(Lanjutan tgl 4 Agustus 2019)
Pertama, syak di hati orang lain. Yang terutama untuk diperhatikan adalah jemaat yang kekurangan. Apakah pantas bagi seorang hamba Tuhan untuk mengenakan pakaian yang mahal sementara jemaatnya sendiri susah mendapatkan makan? Bagaimana perasaan seorang jemaat yang tiap hari harus berjuang untuk makan ketika dia melihat pendetanya mengendarai mobil mewah dengan penampilan yang wah?
Etika Kristiani bukan hanya tentang “benar atau salah”, melainkan juga “berguna atau tidak berguna” (1Kor. 6:12). Segala sesuatu yang tidak membangun orang lain, bahkan menimbulkan batu sandungan, harus dihindarkan (1Kor. 10:23).
Terhadap poin ini mungkin ada yang akan menyanggah: Mengapa kebebasanku ditentukan oleh orang lain? Bukankah aku berhak mengenakan apa yang aku punya? Sanggahan seperti ini persis dengan sanggahan jemaat Korintus terhadap Paulus (1Kor. 10:29-30). Jawaban saya? Sama seperti Paulus juga: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31). Untuk setiap rupiah yang kita akan keluarkan, baiklah kita menanyakan ini dalam hati kita: Bagaimana ini akan membawa kemuliaan bagi Tuhan? Jika kita tidak mampu mengaitkan dengan kemuliaan Tuhan, besar kemungkinan pengeluaran kita adalah sebuah kesalahan.
Kedua, contoh yang buruk. Orang-orang Kristen dinasihati untuk tidak menjadi sama dengan dunia (Rm. 12:2). Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa setiap orang Kristen perlu memisahkan diri dari dunia. Hal itu tentu saja tidak sesuai dengan doa Yesus Kristus (Yoh. 17:15) dan tidak mungkin dilakukan (1Kor. 5:10). Yang dimaksud adalah menentang semangat duniawi. Bukankah kemewahan merupakan salah satu tanda keduniawian?
Beberapa pendeta kaya yang menyukai kemewahan biasanya membela diri dengan menunjukkan sederetan tokoh-tokoh Alkitab yang kaya. Pembelaan seperti ini meleset dari target. Kekayaan dan kesederhanaan bukanlah dua hal yang perlu dipisahkan. Seseorang bisa saja kaya raya tetapi tetap menganut pola hidup sederhana. Menjadi kaya tidak berdosa. Uang bukan persoalan. Yang jadi masalah adalah cinta uang (1Tim. 6:10).
Ketiga, diagnosa hati. Tuhan Yesus berkata: “Di mana hartamu berada, di situ hatimu berada” (Mat. 6:21). Ini adalah peringatan yang serius terhadap kekayaan. Sekali lagi, menjadi kaya tidaklah dosa. Namun, hati mereka yang kaya perlu terus-menerus dijaga. Harta dan hati seringkali menjadi sahabat karib.
Salah satu cara untuk mengecek adalah dengan menanyakan hal ini: Apakah jumlah uang yang kita gunakan untuk keinginan, kesenangan, dan kemewahan lebih rendah daripada jumlah uang yang kita berikan untuk pelayanan dan orang lain yang membutuhkan? Jika jumlahnya sama atau melebihi, kita langsung tahu di mana hati kita berada. Tidak pantas bagi seorang pendeta untuk hidup dalam kemewahan sementara staf dan karyawan gereja hidup dalam kekurangan dan digaji di mawah gaji minimal.
Terakhir, otoritas dalam nasihat. Sebuah nasihat akan memiliki kekuatan persuasif yang besar jika dibarengi dengan integritas diri. Paulus berkata: “Jadilah pengikutku sama seperti aku sendiri menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1). Walk the talk! Begitulah pepatah Amerika mengatakannya.
Hamba Tuhan yang hidup dalam kemewahan akan menimbulkan kecurigaan apabila dia mendorong jemaat untuk memberikan persembahan. Orang akan menuduh hamba Tuhan itu memiliki kepentingan pribadi di balik pesannya. Masalah uang adalah isu yang sensitif, bahkan di dalam gereja. Jika seorang pendeta hidup sederhana dan banyak berkurban dalam pelayanan, jemaatnya juga akan memberikan dengan sukarela dan tanpa curiga. Dengan demikian, pekerjaan Tuhan akan semakin dilebarkan. Soli Deo Gloria.