Apakah Sudah Mempelajari Semua Tuduhan Terhadap Alkitab?

Posted on 24/08/2014 | In QnA | Leave a comment

Dalam salah satu seminar yang ia pimpin, Ravi Zacharias, salah seorang apologet Kristen bertaraf internasional, mendapatkan pertanyaan semacam ini: “Apakah keyakinan Anda terhadap kebenaran Alkitab didirikan atas dasar bahwa Anda sudah menyelidiki secara seksama dan komprehensif semua buku yang ditulis untuk menunjukkan kontradiksi di dalam Alkitab dan apakah Anda sudah puas dengan jawaban terhadap serangan-serangan tersebut?” Saya mencoba membayangkan seandainya pertanyaan itu ditujukan kepada saya. Apakah yang akan saya katakan?

Pertama, kita perlu mengetahui bahwa untuk memiliki keyakinan yang 100% tidak diperlukan pengetahuan yang komprehensif dan intensif. Tidak ada orang yang mampu memahami sesuatu secara mutlak. Menuntut pengetahuan yang 100% untuk mendapatkan keyakinan yang 100% adalah pola pikir yang tidak dapat dihidupi. Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah cukup puas dengan tingkat pengetahuan tertentu bagi keyakinan kita. Sebagai contoh, kita tidak mungkin bisa memastikan 100% bahwa pasangan kita akan setia sampai maut memisahkan, namun berdasarkan pengalaman-pengalaman tertentu dan pengenalan kita yang terbatas terhadap pasangan kita, keyakinan kita terhadap kesetiaannya bisa mencapai 100%. Begitu pula dengan keyakinan kita terhadap kebenaran Alkitab. Kita tidak perlu mengerti seluruh isi Alkitab, baru bisa mempercayainya.

Kedua, penggunaan istilah “kontradiksi” dalam penafsiran Alkitab merupakan hal yang cukup rumit. Mengapa saya mengatakan demikian? Setiap orang pasti akan mendekati sebuah teks dengan presuposisi teologis tertentu, baik mereka yang mempercayai Alkitab maupun yang menentangnya. Berdasarkan presuposisi ini dan berdasarkan kecenderungan pikiran manusia untuk mencari harmonisasi (dalam filsafat proses ini kadangkala disebut ‘inquiry’), kita pasti akan menafsirkan teks sesuai paradigma yang sudah ada. Semakin banyak informasi baru yang berlainan dengan paradigma lama, semakin mendorong kita untuk meninggalkan paradigma itu. Persoalannya, selama sebuah teks dapat ditafsirkan dalam kerangka teologis seseorang, maka orang itu tidak akan menemukan ‘kontradiksi’, walaupun di mata orang lain hal itu jelas-jelas sebuah kontradiksi. Di sinilah kontribusi presuposisi dalam penafsiran menjadi terlihat jelas.

Contoh yang paling jelas adalah catatan kitab-kitab injil yang seringkali berlainan. Bagi mereka yang tidak mengakui Alkitab sebagai firman Allah yang tidak mengandung kesalahan (inerrant), perbedaan catatan sudah menjadi bukti kuat bagi kesalahan Alkitab. Sebaliknya, bagi mereka yang mengakui ketidakbersalahan Alkitab, perbedaan itu dapat diterangkan dalam beragam cara, misalnya: (1) para penulis menceritakan peristiwa yang sama tetapi dengan tujuan yang berbeda, sehingga menghasilkan cara penulisan yang berbeda juga; (2) para penulis sekadar mengikuti cara penulisan sejarah atau biografi kuno yang melibatkan proses akumulasi, seleksi data, interpreasi, dan redaksi tertentu. Tidak ada yang aneh dengan perbedaan yang ada; (3) beberapa peristiwa yang mirip ternyata tidak benar-benar paralel. Maksudnya, peristiwa itu bisa jadi terjadi lebih dari satu kali dalam pelayanan Yesus; (4) pengetahuan tentang budaya kuno kadangkala menolong untuk menghindarkan diri dari tuntutan anakronitis (pemahaman modern yang sangat detil dan analitis diaplikasikan pada Alkitab), padahal dalam budaya kuno waktu itu hal-hal tersebut sangat bisa dipahami; (5) penyelidikan teks dan konteks yang teliti seringkali membantu untuk menjernihkan sebuah persoalan. Contoh: biji sesawi sebagai biji yang terkecil hanyalah ungkapan kuno yang sangat populer, sehingga tidak boleh dibandingkan dengan penemuan modern tentang biji-biji tertentu yang lebih kecil daripada biji sesawi.

Lima poin di atas memang terkesan terlalu menyederhanakan (oversimplikasi). Walaupun demikian, poin-poin itu berguna untuk memberikan gambaran bagaimana presuposisi seseorang berperan dalam penafsiran. Pada kasus-kasus tertentu di mana kebenaran mutlak sulit untuk dipastikan karena kurangnya data yang ada (bukan karena kebenaran itu relatif), setiap orang cenderung akan mempertahankan paradigma yang lama. Bahkan dalam kasus yang sangat ekstrim, seseorang bisa saja berkilah dengan mengatakan: “kita harus menunggu sampai data-data baru muncul” untuk membela paradigmanya.

Ketiga, kebenaran sistemik sebaiknya dibedakan dari kebenaran detil yang komprehensif, walaupun keduanya dalam taraf tertentu berhubungan. Dalam hal ini kita perlu memikirkan pertanyaan ini: “Seandainya ada ‘kesalahan kecil’ dalam Alkitab, apakah itu berarti bahwa doktrin-doktrin penting yang menjadi ciri khas kekristenan juga keliru?” Para pendukung parsial inerrancy (ketidakbersalahan Alkitab yang tidak menyeluruh) pasti akan menjawab secara negatif (kesalahan kecil tidak meruntuhkan doktrin-doktrin utama). Terlepas dari bagaimana kita menilai teori parsial inerrancy (saya sendiri cenderung menolak pandangan ini), ada sebuah kebenaran dalam jawaban mereka. Kita tidak perlu mengetahui dan menunjukkan kebenaran seluruh Alkitab lebih dahulu, baru setelah itu kita mempercayainya. Perhatian utama harus diarahkan pada doktrin-doktrin utama yang menjadi ciri khas ajaran Alkitab. Jika kita bisa menunjukkan bahwa doktrin-doktrin tersebut lebih masuk akal daripada alternatif dari agama atau filsafat lain, kita sudah memiliki dasar yang kokoh untuk memegang erat iman kita.

admin