Istilah ini sangat berhubungan dengan seorang teolog modern yang bernama Karl Barth. Karena itu, nama lain untuk neo-ortodoksi adalah Barthianisme. Nah, apa arti neo-ortodoksi?
Dari istilah yang digunakan kita dapat mendeteksi dua elemen di sana: neo (baru) dan ortodoksi (ajaran yang benar). Makna sekilas yang tersirat bisa membingungkan. Apakah neo-ortodoksi berbicara tentang kebenaran yang selama berabad-abad tersembunyi dan baru ditemukan oleh Barth pada abad ke-20 M? Tentu saja tidak!
Pertama-tama kita perlu memahami situasi zaman di mana Barth hidup dan memformulasikan teologinya. Pada masa itu dunia teologi dikuasai oleh orang-orang liberal, terutama di negara Jerman. Barth adalah salah satu teolog dari gereja yang bertradisi Reformed yang ingin memberikan respon terhadap liberalisme. Ia menganggap bahwa para teolog liberal telah melangkah terlalu jauh. Ia ingin meneguhkan ortodoksi.
Sayangnya, ajaran Barth sendiri tidak memadai. Apa yang ia formulasikan memang berbeda dengan liberalisme, tetapi tidak termasuk dalam batasan ortodoksi. Konsep dasar dalam teologi Barth sebenarnya tidak jauh berbeda dengan liberalisme. Karena itu, ortodoksinya diberi tambahan label “neo”.
Apa yang diajarkan Barth sehingga teologinya dijuluki neo-ortodoks? Seperti sudah disinggung di atas, Barth berusaha menentang liberalisme yang menempatkan Alkitab hanya sebagai kitab kuno biasa tulisan para manusia yang bisa salah. Jika otoritas Alkitab sebagai firman Allah ditolak, maka doktrin-doktrin di dalamnya pun tidak lagi dipercayai. Kesejarahan Yesus ditolak. Doktrin tentang pewahyuan, dosa, penebusan dianggap tidak relevan.
Barth mengusulkan sebuah pemahaman baru tentang Alkitab. Berbeda dengan orang-orang injili yang memegang “Alkitab adalah firman Allah,” Barth memahami Alkitab sebagai sebuah kesaksian tentang firman Allah, yaitu kesaksian tentang Yesus sebagai firman Allah. Jadi, Alkitab hanyalah firman Allah sejauh Alkitab memberi kesaksian tentang Yesus.
Masih berkaitan dengan poin di atas, Barth berpendapat bahwa Alkitab adalah sebuah sarana perjumpaan dengan firman Allah. Alkitab bisa saja salah dan tidak berkuasa, namun tatkala isi Alkitab menyentuh hati seseorang, maka itulah yang disebut firman Allah. Jadi, esensi firman Allah tidak terletak pada Alkitab, tapi pada perjumpaan pribadi dengan Kristus melalui Alkitab.
Konsep yang terakhir ini dapat disejajarkan dengan pembedaan antara rhēma dan logos di kalangan gereja-gereja tertentu: yang tertulis adalah logos, tetapi dalam pembacaan atau pemberitaan ogos itu berubah menjadi rhēma. Selain dari sisi studi kata pembedaan logos dan rhēma adalah sangat keliru (logos dan rhēma adalah sinonim), pembedaan ini dari sisi teologis juga menyesatkan.
Alkitab adalah firman Allah. Alkitab bukan hanya berisi firman Allah, memberi kesaksian tentang firman Allah, atau menjadi sarana perjumpaan dengan firman Allah. Respon manusia – apakah mereka mengerti dan menerima firman Tuhan atau tidak – bukan ukuran bagi otoritas firman Allah. Alkitab tetap firman Tuhan yang berkuasa, terlepas dari apa pun respon manusia terhadap Alkitab. Jika manusia meresponi dengan pengertian, penerimaan, dan ketundukan, firman Allah berkuasa untuk mengubahkan mereka. Jika manusia menolaknya, firman yang sama berkuasa untuk menghakimi mereka.
Contoh yang cukup baik adalah pelayanan Yesaya. TUHAN memerintahkan dia untuk menyampaikan firman TUHAN. Menariknya, dari awal TUHAN sudah menubuatkan bahwa firman itu akan sampai pada telinga yang tuli dan hati yang bebal. Kebebalan itu bahkan menjadi salah satu bagian dari pemberitaan itu (Yes 6:9-10). Jadi, apa yang disampaikan Yesaya tetaplah firman Allah, terlepas dari penolakan yang dilakukan bangsa Israel terhadap firman itu.