Pertanyaan di atas sedikit sulit dijawab karena pemahaman orang tentang “berpikir positif” berlainan. Sebagian memahami istilah ini hanya sekadar sebagai cara melihat sisi positif dari sebuah hal yang terlihat negatif. Misalnya, Abraham Lincoln, salah seorang presiden Amerika yang terkenal, pernah membicarakan tentang bunga mawar. Tatkala kita melihat bunga mawar, apakah kita mengeluh karena bunga yang indah ternyata memiliki duri (pikiran negatif) atau bersyukur karena duri yang tajam memiliki bunga yang indah (pikiran positif). Matthew Henry, seorang penafsir Alkitab kenamaan, juga menunjukkan pemikiran positif waktu ia mengalami kecopetan. Sebagai contoh, ia bersyukur karena selama ini tidak pernah dicopet, dia bersukacita karena hanya uangnya yang hilang, bukan nyawanya, dsb. Sikap positif ini bukan tergolong pada gerakan “berpikir positif”. Hal yang tidak enak tetap diakui, namun hal yang tidak mengenakkan itu justru mengajarkan hal-hal lain yang positif yang selama ini mungkin terabaikan.
“Berpikir positif” dalam tulisan ini merujuk pada sebuah gerakan motivasi yang mulai populer sejak tahun 1970-an di Amerika. Semua bidang tersentuh oleh gerakan ini, termasuk gereja. Beberapa tokoh Kristen dan pengkhotbah terkenal turut mempopulerkan cara berpikir yang baru ini. Dari Norman Vincent Peale, Robert Schuller, sampai pada para pengkhotbah dari Gerakan Iman (Faith Movement) atau Teologi Kemakmuran (Prosperity Gospel).
Membahas seluruh pemikiran dan literatur tentang “berpikir positif” adalah tugas yang mustahil dilakukan dalam sebuah artikel. Lagipula, para penganut “berpikir positif” mempunyai ajaran esensial yang sama, sehingga penyelidikan detil dan menyeluruh kadangkala tidak terlalu diperlukan. Dengan alasan ini, kita hanya akan memfokuskan pada ajaran Norman Vincen Peale. Apa yang ia ajarkan? Bagaimana kita meresponi dia? Apakah ajaran Alkitab tentang “berpikir positif” yang benar?
Inti ajaran Norman Vincent Peale
Konsep Peale tentang “berpikir positif” termuat dalam buku, artikel, dan khotbah-khotbahnya yang begitu banyak. Jika diselidiki secara seksama, semua hanyalah ekspresi berbeda dari beberapa ajaran esensial tentang “berpikir positif”. Berikut ini adalah beberapa inti ajaran tersebut.
Pertama, kekuatan pikiran. Peale mengajarkan bahwa pikiran bawah sadar manusia merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa dan misterius. Pikiran dapat mengubah harapan-harapan menjadi realita, selama harapan itu cukup kuat (Peale, Positive Imaging, 77). Orang bisa sukses apabila ia memikirkan harapan-harapannya sedemikian rupa sampai tercetak dalam pikiran bawah sadarnya. Proses menuju ke arah sana disebut “penggambaran” (imaging) atau visualisasi (Peale, Positive Imaging, 1).
Kedua, iman kepada diri sendiri. Dalam bukunya yang fenomenal, The Power of Positive Thinking, Peale memulai buku itu dengan kalimat: “Percayalah pada dirimu sendiri! Berimanlah pada kekuatanmu!” (Power, 1). Penganut “berpikir positif” dilarang untuk ragu, Mereka harus meyakini keyakinan mereka. Keraguan akan menggagalkan perubahan harapan menjadi realitas. Salah satu wujud keyakinan yang teguh adalah perkataan-perkataan yang positif. Kata-kata harus dipilih sedemikian rupa, karena apa yang dikatakan pasti akan terjadi.
Ketiga, Allah sebagai sebuah energi. Pada saat menjelaskan tentang siapakah Allah itu, Peale dengan lugas menerangkan bahwa Allah adalah sebuah vitalitas, sebuah kehidupan, sebuah energi. Kalau seseorang menghembuskan Allah ke dalam dirinya, dan memvisualisasikan Dia, orang tersebut akan diberi kekuatan yang baru (“No More Stress or Tension in Plus,” 22).
Keempat, doa sebagai pelepasan energi. Berbeda dengan tokoh “berpikir positif” sekuler yang tidak mempercayai Allah, Peale menyertakan doa dalam konsepnya. Ia menyamakan doa dengan metode ilmiah untuk pelepasan energi atom. Menurut dia, doa adalah sebuah proses mekanis yang pasti untuk melepaskan energi rohani dalam diri orang percaya (Power, 52-53).
Terakhir, citra diri yang positif. Peale mengajarkan nilai penting dari menyukai diri sendiri. Citra diri yang positif (positive self-image) akan membawa pada keyakinan diri (self-confidence). Pada gilirannya, keyakinan diri akan memimpin pada realisasi diri (self-realization) dan pencapaian yang sukses.
Dari pemaparan singkat di atas, kita dapat melihat betapa miripnya ajaran-ajaran itu dengan khotbah-khotbah para hamba Tuhan dari kalangan tertentu. Mereka mengajarkan beriman pada iman. Mereka mendorong jemaat untuk meyakini kekuatan pikiran mereka. Apa yang seharusnya menjadi respon kita?
Kritikan terhadap “berpikir positif” Peale
Kebenaran suatu ajaran tidak boleh ditentukan oleh popularitas pengajarnya atau jumlah pengikut yang mengagumi dia. Kebenaran juga tidak ditentukan oleh hasil praktis dari kebenaran itu. Kebenaran harus dinilai dari Alkitab sebagai standar kebenaran tertinggi dan satu-satunya bagi orang percaya.
Pandangan “berpikir positif” merupakan ajaran yang berbahaya. Pandangan ini tidak bersumber dari Alkitab, melainkan dari Gerakan Zaman Baru. Tidak heran beberapa pernyataan Peale sering dikutip oleh para motivator dari Gerakan Zaman Baru. Peale sendiri bahkan tidak segan-segan memberikan rekomendasi di buku-buku mereka.
Kekuatan pikiran dan perkataan merupakan salah satu ciri khas dalam Gerakan Zaman Baru. Konsep ini didasarkan pada pantheisme (segala sesuatu adalah allah) yang menganggap dalam diri manusia terdapat hakekat keilahian. Karena manusia mempunyai hakekat tersebut, manusia mampu melakukan hal-hal yang melampaui batas. Apapun yang diinginkan, dipikirkan, dan dikatakan pasti akan terjadi.
Ajaran Peale juga bertabrakan dengan konsep Alkitab tentang manusia. Peale mengagungkan otonomi manusia, sedangkan Alkitab menentang hal itu. Bahkan dosa pertama yang dilakukan Adam dan Hawa adalah menginginkan otonomi dalam hal moral, yaitu menentukan yang baik dan yang jahat. Sebelumnya hanya Allah yang berhak mengatakan “baik” (Kej 1:4, 10, 12, 21, 25, 31) atau “tidak baik” (Kej 2:18). Iblis menawarkan Adam dan Hawa otonomi. Gerakan Zaman Baru dan “berpikir positif” menjual hal yang sama.
Peale lupa bahwa natur manusia sudah rusak oleh dosa. Pikiran, perasaan, dan hati manusia tidak bisa diandalkan, karena cenderung pada kesalahan (Ef 4:17-19; Rom 3:12-15). Pada saat manusia mengagungkan pikiran mereka, kita sudah bisa menebak hasilnya: pikiran yang melawan Allah. Pikiran yang menempatkan materi sebagai tujuan tertinggi manusia. Pikiran yang bertumpu pada kekuatan diri sendiri.
Konsep tentang citra diri yang positif juga perlu kita waspadai dengan seksama. Alkitab mengajarkan citra diri yang utuh, bukan citra diri yang positif. Citra diri yang utuh menerima kehinaan dan kehormatan manusia, kelemahan dan kekuatan manusia. Konsep seperti inilah yang kita jumpai dalam kisah penciptaan. Manusia adalah terhormat karena diciptakan menurut “gambar Allah”, namun pada saat yang sama manusia juga hina karena hanyalah “gambar” (Kej 1:26-27). Manusia adalah terhormat karena dihembusi nafas ilahi, namun manusia juga hina karena dibuat dari tanah liat (Kej 2:7). Hanya dengan menjaga keseimbangan ini kita dapat memperoleh citra diri yang utuh di dalam Tuhan. Gerakan “berpikir positif” mengesampingkan kehinaan manusia, dan secara berlebihan mengedepankan kehormatan manusia. Ini bukan ajaran Alkitabiah.
Tidak hanya bertabrakan dengan konsep Alkitab tentang manusia, ajaran Peale juga berkontradiksi dengan pandangan kitab suci tentang Allah. Allah hanya dipahami sebagai sebuah energi yang dapat dimanfaatkan melalui proses mekanis, yaitu doa. Walaupun dibungkus dengan jargon-jargon Alkitabiah – seperti iman, kuasa Allah, dsb., - pandangan “berpikir positif” mengerdilkan Allah. Mereka bahkan berani mengklaim bahwa kalau seseorang memiliki iman, maka Allah tidak mempunyai pilihan. Allah diletakkan di bawah iman. Terlepas dari pernyataan-pernyataan bombastis mereka yang terkesan mengagungkan kekuasaan Allah yang tak terlepas, mereka sebenarnya justru sedang membatasi kekuasaan itu. Bagi mereka, cara Allah memberikan pertolongan hanya melalui satu cara: mujizat. Jika Allah memang berdaulat dan berkuasa, bukankah Dia juga berkuasa untuk menunjukkan kuasa itu dengan cara-Nya sendiri?
“Berpikir positif” secara Alkitabiah
Bagaimana cara “berpikir positif” yang benar? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita bercermin dari pengalaman Paulus pada saat ia menghadapi duri dalam daging (2 Korintus 12:7-10). Apa pun bentuk konkrit dari duri dalam daging ini (penyakit? musuh dalam pelayanan? roh jahat?), Paulus menyebutnya sebagai seorang utusan Iblis (12:7). Ini pasti bukan sesuatu yang positif (paling tidak dalam kaca mata penganut “berpikir positif”).
Pengalaman Paulus sebagai kritik terhadap “berpikir positif”
Paulus meminta Allah untuk mengambil duri itu. Jawaban Allah adalah “tidak”. Apa yang salah dengan doa Paulus? Apakah permohonannya keliru? Tidak! Ia ingin dijauhkan dari utusan Iblis. Apakah Paulus kurang rohani? Tidak! Ia baru saja menceritakan bagaimana ia diangkat ke sorga tingkat ketiga (12:1-6). Apakah Paulus kurang beriman? Pasti juga tidak! Pelayanannya diwarnai dengan begitu banyak tanda ajaib dan mujizat (12:12). Jika iman adalah satu-satunya syarat sebuah doa dikabulkan Allah, Paulus pasti akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
Hal-hal positif dalam doa yang tidak dikabulkan
Berbeda dengan para tokoh “berpikir positif” yang melihat kegagalan untuk mendapatkan apa yang diharapkan seseorang sebagai suatu hal yang negatif, Allah justru mengajarkan kepada Paulus tentang sisi positif dari doanya yang tidak dikabulkan Allah. Pertama, Allah mengajar Paulus untuk tidak sombong (12:7). Poin ini diulang dua kali di ayat yang sama untuk penekanan. Di tengah tantangan para rasul palsu yang menyombongkan diri (11:13-17), Paulus dijaga Tuhan untuk tidak turut dalam kesombongan itu. Secara manusia, Paulus memiliki semua alasan untuk sombong. Dia berasal dari keturunan dan budaya yang etrhormat (11:22). Ia banyak berkorban dalam pelayanan (11:23-28). Ia memiliki pengalaman rohani yang menakjubkan (12:1-6). Ia dipakai Allah dalam berbagai mujizat (12:12). Duri dalam daging merupakan sarana ilahi untuk menjaga Paulus tetap rendah hati. Bukankah kerendahhatian adalah hal yang positif?
Kedua, Allah mengajar Paulus untuk menghargai kasih karunia Allah (12:9a). Tuhan berkata kepadanya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu”. Sebagaimana kita tahu, kasih karunia adalah adalah tanpa batas. Namun, hal ini tidak berarti bahwa semuanya pasti diberikan pada kita. Kasih karunia berarti sesuatu yang diberikan Allah secara cuma-cuma tanpa mempertimbangkan jasa dan kelayakan manusia. Jika seluruh kasih karunia Allah harus dilimpahkan pada kita, maka kasih karunia akan berhenti menjadi kasih karunia. Kasih karunia telah berubah menjadi “jatah”. Jika kasih karunia Allah ditentukan oleh iman dan kekuatan pikiran kita, apakah kasih karunia itu masih pantas disebut sebagai pemberian cuma-cuma dari Allah tanpa mempertimbangkan jasa dan kelayakan kita? Justru dengan menerima kasih karunia yang secukupnya, kita didorong untuk lebih menghargai kasih karunia itu. Bukankah segelas air di padang gurun jauh lebih bernilai daripada satu galon air di tepi sungai yang jernih? Demikian pula dengan kasih karunia Allah yang secukupnya bagi kita. Cukup seringkali jauh lebih baik daripada berlebihan.
Ketiga, Allah mengajar Paulus untuk mengalami kuasa Allah yang sempurna (12:9b). Tuhan juga berkata kepada Paulus: “justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”. Pernyataan ini sedikit membingungkan. Bukankah kuasa Allah selalu sempurna? Mengapa kuasa itu bisa “menjadi sempurna”? Allah memang memiliki kuasa yang sempurna, namun kita seringkali tidak merasakan kesempurnaan dari kuasa itu. Mengapa? Karena kita masih merasa diri mampu. Kecuali kita bisa mengatakan “I am nothing” dan “I can do nothing without God”, kita tidak akan bisa merasakan dan menghargai kuasa Allah yang sempurna dalam kehidupan kita. Jadi, ketidakmampuan adalah hal yang positif, yaitu sebagai sarana untuk mengalami kuasa ilahi yang sempurna.
Sikap positif terhadap doa yang tidak dikabulkan
Hal-hal positif dalam “kegagalan doa” diresponi Paulus secara positif pula (12:9-10). Tidak ada nada pesimis dan putus asa. Penyesalan atau kemarahan pun tidak terungkap sedikit pun. Sebagai gantinya, Paulus menggunakan kata-kata positif seperti “suka”, “bermegah”, “senang”, dan “rela”. Kosa kata ini mengandung nuansa positif yang kental. Bedanya, Paulus bersikap positif dalam hal-hal yang terlihat negatif, yaitu penderitaan, keterbatasan, ketidakmampuan, dan tekanan. Ini adalah “berpikir positif” yang sebenarnya.
Sebagai konklusi, “berpikir positif” menurut Alkitab diwarnai oleh tiga karakteristik: realistis, optimis, dan theosentris. Realistis berarti menerima kenyataan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan maupun menyangkalinya. Optimis berarti selalu menemukan hal-hal positif dari Allah dalam setiap keadaan. Theosentris berarti melihat segala sesuatu dari perspektif Allah. Apa yang disebut positif oleh manusia belum tentu positif di mata Allah. Begitu pula sebaliknya. Soli Deo Gloria.