Apologetika : Apa dan Bagaimana?

Posted on 19/12/2015 | In Uncategorized | Leave a comment

Pengantar: terminologi dan sejarah singkat

Istilah “apologetika” berasal dari bahasa Yunani apologia, yang berarti “pembelaan”. Salah satu  contoh  paling  terkenal   dari  penggunaan   kata  ini  dalam  literatur  Yunani  adalah pembelaan  (apologia)  Socrates  di  depan  pengadilan  Athena.  Kata  apologia  juga  dipakai dalam Alkitab sebanyak 8 kali (Kis 22:1; 25:16; 1Kor 9:3; 2Kor 7:11; Flp 1:7, 16; 2Tim 4:16;1Pet 3:15), sedangkan kata kerja apologeomai (“membela”) muncul sebanyak 10 kali (Luk12:11; 21:14; Kis 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2, 24; Rom 2:15; 2Kor 12:19).

Dari  pemakaian  di atas terlihat  bahwa  kata  apologia  atau apologeomai  bisa  berhubungan dengan pembelaan secara hukum, pribadi maupun doktrinal. Dalam penggunaan selanjutnya istilah apologia dipakai sebagai istilah teknis untuk aktivitas membela iman Kristen. Orang Kristen  berusaha  memberikan  penjelasan  maupun  jawaban  terhadap  kritik  dan kesalahpahaman  pihak luar. Aktivitas yang sudah dimulai oleh para rasul ini diteruskan di sepanjang sejarah gereja. Sebagian  bapa gereja berusaha  memberikan  pembelaan  terhadap para pengajar sesat maupun pemerintah  Romawi yang menganiaya  orang Kristen. Mereka dikenal dengan sebutan “kaum apologetis”, misalnya Justin Martyr, Clement dan Agustinus. Secara umum dapat dikatakan bahwa apologet pada jaman ini lebih berhubungan dengan isu keagamaan dan politik. 

Upaya ini juga masih diteruskan pada jaman skolastisisme. Seiring dengan berkembangnya filosofi  dan  perubahan paradigma  filosofi  ke  arah  Aristotelianisme,  para  pemikir  Kristen mulai menghadapi situasi yang baru ini dengan cara yang berbeda. Teologi dan filosofi mulai berebut tempat sebagai ilmu utama. Di sinilah benih dualisme antara iman dan rasio mulai bertumbuh.  Jaman  skolastik  berhasil  melahirkan  sejumlah  pembela  iman  yang  terkenal, misalnya Thomas Aquinas, Anselmus, Dons Scotus,  dan William Ocham. Pembelaan iman dalam periode ini lebih bersifat filosofis dan berhubungan dengan banyak isu yang cenderung spekulatif (Alkitab tidak memberikan penjelasan yang eksplisit tentang isu-isu tersebut). 

Pada jaman reformasi para reformator juga melakukan pembelaan iman. Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu gerbang gereja Wittenberg dan mengundang siapa saja untuk berdebat dengan dia, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam konteks ini, Luther membela ajaran  Alkitab  terhadap  ajaran  Katholik  yang  dianggap  menyimpang.  John  Calvin  juga membuat  buku  Institutio  edisi  pertama  untuk  membela  orang  Kristen  (Protestan)  yang dianiaya oleh pemerintah Prancis.

Dalam periode  selanjutnya,  usaha apologetik  semakin  diperlukan,  karena semangat  jaman yang rasional (antisupernatural) dan sekularisasi terus-menerus menjadi ancaman bagi kekristenan. Berbagai isu baru mulai menjamur, misalnya ateisme (tidak ada Allah), deisme (Allah  tidak mengontrol  ciptaan-Nya),  rasionalisme  (hanya  yang bisa dipahami oleh akal yang benar),  empirisisme  (kebenaran  harus  bisa diulang-ulang).  Akibat  paling  buruk  dari beragam filosofi antisupranaturalis tersebut adalah sikap yang salah terhadap Alkitab. Alkitab hanya dilihat sebagai tulisan kuno karya manusia saja yang kredibilitasnya harus diragukan. Isu kontemporer  terbaru  yang dihadapi  orang Kristen  sekarang adalah filosofi relativisme yang menolak kebenaran mutlak. Dari pola pikir relativis inilah muncul berbagai ancaman terhadap iman Kristen,  misalnya  pluralisme  dan  moralitas  baru.  Semua  situasi  di  atas mendorong  munculnya  sejumlah  apologet Kristen  ternama,  baik  yang  berfokus  di bidang filosofis-teologis, moral-kultural maupun biblikal, misalnya Cornelius Van Til, C. S. Lewis, Francis Schaeffer, Norman Geisler, Josh McDowell, William Lane Craig, Gleason L. Archer, Oswald T. Allis, Paul Feinberg, John Frame, R. C. Sproul.

Tujuan 

Terlepas dari perdebatan yang ada di kalangan tokoh apologetika, secara umum tujuan apologetika  ada dua. Pertama, negative  atau defensive  apologetics.  Apologetika  dipahami hanya sebagai pembelaan iman saja. Tugas orang Kristen adalah memberikan penjelasan atau bantahan terhadap kesalahpahaman maupun kritikan yang ditujukan secara langsung kepada orang Kristen. Isu yang biasanya dijadikan target oleh orang non-Kristen adalah doktrin Tritunggal dan dwi-natur Kristus. 

Kedua, positive atau offensive apologetics. Apologetika juga berusaha memberikan argumen positif  untuk  membuktikan kebenaran  iman  Kristen.  Para  apologet  berusaha  memberikan bukti-bukti rasional untuk membuktikan eksistensi Allah, ke-Allahan Yesus maupun kebangkitan-Nya. Dalam hal ini, apologetika menyentuh isu misi (penginjilan).

Metodologi 

Salah satu inti perdebatan apologetika terletak pada metodologi. Para ahli berbeda pendapat tentang jenis argumen  yang dapat digunakan  maupun  cara menanggapi  orang-orang  yang non-Kristen.  Dengan  kata  lain,  isu  ini  terkait  dengan epistemologi,  yaitu  cara  mencapai sebuah kebenaran. Ada banyak metodologi dalam apologetik, namun hanya beberapa di antaranya yang akan dibahas dalam makalah ini.

Pertama,  classical  method.  Metode  ini memulai  pendekatan  dengan  teologi  natural  untuk membuktikan theisme sebagai cara pandang (world-view) yang benar. Setelah menunjukkan kebenaran theisme, penganut metode ini selanjutnya memaparkan bukti-bukti historis tentang kebenaran Alkitab, keilahian dan kebangkitan Kristus untuk membuktikan bahwa kekristenan adalah theisme yang paling tepat. Tokoh apologetik yang menganut pandangan ini antara lain R. C. Sproul, Norman Geisler dan William Lane Craig, Stephen T. Davis.

Kedua,  the  evidential  method.  Metode  ini  memiliki  banyak  kesamaan  dengan  classical method. Perbedaan antara keduanya terletak pada nilai mujizat sebagai bukti. Bagi penganut metode ini, mujizat tidak mengasumsikan adanya Allah, tetapi hanya sebagai salah satu bukti saja. Mereka lebih terfokus pada isu legitimasi dari akumulasi berbagai argumen historis dan induktif. Dalam diskusi tentang eksistensi Allah, penganut evidential method berusaha membuktikan theisme dan Christian theisme secara simultan. Mereka mungkin akan memulai dengan faktualitas kebangkitan Yesus. Dari sini mereka selanjutnya membuktikan bahwa hal yang tidak biasa itu bisa terjadi hanya jika Allah seperti di Alkitab ada. Setelah itu, mereka memberikan  bukti kesamaan antara Allah dan Yesus untuk menunjukkan  keilahian Yesus. Metode ini dianut oleh John W. Montgomery, Clark Pinnock, Wolfhart Pannenberg dan Gary Habermas. 

Ketiga, the cumulative case method. Menurut penganut metode ini, apologetika Kristen tidak selalu   bersifat   formal (mengikuti   pola   deduktif-induktif   yang   umum).   Mereka   lebih menekankan cara melihat seluruh data yang ada melalui hipotesa/teori tertentu yang dianggap lebih konsisten  dan komprehensif  dalam  menafsirkan  seluruh  data tersebut.  Bagi mereka, penjelasan Kristiani (Alkitab) lebih masuk akal dalam menjelaskan berbagai data yang ada, misalnya  keteraturan alam,  realitas  keagamaan  yang  universal,  objektivitas  moral  dan berbagai data historis lainnya (misalnya daya historis tentang kebangkitan Yesus). Penganut metode ini antara lain Paul Feinberg, C. S. Lewis, C. Stephen Evans.

Keempat,  the presuppositional  method Penganut  metode ini menganggap  tidak ada dasat pijakan (common ground) yang cukup bagi orang Kristen dan non-Kristen, karena efek dosa atas pikiran manusia. Mereka hanya mengasumsikan  kebenaran Kristiani sebagai titik awal dalam apologetika. Allah dalam Alkitab bukan hanya dianggap sebagai konklusi, tetapi juga awal dan kerangka berpikir. Berdasarkan hal ini, mereka berusaha membuktikan bahwa cara pandang  non-Kristen   adalah  salah (dalam  arti  tidak  mampu  menjelaskan   pengalaman keagamaan  mereka  di  dunia.  Metode  ini  dipegang  oleh  John Frame,  Cornelius  Van  Til, Gordon Clark.

Terakhir, the reformed epistemology method. Penganut metode ini beranggapan bahwa suatu kebenaran tidak selalu perlu dibuktikan. Percaya tanpa bukti merupakan sesuatu yang secara rasional  bisa  diterima.  Sebagai  contoh,  mereka  tidak setuju  bahwa  eksistensi  Allah  perlu dibuktikan. Bukankah sensus divinitas (rasa keilahian) dalam diri setiap manusia cukup membawa orang percaya kepada Allah tanpa bantuan bukti tertentu? Jadi, penganut metode ini lebih bersifat defensif. Tokoh terkenal yang memegang metode ini adalah Alvin Platinga dan Kelly J. Clark.

Solusi bagi perdebatan di atas bisa sangat panjang dan rumit. Yang perlu diingat adalah cara orang non-Kristen berepistemologi juga berbeda. Allah bisa membuat orang  percaya melalui beragam cara. Ia bahkan bisa membuat orang percaya tanpa orang tersebut menuntut bukti rasional.

Sikap dalam berapologetika

Alkitab   memberikan   pedoman   yang   sangat   eksplisit   di   1Petrus   3:15-16.   Walaupun apologetika berhubungan dengan masalah aspek kognitif (intelektual), namun bukan berarti bisa dipisahkan  dari kesalehan  hidup orang Kristen.  Perintah  untuk memberikan  apologia dimulai dengan pengudusan Kristus dalam hati. Ungkapan ini berhubungan dengan totalitas hidup orang Kristen secara umum. Ketika memberikan apologetika pun orang Kristen harus melakukannya dengan cara Kristiani, yaitu lemah-lembut, hormat dan tulus.

Pedoman praktis

Berikut ini adalah beberapa pedoman praktis dalam berapologetika.

  1. Temukan presuposisi seseorang. Presuposisi inilah yang mendasari argumen, cara menafsirkan data dan  pernyataan  seseorang.  Kita  perlu  berlatih  untuk  menganalisa tingkatan  logika  yang  dipakai:  pernyataan argumen data/bukti silogisme presuposisi.
  2. Analisa  validitas  presuposisi  tersebut.  Analisa  ini  menyangkut  pemakaian  common ground dan pendekatan yang tepat.
  3. Paparkan bukti-bukti positif.
  4. Lakukan semua langkah di atas dengan lemah-lembut, sopan dan hati yang tulus untuk membawa orang tersebut pada kebenaran.
  5. Berdoalah kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menjadi penentu apakah seseorang akan menerima kebenaran atau menolaknya.#

Yakub Tri Handoko