Bagaimana Mengatasi Dorongan Untuk Masturbasi?

Posted on 21/12/2014 | In QnA | Leave a comment

Dalam pembahasan sebelumnya saya sudah menjelaskan bahwa masturbasi adalah dosa. Edisi kali ini akan menyinggung tentang solusi bagi dosa ini. Bagaimana kita bisa menang melawan godaan untuk masturbasi? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang komprehensif, baik secara teologis, psikologis, maupun praktis. Walaupun dalam tulisan ini tiga aspek tersebut dibedakan, tetapi ketiganya tetap tak terpisahkan. Segala sesuatu adalah teologis (rohani).

Dari perspektif teologis, sebuah konsep theosentris sangat diperlukan. Alasan untuk menghindari masturbasi bukan hanya karena potensi bahaya medis yang bisa ditimbulkan atau ancaman bagi keharmonisan pernikahan kelak, melainkan karena bertentangan dengan firman Allah. Dengan kata lain, Allah adalah alasan utama mengapa kita harus melawan dosa ini. Kita menghargai rancangan Allah atas seksualitas manusia (aspek relasi dan keintiman). Kita tidak ingin memberontak terhadap penetapan ilahi tersebut. Kita juga menyadari bahwa tubuh kita telah ditebus dengan darah Kristus yang mahal, karena itu kita harus menggunakannya untuk kemuliaan Allah, bukan kepuasan diri sendiri (1 Kor 6:19b-20). Tanpa menyadari bahwa segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Allah (Rom 11:36), sulit melihat bagaimana dosa masturbasi dapat dikalahkan.

Allah tidak hanya sebagai alasan untuk melawan masturbasi. Allah juga sebagai sumber kekuatan untuk memeranginya. Kita tahu bahwa semua jenis kejahatan – termasuk perzinahan – bermula dari hati (Mat 5:28; 15:18-19). Hanya Allah yang mampu melihat dan mengubah hati kita (Kis 15:8-9). Darah Kristus sudah dicurahkan untuk menyucikan hati kita (Ibr 9:14). Kuasa Allah juga terus bekerja dalam diri kita untuk mengerjakan ketaatan (Flp 2:13). Roh Kudus mengerjakan buah pengendalian diri bagi kita (Gal 5:22-23). Tanpa persandaran kepada Allah melalui doa dan perenungan firman Tuhan, kita tidak akan memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan dorongan masturbasi.

Yang tidak kalah penting adalah menjadikan Allah sebagai kenikmatan dan kesenangan hidup. Katekismus Wesminster mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya (pertanyaan dan jawaban nomer 1). Allah tidak anti kesenangan. Dia senang melihat kita senang (Pkt 2:23-25). Persoalannya, di mana kita meletakkan kesenangan kita? Jika kita telah menaruh kesenangan dan kenikmatan hidup pada kemuliaan Allah (Mzm 73:25-28), maka kita akan menyadari bahwa kesenangan dan kenikmatan yang dihasilkan melalui mastrubasi hanyalah sampah. Dengan berfokus terus pada kemuliaan Allah sebagai kesenangan hidup, kita akan terbantu untuk menyampahkan semua kenikmatan yang lain.

Dari perspektif psikologis, kita perlu mengubah pemikiran kita tentang diri sendiri. Masturbasi menumbuhkan sikap yang negatif terhadap diri kita. Dosa ini memupuk rasa mementingkan diri sendiri (egois) dan tidak membutuhkan orang lain (individualistis). Kebiasaan masturbasi bukan upaya mengasihi diri, tetapi merusaknya.

Di sisi lain, pada saat kita telah terjebak pada percabulan ini, konsep diri kita akan berubah. Kita dikuasai oleh rasa bersalah (bdk. 1 Kor 6:18). Kita menjadi putus asa dan tidak mau berjuang lagi. Iblis akan mengambil kesempatan untuk meyakinkan kita bahwa dosa ini tak terkalahkan dan bahwa kita tidak layak untuk dikasihi Allah. Beban psikologis semacam ini seringkali memperberat upaya kita untuk mengalahan masturbasi. Sama seperti seorang atlet yang sudah patah semangat menghadapi musuhnya yang hebat, demikian pula seseorang yang citra dirinya sudah rusak oleh dosa masturbasi.

Sikap egois, individualistis, dan perasaan bersalah yang berlebihan hanya menjadi sumber kekalahan. Kita perlu mengingat siapa kita di hadapan Allah. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, tetapi untuk Tuhan (Rom 14:7-8). Kita ditetapkan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain (Rom 15:1-2). Walaupun dosa memang seharusnya menimbulkan rasa bersalah dalam diri kita, korban Kristus yang berharga (1 Pet 1:18-19) dan sempurna (Ibr 7:27; 9:12, 26-28; 10:10) tetap tidak boleh dilupakan. Pengorbanan-Nya cukup untuk semua dosa kita, asal kita mau mengakui dosa dan memohon pengampunan-Nya (1 Yoh 1:9).

Dalam beberapa kasus, masturbasi merupakan ekspresi ketidakpuasan atau ketidakutuhan diri seseorang. Beberapa orang yang memiliki kekosongan dalam dirinya – kerinduan untuk diperhatikan dan dihargai – tetapi tidak terpenuhi, masturbasi dijadikan sebagai pelampiasan dari perasaan-perasaan itu. Apabila ini yang terjadi, orang tersebut perlu ditolong melalui konseling untuk menemukan citra diri yang utuh di dalam Tuhan.

Dari perspektif praktis, kita perlu mengubah pola hidup kita. Pertama, hindari rutinitas yang seringkali mendorong kita untuk melakukan masturbasi. Kebiasaan menonton maupun membicarakan pornografi merupakan pemicu utama yang harus dihindari. Apabila kita tidak bisa menghindari suatu rutinitas, upayakan untuk tidak berlama-lama melakukan rutinitas tersebut. Sebagai contoh, apabila aktivitas mandi menjadi titik lemah, usahakan untuk tidak terlalu lama berada di kamar mandi. Jika kita sering melakukan masturbasi di kamar, usahakan semua aktivitas kita dipusatkan di ruang tamu atau keluarga. Kita hanya masuk ke kamar untuk tidur atau mengambil suatu barang yang memang kita perlukan.

Kedua, kurangi saat-saat di mana kita sendirian. Kesendirian seringkali memberikan godaan tersendiri secara seksual. Semakin lama menyendiri, semakin besar peluang untuk godaan itu muncul. Carilah aktivitas lain yang menumbuhkan aspek sosial kita. Berbincang dengan teman, belajar kelompok, menonton TV bersama keluarga, atau bermain bersama orang lain merupakan alternatif yang patut untuk dicoba.

Ketiga, perbanyak jenis dan kadar aktivitas sehari-hari kita. Mengubah ritme dan warna kehidupan sehari-hari merupakan solusi cerdas untuk menghindari dorongan seksual yang tak wajar. Tatkala tubuh kita capek oleh berbagai aktivitas motorik (olah raga) atau pikiran kita lelah karena beragam aktivitas mental (belajar), dorongan terbesar dalam diri kita yang muncul adalah keinginan untuk istirahat atau tidur. Proses tidur ini akan berlangsung dengan cepat dan pulas karena kita memang sudah letih. Tidak ada waktu bagi kita untuk memikirkan hal-hal lain, terutama fantasi seksual.

Melakukan aktivitas baru atau memfokuskan diri pada aktivitas lama akan mengubah konsentrasi kita. Kita terpacu untuk melupakan dorongan seksual. Pikiran kita terus aktif bekerja untuk hal-hal lain yang lebih positif.

Keempat, bangun sebuah komunitas yang kondusif. Melawan masturbasi membutuhkan konsistensi dan ketabahan. Dua hal ini sulit dicapai apabila kita berjuang sendirian. Kita kadangkala putus asa dan butuh dikuatkan. Kita tidak jarang kehabisan strategi dan membutuhkan masukan orang lain. Kita pun perlu dimonitor secara intensif dan berkala oleh orang lain.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah rekan bergumul atau mentor yang dewasa secara rohani. Orang itu juga harus bisa menyimpan rahasia. Hindari rekan atau mentor yang berlainan jenis kelamin, apalagi yang memiliki kelemahan di bidang seksual. Kalau kita bisa menemukan rekan atau mentor yang sudah berhasil keluar dari kecanduan dosa seksual, hal itu akan membawa semangat tersendiri bagi kita.

Di atas semuanya, pertumbuhan rohani adalah sebuah proses yang berlangsung lama (sepanjang hidup kita). Selama proses yang panjang dan melelahkan ini kita pasti pernah jatuh dan gagal (1 Yoh 1:8; Yak 3:2). Bagaimana pun, kita harus mengingat janji TUHAN bahwa sekalipun kita jatuh, kita tidak akan tergeletak, sebab TUHAN menopang tangan kita (Mzm 37:24). Bagi orang benar, kejatuhan tidak mungkin permanen. Walaupun kita jatuh tujuh kali, kita akan bangun kembali (Ams 24:16). Selama menjalani peperangan yang sulit ini, marilah kita meminta hikmat kepada-Nya dengan penuh iman (Yak 1:5-8) dan memohon pertolongan-Nya (Ibr 4:15-16). Soli Deo Gloria.

admin