Istilah “Gospel-centered movement” (gerakan yang ingin meletakkan Injil di pusat) telah menjadi pembicaraan hangat selama belasan tahun belakangan ini. Entah berapa banyak konferensi telah digelar dan buku diterbitkan untuk mendukung menggelorakan gerakan ini. Puluhan nama pengkhotbah dikaitkan erat dengan gerakan ini, misalnya Tim Keller, D. A. Carson, John Piper, Matt Chandler, Mark Driscoll, Brian Chapel, Michael Hurton, J. D. Greear, C. J. Mahaney, Kevin DeYoung, Mark Dever, Paul Tripp, dsb.
Walaupun gema gerakan ini terdengar dengan kuat baru sekitar dua dekade terakhir, tetapi gerakan ini sebenarnya tidak benar-benar baru. Semangat yang diusung justru “ad fontes”: kembali pada sumber. Mereka ingin menyoroti sentralitas Injil bagi orang percaya. Injil seharusnya diletakkan sebagai pusat. Jika kita membaca buku-buku mereka, kita akan menemukan berbagai kutipan dari penulis klasik kekristenan, misalnya Martin Luther, John Calvin, John Owen, Jonathan Edwards, Charles Spurgeon, George Whitefield, dsb. Dengan demikian, gerakan ini tidak sepenuhnya baru.
Yang baru adalah istilah yang digunakan dan keluasan jangkauan. Istilah “Gospel-centered movement” jelas bukan diambil dari kata-kata di Alkitab, walaupun konsep di dalamnya sangat Alkitabiah. Kata “movement” dalam istilah tadi sekaligus menyiratkan keluasan jangkauan. Hasrat dan upaya untuk kembali kepada Injil tidak hanya menjadi agenda suatu denominasi tertentu. Banyak gereja dan institusi Kristen bersinergi menjalankan roda gerakan ini. Mereka bahkan rela mengesampingkan perbedaan-perbedaan doktrinal lain demi kesehatian dalam mengembangkan gerakan ini. Yang paling penting adalah Injil: anugerah keselamatan yang besar melalui kematian dan kebangkitan Kristus.
Ada beragam definisi yang diusulkan untuk menerangkan gerakan ini. Dalam artikel ini gerakan yang berpusat pada Injil dipahami sebagai “upaya yang intensional untuk menjadikan Injil sebagai perspektif, dorongan dan kekuatan dalam hal apapun”. Sebagai perspektif, Injil menjadi dasar untuk menilai segala sesuatu. Sebagai dorongan, Injil menyediakan motivasi yang berfokus pada Kristus. Sebagai kekuatan, Injil memberikan kuasa untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengubahkan orang.
Berpusat pada Injil bukan sekadar memberitakan Injil, melainkan menghidupi Injil. Bukan sekadar membicarakan tentang Injil, tetapi digerakkan oleh Injil. Bukan sekadar membuktikan fakta kematian dan kebangkitan, tetapi diubahkan melalui kuasa kematian dan kebangkitan. Bukan sekadar program, tetapi paradigma pelayanan.
Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap dua bahaya terbesar dalam kekristenan, yaitu legalisme dan moralisme. Legalisme menganggap kekristenan hanya sebagai kumpulan aturan. Kekristenan dipahami hanya sebagai deretan perintah (apa yang harus dilakukan) dan larangan (apa yang tidak boleh dilakukan). Kerohanian diukur berdasarkan ketaatan. Perkenanan Allah didasarkan pada kesalehan. Tidak heran, berkat dan kutuk menjadi dorongan terbesar dalam legalisme. Taat hanya untuk mendapatkan berkat. Tunduk hanya untuk menghindari kutuk. Tidak ada sukacita dalam ketaatan. Kekristenan menjadi belenggu hukum yang memberatkan.
Moralisme menganggap kekristenan hanya sebagai pedoman tingkah-laku. Yang dipentingkan adalah tindakan yang bermoral, tidak peduli motivasi dan kuasa di balik tindakan tersebut. Injil dipahami hanya sebagai berita yang mengubahkan orang jahat menjadi baik. Khotbah-khotbah yang disampaikan hanyalah petuah-petuah moral untuk meniru tokoh-tokoh Alkitab.
Gerakan yang berpusat pada Injil berusaha meletakkan anugerah Allah melalui penebusan Kristus pada tempat yang seharusnya. Semua yang dilakukan harus dilihat dari, digerakkan dan dimampukan oleh Injil. Ketaatan adalah respons terhadap anugerah Allah, bukan sarana untuk mendapatkan anugerah tersebut. Ketaatan adalah wujud ucapan syukur atas kebaikan Allah, bukan cara untuk memanipulasi Dia memberikan berkat-berkat tambahan. Kasih kepada Allah yang digerakkan oleh kasih Kristus yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus menjadi satu-satunya alasan untuk menaati Dia (Mat. 22:36-40; Rm. 5:5). Kasih Allah tidak dapat bertambah karena kesalehan kita maupun berkurang karena keberdosaan kita. Dia sudah mengasihi kita habis-habisan. Itulah sebabnya kita mengasihi dan menaati Dia. Soli Deo Gloria.