Bagaimana dengan Akun Instagram pastorinstyle? (Bagian 1)

Posted on 04/08/2019 | In QnA | Leave a comment

Sudah berbulan-bulan isu ini merebak, terutama di dunia maya. Perdebatan terjadi di sana-sini. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada pula yang bingung mengapa hal ini perlu dipersoalkan.

Saya tentu saja tidak akan mempersoalkan akun ini. Setiap orang boleh menyuarakan pendapat sejauh tidak melanggar aturan yang berlaku. Lagipula, kita sukar untuk menebak motivasi di balik akun ini. Apakah pemiliknya bersikap negatif atau positif terhadap gaya hidup para pendeta yang diunggah? Ataukah dia sekadar pecinta fashion yang tidak memiliki pendapat pribadi atau agenda apapun dari unggahan ini? Saya tidak tahu dan memilih untuk tidak (mau) tahu.

Yang menjadi sorotan dalam artikel ini justru gaya hidup para pendeta dalam akun ini. Secara umum (tidak mutlak), para pendeta di dalamnya digambarkan sebagai orang yang bukan hanya mencintai fashion, tetapi juga berpenampilan cukup mewah. Pertanyaannya, apakah hamba Tuhan memang boleh berpakaian mewah?

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Kita tidak mengenal para pendeta tersebut secara pribadi. Kita tidak mengetahui motivasi di balik penampilan mereka. Kita juga tidak mengetahui konteks di balik penampilan itu. Daftar ketidaktahuan ini tentu saja masih bisa diperpanjang. Jadi, kita tidak boleh menghakimi mereka begitu saja.

Jika kita mencoba menilai dengan belas-kasihan, kita mungkin akan setuju bahwa menjadi kaya tidaklah berdosa. Beberapa tokoh iman dalam Alkitab memang kaya raya (Kej. 13:2; Rt. 2:1). Yang berdosa adalah cinta uang (1Tim. 6:10) dan menjadi hamba uang (Mat. 6:19-24).

Bukan hanya itu. Menikmati berkat TUHAN juga bukan sebuah kesalahan (Pkt. 2:24-25). Jika semua pemberian TUHAN dinikmati dengan ucapan syukur, hal itu sah-sah saja (1Tim. 4:4). Jadi, dari sisi teologis, memiliki dan menikmati kekayaan tidak selalu salah.

Dari sisi praktis kita juga perlu mengingat bahwa mahal atau tidaknya suatu barang ditentukan oleh beragam faktor. Misalnya, jenis atau nilai barang. Rumah seharga 1 miliar jelas lebih murah daripada pakaian yang berharga 300 juta. Faktor lain adalah jumlah kekayaan seseorang. Bagi seorang yang berpenghasilan rendah, pakaian seharga 300 ribu sudah terbilang mahal. Tidak demikian dengan orang yang kaya. Kebutuhan juga menjadi faktor lain yang patut dipikirkan. Seorang yang sehari-harinya bersentuhan dengan orang lain dari kalangan menengah ke atas jelas membutuhkan pakaian dengan standar tertentu.

 Saya juga menyadari bahwa seorang pendeta kadangkala “tidak memiliki pilihan”. Tatkala seorang jemaat memberikan pakaian atau sepatu yang mahal, misalnya, pendeta biasanya akan mengenakan itu supaya si pemberi tidak tersinggung. Beberapa gereja memang secara sengaja menciptakan suasana atau kultur tertentu yang ditujukan bagi golongan menengah ke atas. Dalam konteks seperti ini, para pendeta “terpaksa” mengikuti selera jemaat.

Apakah semua penjelasan di atas menjadi pembenaran bagi penampilan pendeta yang terkesan mewah? Tidak juga. Ada beberapa faktor lain yang lebih perlu untuk dipikirkan secara serius oleh para pendeta yang menggemari penampilan mewah.

Bersambung………

Yakub Tri Handoko