Berkaca dari sejarah gereja, kita dapat mengetahui bahwa tidak semua umat Tuhan memiliki konsep yang positif tentang seks. Sebagian menganggap seks sebagai dosa dan akibat dari dosa. Orang yang rohani pasti sebisa mungkin menjauhi seks.
Kemampuan manusia untuk memiliki keturunan melalui seks pun dipandang sebagai akibat dari dosa. Merea berpendapat bahwa seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh ke dalam dosa, keduanya tidak akan berhubungan seksual maupun memiliki keturunan. Intinya, bersetubuh dan berkembang-biak bukanlah bagian dari rancangan awal penciptaan.
Sebagai dukungan bagi pandangan di atas, mereka menyodorkan Kejadian 2:25. Adam dan Hawa telanjang namun tidak merasa malu. Tidak ada gairah seksual di antara keduanya. Argumen lain adalah ini: sebelum kejatuhan ke dalam dosa, Adam dan Hawa tidak memiliki keturunan. Mereka baru bersetubuh dan memiliki keturunan sesudah mereka jatuh ke dalam dosa.
Benarkah demikian? Tentu saja tidak! Seks bukan akibat dari dosa. Sejak awal Alkitab memandang seks secara positif.
Pertama, seksualitas manusia disebutkan secara khusus. Salah satu keunikan penciptaan manusia adalah penyebutan "laki-laki dan perempuan" (Kej. 1:27). Keterangan kecil ini mengandung maksud yang besar. Di hari ke-5 dan ke-6 Allah juga menciptakan binatang-binatang. Kebanyakan berjenis kelamin jantan dan betina. Namun, Alkitab tidak merasa perlu untuk menyebutkan perbedaan jenis kelamin itu secara khusus. Hanya perbedaan seksual manusia yang disorot.
Kedua, seksualitas manusia adalah sarana merealisasikan rencana Allah. Tujuan penciptaan adalah menguasai seluruh bumi bagi Allah (Kej. 1:26). Untuk mencapai tujuan ini, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk seksual supaya mereka dapat berkembang biak, bertambah banyak, menguasai bumi, menaklukkan bumi, dan menguasainya (Kej. 1:28). Jikalau rencana awal ini adalah baik, maka sarana yang dirancang Allah pun adalah baik.
Ketiga, seksualitas manusia adalah anugerah Allah. Pemberian Hawa kepada Adam adalah murni anugerah Allah (Kej. 2:18-22). Dia sendiri yang menilai bahwa kesendirian Adam merupakan sesuatu yang tidak baik. Dia sendiri yang menciptakan Hawa tanpa persetujuan Adam. Dia sendiri yang membawa Hawa kepada Adam. Jika seks adalah pemberian Allah, tidak mungkin pemberian ini merupakan sesuatu yang buruk. Setiap pemberian Allah selalu baik dan sempurna (Yak. 1:17).
Keempat, ketelanjangan di Kejadian 2:25 perlu ditafsirkan sesuai konteksnya. Teks ini merupakan kontras terhadap Kejadian 3:7-10. Yang satu sebelum kejatuhan, yang satu sesudah kejatuhan.
Yang paling penting, malu atau tidak malu di sini bukan secara horizontal (Adam malu terhadap Hawa atau sebaliknya). Malu di sini lebih secara vertikal. Mereka malu dengan Allah. Dalam arti, mereka menyadari bahwa keadaan mereka tidak seperti dulu lagi. Itulah sebabnya mereka tidak hanya menutupi tubuh mereka, tetapi juga bersembunyi dari Allah.
Kelima, Allah seringkali mengungkapkan kasih-Nya melalui gambaran suami-isteri. Kitab Hosea adalah contoh paling jelas. Bukan hanya sebatas status. Gambaran suami-isteri ini juga mengandung aspek seksual. Kitab Kidung Agung adalah contohnya. Seandainya seks pada dirinya sendiri adalah buruk dan berdosa, mengapa Allah memilih untuk menggambarkan kasih-Nya secara seksual? Soli Deo Gloria.