Bagaimana kita seharusnya menerapkan Matius 5:23-24?

Posted on 20/11/2016 | In QnA | Leave a comment

Dalam teks ini Tuhan Yesus memerintahkan siapa saja yang merasa ada ganjalan di dalam hati orang lain terhadap dirinya untuk segera meninggalkan persembahannya dan berdamai dengan orang itu. Sesudah penyelesaian masalah, orang itu boleh kembali meneruskan persembahannya. Apakah ini berarti bahwa kita harus meninggalkan ibadah pada saat kita teringat sesuatu yang mengganjal hati kita atau orang lain? Pertanyaan ini wajar untuk dikemukakan.

Untuk menjawab pertanyaan di atas secara tepat, kita perlu memperhatikan ayat-ayat lain di Matius 5:21-48. Perbandingan dengan teks-teks ini akan menolong kita untuk memahami maksud dan penerapan dari perkataan Tuhan Yesus. Jika ini dilakukan, kita akan mendapati bahwa perkataan Tuhan Yesus di ayat 23-24 tidak seharusnya dipahami dan dipraktekkan secara hurufiah.

Sama seperti bagian-bagian lain, ayat 23-24 merupakan sebuah situasi pengandaian yang sangat ekstrim. Sebagai contoh, ayat 29-30 berbicara tentang pencungkilan mata dan pemotongan tangan sebagai upaya untuk menghindari perzinahan. Ini jelas bukan perintah untuk amputasi diri secara hurufiah. Lagipula, pencungkilan mata dan pemotongan tangan bukanlah solusi sempurna bagi perzinahan, sebab perzinahan terjadi di dalam hati. Ayat 39-40 sebaiknya dipahami sebagai sebuah nasihat untuk lebih memperhatikan hal-hal rohani di atas hal-hal jasmani. Kita bahkan rela kehilangan hal-hal jasmani (kenyamanan dan kesenangan hidup) demi keselamatan rohani kita.

Sama seperti bagian-bagian lain, ayat 23-24 juga sukar untuk dipraktekkan secara hurufiah. Sebagai contoh, ayat 39 berisi perintah untuk memberikan pipi kiri pada saat orang lain menampar pipi kanan kita. Kita tidak mungkin melakukan ini secara hurufiah, karena tindakan itu hanya akan menambahkan kemarahan dan kebencian orang lain kepada kita. Begitu pula dengan ayat 40. Orang lain hanya menuntut baju, tetapi kita diperintahkan untuk menyerahkan jubah kita sekalian. Untuk apa kita menyerahkan apa yang tidak dituntut oleh orang itu? Kalau pun kita tidak memberi “tambahan bonus,” orang tersebut juga tidak akan keberatan, karena yang ia tuntut memang bukan bonusnya.

Maksud dari ayat 39-40 adalah kerelaan untuk memberikan walaupun kita dirugikan. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan adalah biasa. Kita dipanggil untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Bahkan bukan sembarang kebaikan. Kita malah bersedia memberikan lebih banyak daripada yang pantas diterima oleh orang lain.

Berdasarkan semua penjelasan di atas, marilah kita kembali pada penerapan ayat 23-24. Teks ini secara esensial mengajarkan bahwa kesucian hati lebih baik daripada ritual keagamaan. Allah mencari kemurnian hati lebih daripada praktek keagamaan. Kita tidak boleh seperti orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang terlihat sangat taat dalam beribadah, tetapi hati mereka jauh dari Tuhan (15:7-9). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko