalnya rumah jemaat yang agak besar atau tempat publik yang disewakan. Ruangan manapun yang digunakan, kebersihannya perlu diperhatikan. Jemaat perlu diyakinkan bahwa dari sisi kebersihan ruangan, semua protokol kesehatan telah dijalankan.
Apabila sebagian besar jemaat tidak mempersoalkan khotbah live streaming dan hanya membutuhkan persekutuan dengan sesama jemaat, tugas hamba Tuhan menjadi lebih ringan. Satu orang hamba Tuhan berkhotbah dan disiarkan untuk ibadah di beberapa tempat sekaligus. Jika sebagian besar jemaat kurang nyaman dengan khotbah live streaming, gereja bisa mulai melatih para penatua atau pemimpin awam sebagai pengkhotbah. Bahan khotbah bisa dipersiapkan oleh hamba-hamba Tuhan.
Opsi manapun yang dipilih sebaiknya gereja mengacu pada hasil survei. Tidak ada solusi seragam untuk semua tempat. Masing-masing gereja lokal memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing. Hasil survei akan menjadi patokan utama yang objektif dalam mengambil suatu kebijakan. Soli Deo Gloria.