Bagi sebagian orang Kristen, kitab suci dipahami sebagai produk murni dari surga. Para penulis Alkitab tidak memerlukan sumber-sumber lain dalam penulisan mereka. Dengan asumsi teologis semacam ini, sebagian orang Kristen mengalami kesulitan untuk menerima fakta bahwa Alkitab tampaknya mengutip dari sumber-sumber yang tidak diakui otoritasnya sebagai kitab suci (non-kanonik). Bagaimana respon yang tepat terhadap hal ini? Apakah fenomena pengutipan itu berbahaya bagi doktrin Alkitab?
Pertama-tama kita perlu menyadari bahwa Alkitab bersifat ilahi dan insani. Allah tidak langsung menjatuhkan Alkitab dari surga atau mendiktekan para penulis Alkitab. Ia memakai para nabi dan rasul. Kepribadian dan pertimbangan mereka tetap diakomodasi, tetapi diarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan kesalahan apapun. Ini adalah konsep pengilhaman yang benar (2 Tim 3:16; 1 Pet 1:20-21).
Karena ditulis oleh manusia, kita menduga bahwa para penulisnya pasti mengetahui atau menggunakan sumber-sumber lain. Lukas secara eksplisit mengiyakan asumsi ini (Luk 4:1-4). Penulis Tawarikh menggunakan catatan kuno, misalnya tulisan Ido (2 Taw 13:22). Demikian pula penulis Kitab Raja-raja memanfaatkan catatan dalam kitab raja-raja Israel maupun Yehuda (1 Raj 14:19, 29). Dalam khotbahnya Paulus sendiri pernah mengutip perkataan filsuf kafir (Kis 17:28-29). Yang paling kentara, penulis Yudas mengutip panjang lebar sebuah tradisi yang ada di dalam kitab kuno Yahudi yang dinamakan Kitab 1 Henokh (Yud 1:14-15).
Hampir semua teolog injil tidak mengalami kesulitan untuk mengakui bahwa para penulis Alkitab memang menggunakan sumber-sumber lain yang non-kanonik. Fakta yang ada memang mustahil untuk dibantah. Hanya orang-orang tertentu yang fundamentalis dan berpikiran sempit yang enggan mengakui hal ini.
Apakah sikap para teolog injili di atas tidak membahayakan otoritas kitab suci? Sama sekali tidak! Jika kita benar-benar menjunjung tinggi otoritas Alkitab kita justru harus mendasarkan doktrin atau dogma kita pada Alkitab. Jika Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa para penulis menulis tanpa sumber lain, maka kita tidak boleh mengasumsi hal-hal semacam itu. Tidak ada dasar Alkitab yang kuat yang mendukung gagasan bahwa para penulis Alkitab hanya mengandalkan pengalaman dan pimpinan Roh Kudus. Ini adalah konsep teologis yang naif.
Sebagai penutup, kita perlu memahami bahwa pada saat sebuah kitab kuno dikutip oleh penulis Alkitab, hal itu tidak berarti bahwa seluruh bagian dari kitab itu diperlakukan sebagai kitab suci. Demikian pula, tatkala beberapa kitab di PL tidak pernah dikutip dalam PB, hal itu tidak berarti bahwa kitab-kitab PL itu tidak berotoritas. Inti dari semuanya ini bukan terletak pada pengutipan, melainkan cara pengutipan. Apakah pada waktu mengutip kitab-kitab non-kanonik para penulis Alkitab terlihat memperlakukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah? Tidak! Walaupun demikian, para penulis boleh mengutip dari kitab-kitab itu apabila ada kebenaran-kebenaran tertentu yang bermanfaat bagi tulisan mereka. Ingat, semua kebenaran adalah kebenaran Allah, sedikit apapun kebenaran itu, dalam bidang apapun itu, dan di mana pun kita menemukannya! Soli Deo Gloria.