Pengantar: terminologi dan sejarah singkat
Istilah “apologetika” berasal dari bahasa Yunani apologia, yang berarti “pembelaan”. Salah satu contoh paling terkenal dari penggunaan kata ini dalam literatur Yunani adalah pembelaan (apologia) Socrates di depan pengadilan Athena. Kata apologia juga dipakai dalam Alkitab sebanyak 8 kali (Kis 22:1; 25:16; 1Kor 9:3; 2Kor 7:11; Flp 1:7, 16; 2Tim 4:16;1Pet 3:15), sedangkan kata kerja apologeomai (“membela”) muncul sebanyak 10 kali (Luk12:11; 21:14; Kis 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2, 24; Rom 2:15; 2Kor 12:19).
Dari pemakaian di atas terlihat bahwa kata apologia atau apologeomai bisa berhubungan dengan pembelaan secara hukum, pribadi maupun doktrinal. Dalam penggunaan selanjutnya istilah apologia dipakai sebagai istilah teknis untuk aktivitas membela iman Kristen. Orang Kristen berusaha memberikan penjelasan maupun jawaban terhadap kritik dan kesalahpahaman pihak luar. Aktivitas yang sudah dimulai oleh para rasul ini diteruskan di sepanjang sejarah gereja. Sebagian bapa gereja berusaha memberikan pembelaan terhadap para pengajar sesat maupun pemerintah Romawi yang menganiaya orang Kristen. Mereka dikenal dengan sebutan “kaum apologetis”, misalnya Justin Martyr, Clement dan Agustinus. Secara umum dapat dikatakan bahwa apologet pada jaman ini lebih berhubungan dengan isu keagamaan dan politik.
Upaya ini juga masih diteruskan pada jaman skolastisisme. Seiring dengan berkembangnya filosofi dan perubahan paradigma filosofi ke arah Aristotelianisme, para pemikir Kristen mulai menghadapi situasi yang baru ini dengan cara yang berbeda. Teologi dan filosofi mulai berebut tempat sebagai ilmu utama. Di sinilah benih dualisme antara iman dan rasio mulai bertumbuh. Jaman skolastik berhasil melahirkan sejumlah pembela iman yang terkenal, misalnya Thomas Aquinas, Anselmus, Dons Scotus, dan William Ocham. Pembelaan iman dalam periode ini lebih bersifat filosofis dan berhubungan dengan banyak isu yang cenderung spekulatif (Alkitab tidak memberikan penjelasan yang eksplisit tentang isu-isu tersebut).
Pada jaman reformasi para reformator juga melakukan pembelaan iman. Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu gerbang gereja Wittenberg dan mengundang siapa saja untuk berdebat dengan dia, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam konteks ini, Luther membela ajaran Alkitab terhadap ajaran Katholik yang dianggap menyimpang. John Calvin juga membuat buku Institutio edisi pertama untuk membela orang Kristen (Protestan) yang dianiaya oleh pemerintah Prancis.
Dalam periode selanjutnya, usaha apologetik semakin diperlukan, karena semangat jaman yang rasional (antisupernatural) dan sekularisasi terus-menerus menjadi ancaman bagi kekristenan. Berbagai isu baru mulai menjamur, misalnya ateisme (tidak ada Allah), deisme (Allah tidak mengontrol ciptaan-Nya), rasionalisme (hanya yang bisa dipahami oleh akal yang benar), empirisisme (kebenaran harus bisa diulang-ulang). Akibat paling buruk dari beragam filosofi antisupranaturalis tersebut adalah sikap yang salah terhadap Alkitab. Alkitab hanya dilihat sebagai tulisan kuno karya manusia saja yang kredibilitasnya harus diragukan. Isu kontemporer terbaru yang dihadapi orang Kristen sekarang adalah filosofi relativisme yang menolak kebenaran mutlak. Dari pola pikir relativis inilah muncul berbagai ancaman terhadap iman Kristen, misalnya pluralisme dan moralitas baru. Semua situasi di atas mendorong munculnya sejumlah apologet Kristen ternama, baik yang berfokus di bidang filosofis-teologis, moral-kultural maupun biblikal, misalnya Cornelius Van Til, C. S. Lewis, Francis Schaeffer, Norman Geisler, Josh McDowell, William Lane Craig, Gleason L. Archer, Oswald T. Allis, Paul Feinberg, John Frame, R. C. Sproul.
Tujuan
Terlepas dari perdebatan yang ada di kalangan tokoh apologetika, secara umum tujuan apologetika ada dua. Pertama, negative atau defensive apologetics. Apologetika dipahami hanya sebagai pembelaan iman saja. Tugas orang Kristen adalah memberikan penjelasan atau bantahan terhadap kesalahpahaman maupun kritikan yang ditujukan secara langsung kepada orang Kristen. Isu yang biasanya dijadikan target oleh orang non-Kristen adalah doktrin Tritunggal dan dwi-natur Kristus.
Kedua, positive atau offensive apologetics. Apologetika juga berusaha memberikan argumen positif untuk membuktikan kebenaran iman Kristen. Para apologet berusaha memberikan bukti-bukti rasional untuk membuktikan eksistensi Allah, ke-Allahan Yesus maupun kebangkitan-Nya. Dalam hal ini, apologetika menyentuh isu misi (penginjilan).
Metodologi
Salah satu inti perdebatan apologetika terletak pada metodologi. Para ahli berbeda pendapat tentang jenis argumen yang dapat digunakan maupun cara menanggapi orang-orang yang non-Kristen. Dengan kata lain, isu ini terkait dengan epistemologi, yaitu cara mencapai sebuah kebenaran. Ada banyak metodologi dalam apologetik, namun hanya beberapa di antaranya yang akan dibahas dalam makalah ini.
Pertama, classical method. Metode ini memulai pendekatan dengan teologi natural untuk membuktikan theisme sebagai cara pandang (world-view) yang benar. Setelah menunjukkan kebenaran theisme, penganut metode ini selanjutnya memaparkan bukti-bukti historis tentang kebenaran Alkitab, keilahian dan kebangkitan Kristus untuk membuktikan bahwa kekristenan adalah theisme yang paling tepat. Tokoh apologetik yang menganut pandangan ini antara lain R. C. Sproul, Norman Geisler dan William Lane Craig, Stephen T. Davis.
Kedua, the evidential method. Metode ini memiliki banyak kesamaan dengan classical method. Perbedaan antara keduanya terletak pada nilai mujizat sebagai bukti. Bagi penganut metode ini, mujizat tidak mengasumsikan adanya Allah, tetapi hanya sebagai salah satu bukti saja. Mereka lebih terfokus pada isu legitimasi dari akumulasi berbagai argumen historis dan induktif. Dalam diskusi tentang eksistensi Allah, penganut evidential method berusaha membuktikan theisme dan Christian theisme secara simultan. Mereka mungkin akan memulai dengan faktualitas kebangkitan Yesus. Dari sini mereka selanjutnya membuktikan bahwa hal yang tidak biasa itu bisa terjadi hanya jika Allah seperti di Alkitab ada. Setelah itu, mereka memberikan bukti kesamaan antara Allah dan Yesus untuk menunjukkan keilahian Yesus. Metode ini dianut oleh John W. Montgomery, Clark Pinnock, Wolfhart Pannenberg dan Gary Habermas.
Ketiga, the cumulative case method. Menurut penganut metode ini, apologetika Kristen tidak selalu bersifat formal (mengikuti pola deduktif-induktif yang umum). Mereka lebih menekankan cara melihat seluruh data yang ada melalui hipotesa/teori tertentu yang dianggap lebih konsisten dan komprehensif dalam menafsirkan seluruh data tersebut. Bagi mereka, penjelasan Kristiani (Alkitab) lebih masuk akal dalam menjelaskan berbagai data yang ada, misalnya keteraturan alam, realitas keagamaan yang universal, objektivitas moral dan berbagai data historis lainnya (misalnya daya historis tentang kebangkitan Yesus). Penganut metode ini antara lain Paul Feinberg, C. S. Lewis, C. Stephen Evans.
Keempat, the presuppositional method. Penganut metode ini menganggap tidak ada dasat pijakan (common ground) yang cukup bagi orang Kristen dan non-Kristen, karena efek dosa atas pikiran manusia. Mereka hanya mengasumsikan kebenaran Kristiani sebagai titik awal dalam apologetika. Allah dalam Alkitab bukan hanya dianggap sebagai konklusi, tetapi juga awal dan kerangka berpikir. Berdasarkan hal ini, mereka berusaha membuktikan bahwa cara pandang non-Kristen adalah salah (dalam arti tidak mampu menjelaskan pengalaman keagamaan mereka di dunia. Metode ini dipegang oleh John Frame, Cornelius Van Til, Gordon Clark.
Terakhir, the reformed epistemology method. Penganut metode ini beranggapan bahwa suatu kebenaran tidak selalu perlu dibuktikan. Percaya tanpa bukti merupakan sesuatu yang secara rasional bisa diterima. Sebagai contoh, mereka tidak setuju bahwa eksistensi Allah perlu dibuktikan. Bukankah sensus divinitas (rasa keilahian) dalam diri setiap manusia cukup membawa orang percaya kepada Allah tanpa bantuan bukti tertentu? Jadi, penganut metode ini lebih bersifat defensif. Tokoh terkenal yang memegang metode ini adalah Alvin Platinga dan Kelly J. Clark.
Solusi bagi perdebatan di atas bisa sangat panjang dan rumit. Yang perlu diingat adalah cara orang non-Kristen berepistemologi juga berbeda. Allah bisa membuat orang percaya melalui beragam cara. Ia bahkan bisa membuat orang percaya tanpa orang tersebut menuntut bukti rasional.
Sikap dalam berapologetika
Alkitab memberikan pedoman yang sangat eksplisit di 1Petrus 3:15-16. Walaupun apologetika berhubungan dengan masalah aspek kognitif (intelektual), namun bukan berarti bisa dipisahkan dari kesalehan hidup orang Kristen. Perintah untuk memberikan apologia dimulai dengan pengudusan Kristus dalam hati. Ungkapan ini berhubungan dengan totalitas hidup orang Kristen secara umum. Ketika memberikan apologetika pun orang Kristen harus melakukannya dengan cara Kristiani, yaitu lemah-lembut, hormat dan tulus.
Pedoman praktis
Berikut ini adalah beberapa pedoman praktis dalam berapologetika.
- Temukan presuposisi seseorang. Presuposisi inilah yang mendasari argumen, cara menafsirkan data dan pernyataan seseorang. Kita perlu berlatih untuk menganalisa tingkatan logika yang dipakai: pernyataan argumen data/bukti silogisme presuposisi.
- Analisa validitas presuposisi tersebut. Analisa ini menyangkut pemakaian common ground dan pendekatan yang tepat.
- Paparkan bukti-bukti positif.
- Lakukan semua langkah di atas dengan lemah-lembut, sopan dan hati yang tulus untuk membawa orang tersebut pada kebenaran.
- Berdoalah kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menjadi penentu apakah seseorang akan menerima kebenaran atau menolaknya.#