Pertanyaan semacam ini seringkali muncul dalam diskusi dengan penganut agama lain. Dari luar terlihat bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, misalnya melakukan kebaikan untuk orang lain dan menjauhi perbuatan yang merugikan orang lain. Apakah dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua agama sama saja?
Dalam situasi negara kita yang majemuk, pertanyaan semacam ini bisa dianggap sebagai sebuah topik yang sangat sensitif. Sebagian orang memilih untuk menghindarinya sama sekali. Sebagian bahkan mengambil jalan damai yang sinkretis. Mengingat pertanyaan ini berhubungan dengan keagamaan yang adalah salah satu hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak untuk mengutarakan pendapatnya (tanpa bermaksud menjelek-jelekkan pandangan pihak lain).
Nah, pandangan saya adalah tidak semua agama mengajarkan kebaikan. Ada beberapa alasan untuk sikap ini. Pertama, beberapa aktivitas relijius – terlepas dari apakah praktek itu layak dikategorikan sebagai agama atau kepercayaan – secara eksplisit melibatkan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum. Sebagai contoh, ada sebuah agama suku yang mengajarkan penganutnya untuk mempersembahkan kepala manusia. Sebuah kepercayaan yang lain mengharuskan isteri untuk dibakar hidup-hidup bersama dengan mayat suaminya. Contoh-contoh semacam ini masih dapat diperpanjang lagi. Apakah kita berani mengatakan bahwa prakter relijius tersebut mengajarkan kebaikan?
Kedua, perbuatan yang baik ditentukan oleh motivasi di baliknya. Apakah perbedaan antara suap dan bantuan sosial? Keduanya melibatkan pemberian uang kepada orang lain, namun yang pertama dianggap salah dan yang kedua dinilai mulia. Di balik bentuk “kebaikan” yang sama terdapat motivasi yang berbeda. Jadi, motivasi menentukan baik atau buruknya sebuah tindakan, walaupun dari luar tindakan itu tampaknya baik.
Dalam pertanyaan di edisi sebelumnya saya sudah menjelaskan perbedaan konsep perbuatan baik versi Kristiani dan agama-agama lain. Alkitab mengajarkan bahwa perbuatan baik merupakan respon terhadap kepastian keselamatan yang Allah sudah berikan kepada kita secara cuma-cuma (Ef 2:10). Dalam agama-agama lain perbuatan baik dianggap sebagai syarat mendapatkan keselamatan atau menghindari hukuman ilahi. Seandainya perbuatan kita hanya dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kita (keselamatan) atau menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan (hukuman), apakah motivasi yang egosentris semacam ini seharusnya tidak mempengaruhi penilaian kita tentang kebaikan dari perbuatan yang dilakukan? Jika A memberikan uang kepada B yang miskin karena A berpikir akan mendapatkan sesuatu dari B, apakah pemberian tersebut layak dikatakan “baik”? Sebaliknya, jika A memberikan uang kepada B karena A dahulu juga orang miskin yang pernah ditolong oleh orang lain, manakah yang lebih baik?
Ketiga, perbuatan baik seharusnya ditentukan oleh Allah. Pada waktu penciptaan, penilaian baik (Kej 1:4, 6, 10, 12, 26, 31) atau tidak baik (2:18) dilakukan oleh Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa justru disebabkan keinginan mereka untuk menentukan sendiri apa yang baik dan yang jahat (Kej 3:5-6). Kesalahan yang sama ternyata masih dilakukan oleh begitu banyak orang modern. Jika kita mengasumsikan bahwa kehendak Allah adalah menyelamatkan manusia berdosa melalui anugerah di dalam iman kepada Yesus Kristus (Rom 3:21-31) tetapi manusia justru memilih untuk berusaha sendiri melalui perbuatan baik, apakah perbuatan ini benar-benar baik? Tentu saja tidak! Di mata Allah hal tersebut justru merupakan pelanggaran, bukan kebaikan.