Bagaimana Mengetahui Panggilan Untuk Selibat?

Posted on 14/05/2017 | In QnA | Leave a comment

Pergumulan untuk mencari jodoh memang rumit dan sulit. Ada banyak jalanan terjal yang menghadang di depan. Ada banyak pedoman dan aturan yang layak diperhatikan.

Sebelum mengambil langkah pertama dalam perjalanan yang panjang tersebut, ada satu pertanyaan yang sangat penting untuk direnungkan: Apakah Anda terpanggil untuk menikah? Ataukah Allah justru memanggil Anda untuk hidup membujang (selibat)?

Pertanyaan ini penting karena Alkitab memang mengajarkan karunia selibat. Ada beberapa orang yang memang dipanggil oleh Allah untuk tidak menikah. Dalam 1 Korintus 7:7 Paulus, pada saat membicarakan tentang perkawinan, memberi sebuah nasihat: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu”. Sesuai dengan konteksnya, “seperti aku” merujuk pada gaya hidup selibat yang dianut oleh Paulus. Ini adalah karunia dari Allah, sama seperti pernikahan juga merupakan karunia-Nya.

Teks lain yang relevan adalah Matius 19:11-12. Kepada murid-murid dan orang-orang Yahudi lain yang menganggap tuntutan pernikahan yang ideal adalah sesuatu yang sangat sukar, Tuhan Yesus menjawab: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti”. Walaupun di teks ini tidak dikatakan bahwa selibasi adalah karunia ilahi, namun kemampuan untuk memahami hal itu berasal dari karunia ilahi. Jika untuk memahaminya saja memerlukan karunia Allah, apalagi untuk menghidupinya. Diperlukan karunia lebih besar untuk menjalani kehidupan selibat.

Dukungan Alkitab yang lain terhadap karunia selibasi dapat dilihat dari kehidupan beberapa tokoh Alkitab yang saleh. Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Paulus adalah beberapa nama yang pantas disebutkan secara khusus. Dorongan di balik kehidupan selibat yang mereka jalani pasti bukan bersifat kultural. Budaya pada waktu itu bahkan memandang selibasi sebagai sesuatu yang kurang lazim. Gaya hidup ini bukan pilihan normal bagi banyak orang. Dalam budaya yang sangat patriakhal (berpusat pada jalur laki-laki), kelanggengan sebuah keturunan atau keluarga diteruskan melalui pernikahan anak laki-laki. Banyak hal dipertaruhkan pada saat seorang laki-laki memutuskan untuk hidup selibat: kehormatan, warisan, nama keluarga, dsb. Di samping itu, dalam budaya Yahudi banyak anak identik dengan banyak berkat Tuhan. Keluarga besar adalah kebanggaan. Menikahkan semua anak dipandang sebagai sebuah pencapaian. Di tengah budaya semacam ini, kehidupan selibat yang dipilih oleh Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Paulus pasti didorong oleh faktor theologis. Pilihan mereka bersifat kontra-kultural (bertentangan dengan budaya). Mereka meyakini bahwa selibasi adalah panggilan ilahi.

Pemaparan di atas mengingatkan kita bahwa selibasi bukanlah sebuah aib. Bukan sebuah kemalangan. Bukan pula sebuah kutukan. Bagi yang terpanggil untuk menjalaninya, selibasi adalah kehidupan yang indah.

Yang paling penting adalah mengenali karunia dan panggilan ilahi dalam hidup masing-masing orang. Ingat, tidak ada seorang pun yang hidup untuk dirinya sendiri. Roma 14:8 mengatakan: “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan”. Dialah yang berhak menentukan dan mengarahkan seluruh kehidupan kita. Jikalau Dia memanggil Anda untuk hidup selibat, terimalah dan nikmatilah.

Nah, sebelum mengambil keputusan apa-apa dalam hal ini, baiklah kita mempelajari hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan. Ada pedoman dan petunjuk yang harus dipikirkan dan diperhatikan.

Pertama, memiliki fokus hidup untuk Tuhan. Setiap orang Kristen memang harus mengasihi Allah dengan seluruh hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan (Markus 12:30), namun ada sebagian orang yang dikhususkan oleh Tuhan untuk lebih terfokus bagi pekerjaan-Nya. Merekalah yang diberi karunia selibasi. Di antara berbagai alasan untuk hidup selibat, Tuhan Yesus menyebutkan hal ini: “Ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Matius 19:12). Pada saat menasihati jemaat untuk mempertimbangkan keputusan menikah maupun selibat, Paulus menerangkan bahwa orang yang tidak menikah “memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan” (1 Korintus 7:32-35).

Beberapa orang tidak mau menikah lantaran tidak ingin repot mengurusi pasangan atau anak-anak. Mereka ingin menikmati hidup dan menghindari masalah. Motivasi semacam ini jelas tidak alkitabiah. Selibasi bukan untuk berpusat pada diri sendiri, melainkan pada Tuhan. Orang yang terpanggil untuk selibat harus siap dengan satu resiko: kekurangan waktu untuk diri sendiri. Allah sengaja memanggil mereka untuk tidak menikah supaya mereka benar-benar mampu mencurahkan segala perhatian, waktu, dan tenaga untuk pekerjaan Tuhan. Mungkin untuk mengasihi orang-orang yang kurang beruntung menurut ukuran dunia. Mungkin untuk memberitakan injil di tempat-tempat yang begitu sulit. Dalam hal waktu, Allah mungkin lebih menuntut (more demanding) daripada suami atau isteri.

Kedua, memiliki keyakinan yang teguh dalam hatinya. Di 1 Korintus 7:37 Paulus memberikan pandangannya tentang orang yang mungkin memutuskan untuk tidak meneruskan pertunangan mereka ke arah pernikahan. Walaupun konteks tidak menyediakan petunjuk yang terlalu jelas apakah keputusan untuk tidak menikah ini bersifat permanen (selibasi) atau hanya dalam kurun waktu yang pendek (penundaan pernikahan), prinsip yang melandasi keputusan tersebut tetap relevan bagi diskusi kita. Secara hurufiah ayat di atas berbunyi sebagai berikut: “Tetapi dia yang telah berdiri teguh dalam hatinya, tidak memiliki kekuatiran atau kebutuhan, melainkan memiliki otoritas atas kehendaknya, dan telah memutuskan dalam hatinya untuk mempertahankan kebujangannya, ia berbuat baik”.

Ayat di atas berbentuk ABBA (chiasmus). Poin di awal sama dengan yang di akhir. Begitu pula poin selanjutnya. Perhatikan bagian di bawah ini:

A  Telah berdiri teguh dalam hatinya

B Tidak memiliki kekuatiran atau kebutuhan

B’ Memiliki otoritas atas kehendaknya

A’  Telah memutuskan dalam hatinya

Dari struktur di atas terlihat bagaimana ketetapan hati memainkan peranan penting dalam keputusan untuk menjalani selibasi. Keputusan penting ini tidak boleh sekadar emosional, melainkan melibatkan pertimbangan yang matang. Kata “memutuskan” (krinō) di bagian akhir mengandung arti “menilai” atau “memutuskan”. Di samping itu, keputusan ini akan berdampak besar pada masa depan. Kata kerja “telah berdiri” (hestēken) maupun “telah memutuskan” (kekriken) menggunakan tense perfek, yang dalam tata bahasa Yunani mengindikasikan sebuah tindakan yang terjadi di masa lampau tetapi akibat atau hasilnya sampai pada masa yang akan datang. Karena keputusan ini menyangkut masa depan yang (sangat mungkin) panjang, setiap orang perlu memiliki keyakinan diri yang kuat sebelum mengambil sikap.

Dalam banyak kasus, keyakinan terhadap panggilan selibat muncul melalui proses yang sangat panjang dan beragam. Ada yang secara spektakuler dan eksplisit diberi tuntunan oleh Tuhan. Ada pula yang harus menghadapi kebingungan dan kegelisahan untuk menuju kepastian. Terlepas dari perbedaan suasana perjalanan menuju keyakinan, langkah awal yang ditempuh tetap sama: secara terbuka berani menggumulkan keputusan ini di hadapan Tuhan.    

Ketiga, menguasai dorongan seksual dalam dirinya. Masih berkaitan dengan struktur teks di poin sebelumnya, alasan untuk menjalani selibasi adalah penguasaan diri yang baik secara seksual.

A   Telah berdiri teguh dalam hatinya

B   Tidak memiliki kekuatiran atau kebutuhan

B’  Memiliki otoritas atas kehendaknya

A’  Telah memutuskan dalam hatinya

Banyak penafsir Alkitab sepakat bahwa kata “kekuatiran atau kebutuhan” (anankēn) maupun “kehendak” (thelēma) dalam konteks ini sebaiknya dipahami dalam kaitan dengan seks. Tambahan “memiliki otoritas atas kehendaknya” memperkuat dugaan ini. Konteks secara keseluruhan juga mengarah pada kesimpulan yang sama. Paulus sedang memperingatkan orang-orang tertentu yang menjauhi persetubuhan dengan pasangan mereka dengan alasan rohani yang kurang tepat (7:1-6). Dia lalu membahas tentang menikah atau tidak menikah (7:7-9a). Menariknya, bagian ini ditutup dengan kalimat: “sebab lebih baik kawin daripada hangus karena hawa nafsu” (7:9b).

Dari kalimat yang digunakan Paulus di 7:37 dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang terpanggil untuk hidup selibat mungkin memang tidak mempunyai dorongan seksual sama sekali (“tidak memiliki kekuatiran atau kebutuhan”) atau mempunyai dorongan tersebut tetapi sangat mampu mengontrolnya (“memiliki otoritas atas kehendaknya”). Intinya, godaan seksual bukanlah masalah besar bagi orang-orang yang diberi karunia selibasi.

Keempat, memiliki masa lalu yang tidak memungkinkan untuk menikah secara utuh. Matius 19:12 menyediakan dua alasan lain bagi selibasi. Tuhan Yesus menerangkan: “ia memang lahir demikian dari rahim ibunya” atau “dijadikan demikian oleh orang lain”. Yang dimaksud oleh Yesus adalah orang-orang yang tidak memiliki kapasitas seksual (dengan demikian juga kapasitas untuk mempunyai keturunan). Dalam kacamata budaya kuno, dua alasan ini menghalangi seseorang untuk mempunyai pernikahan yang utuh.    

Dua alasan di atas menempatkan orang yang selibat sebagai objek (pasif). Mereka mungkin memiliki keinginan untuk menikah. Dorongan seksual pun mungkin ada. Persoalannya, mereka tidak akan mampu menjalankan peranan dalam pernikahan secara utuh. Ini bisa berpotensi merusak kebahagiaan pernikahan dan mendatangkan kerugian bagi pasangan. Jika pernikahan menurut iman Kristiani adalah tentang membahagiakan dan melayani orang lain, ketidakmampuan untuk melakukan dua hal itu sebaiknya dipertimbangkan sebagai faktor untuk tidak menikah. Orang yang berada dalam keadaan ini tidak perlu merasa marah atau kecewa dengan Allah. Ini hanyalah salah satu petunjuk ke arah kehidupan selibat. Bukankah kehidupan selibat adalah sesuatu yang indah di mata Tuhan dan berharga bagi pekerjaan-Nya? Bukankah menjalani selibasi dengan penuh kebanggaan dan kebahagiaan adalah lebih baik daripada menjalani pernikahan yang dipenuhi dengan masalah dan penderitaan?

Dalam konteks modern, ada beragam faktor yang mungkin menghalangi seseorang untuk mempunyai pernikahan yang utuh. Keterbatasan secara fisikal (berkebutuhan khusus yang tidak memungkinkan untuk menikah). Keterbatasan secara seksual (kecacatan organ seksual atau kelemahan seksual sejak kecil). Keterbasan secara psikologis (kelemahan secara mental). Semua ini bisa saja menjadi berkat terselubung. Melalui kehidupan yang serba terbatas tetapi tetap mandiri dan berpusat pada Allah, mereka menjadi inspirasi dan teladan bagi banyak orang. Yang paling utama adalah menggunakan kehidupan secara efektif bagi kemuliaan Tuhan. Ingatlah, kehidupan jauh lebih besar daripada pernikahan. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko