Tahun 2014 yang lalu ditutup dengan sebuah peristiwa tragis, yaitu kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501. Ratusan orang meninggal dunia. Sebagian dari mereka adalah anak-anak Tuhan.
Beragam pertanyaan muncul di benak kita. Mengapa peristiwa buruk ini terjadi? Di manakah Allah dan kebaikan-Nya untuk para penumpang Kristen yang pasti sudah berdoa dan mempercayakan diri kepada-Nya? Bagaimana kita memberikan nasihat dan dukungan kepada keluarga yang ditinggalkan?
Persoalan ini sangat sulit dan kompleks. Semua aspek - sosial, ekonomi, psikologi, dan teologi - tercakup di dalamnya. Menjawab semua pertanyaan di atas pasti membutuhkan beberapa puluh buku yang sangat tebal. Itu pun tidak akan menjawab tuntas semua keresahan dan kegalauan hati mereka.
Artike ini hanya akan menyoroti salah satu pertanyaan yang ada, yaitu: “Bagaimana memberikan nasihat dan dukungan kepada anak-anak Tuhan yang keluarganya ikut menjadi korban tragedi ini?” Dalam beberapa minggu terakhir ini beberapa orang melontarkan pertanyaan ini kepada saya.
Pertama-tama kita perlu memahami kompleksitas persoalan yang sedang dihadapi oleh keluarga korban. Mereka benar-benar bergumul secara intelektual dan emosional. Yang mereka butuhkan bukan hanya penjelasan teologis-filosofis yang mendalam dan solid. Dalam situasi seperti ini, penjelasan semacam itu seringkali justru terkesan kurang sensitif terhadap perasaan mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan pertolongan dalam banyak hal, bukan hanya secara teologis yang teoritis.
Pada tahap awal pendampingan dan pemulihan, kita sebaiknya memberikan dukungan dan perhatian kita melalui kehadiran yang intensif. Hanya dengan datang dan menemani mereka saja, kita sudah memberikan sebuah pesan yang kuat dan efektif: mereka tidak sendirian menganggung kesusahan ini. Sama seperti para sahabat Ayub yang hanya duduk dan diam selama tujuh hari menemani Ayub (Ay 2:11-13), demikian pula kita bisa menguatkan keluarga korban melalui pendampingan yang intensif. Biarkan mereka bercerita apabila mereka ingin mengungkapkannya. Biarkan mereka diam apabila mereka tidak kuasa menceritakan tragedi dan perasaan mereka.
Pada saat mereka menanyakan alasan di balik peristiwa ini, kita tidak usah berlagak mengetahui semua jawaban yang ada. Sebaliknya, kejujuran kita untuk mengakui kerumitan persoalan ini justru akan memperkuat empati kita di mata mereka. Kita pun tidak boleh berkata-kata seolah-olah kita mengetahui perasaan mereka. Kita tidak mengalami tragedi ini. Walaupun peristiwa yang dialami sama, belum tentu semua orang memiliki perasaan yang sama. Ucapan semacam “Saya bisa memahami perasaan Anda” sebaiknya dihindari.
Apabila mereka menyalahkan Allah atau mengungkapkan keraguan mereka, kita sebaiknya tidak langsung memberikan teguran kepada mereka atau pembelaan untuk Allah. Kejujuran dalam mengungkapkan perasaan kita di hadapan Allah merupakan hal yang lebih positif daripada ucapan syukur yang tidak tulus. Para pemazmur sering meratap kepada Allah. Tidak jarang mereka bergumul secara serius dengan keraguan terhadap kebaikan Allah (Mzm 73). Para nabi pun seringkali mengalami kesulitan memahami pekerjaan Allah. Mereka sangat terganggu dengan kebingungan itu (Hab 1:1-4, 12-17; Yer 20:7-9, 14-15). Tidak ada yang salah dengan mengkepsresikan hati kita di hadapan Allah. Selama mereka masih menujukan semua protes dan kekecewaan kepada Allah, itu adalah hal yang positif. Itu menunjukkan bahwa mereka masih mempertimbangkan kehadiran Allah dalam semua tragedi ini. Biarkan mereka meratap sesuai isi hati mereka. Biarkan mereka jujur di hadapan Allah. Soli Deo Gloria.