Apakah persepuluhan masih berlaku untuk orang-orang Kristen?

Posted on 12/04/2015 | In QnA | Leave a comment

Dalam beberapa minggu terakhir saya menerima pertanyaan ini dari orang-orang yang berbeda. Jawaban terhadap hal ini tidak mudah dan tidak mungkin singkat. Banyak aspek terkait di dalamnya.

Dari sisi teologi, beragam pertanyaan yang tak terpisahkan dimunculkan. Apakah Hukum Taurat masih mengikat orang-orang Kristen? Bukankah karya penebusan Kristus menjadi akhir dari Taurat? Apakah ada petunjuk tentang persepuluhan di dalam Perjanjian Baru?

Dari sisi hermeneutis (ilmu penafsiran Alkitab), jumlah pertanyaan yang ada juga tidak kalah banyak. Sebenarnya ada berapa macam persepuluhan yang diajarkan dalam Alkitab? Untuk siapakah persepuluhan itu? Jika persepuluhan dahulu dibawa ke bait Allah, apakah padanan untuk sekarang ini hanyalah gereja? Jika para imam adalah para hamba Tuhan sepenuh waktu, lalu apa padanan bagi orang-orang Lewi yang melayani di bait Allah?

Dari sisi praktis, pertanyaan yang diajukan lebih subyektif. Apakah persepuluhan tetap harus diberikan dalam kasus orang tertentu yang sangat miskin? Bagaimana jika seandainya suatu gereja tidak bertanggung-jawab dalam hal pengaturan dan penyaluran persepuluhan? Apakah persepuluhan itu dari penghasilan kasar (omset) atau keuntungan bersih (profit)?

Tentu saja kita masih bisa memperpanjang pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul di benak banyak orang Kristen. Paling tidak, apa yang dipaparkan di atas sudah cukup mewakili. Intinya, isu tentang persepuluhan merupakan persoalan teologis, hermeneutis, dan praktis yang kompleks dan sukar dijawab dalam tulisan yang pendek. Walaupun demikian, tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan persoalan yang ada, saya ingin memberikan beberapa penjelasan umum yang sederhana untuk tiap-tiap aspek. Beberapa detil dari uraian saya mungkin masih bisa diperdebatkan, namun paling tidak hal itu cukup sebagai sebuah pondasi untuk mendiskusikan persoalan tentang persepuluhan.

Sisi teologi

Apakah Hukum Taurat masih berlaku bagi orang-orang Kristen? Pertanyaan ini muncul karena ada beberapa perintah di PL yang secara eksplisit memang tidak berlaku lagi, misalnya peraturan tentang makanan halal dan haram (Mrk 7:19). Ayat lain juga menyatakan bahwa Hukum Taurat berlaku sampai zaman Yohanes Pembaptis (16:16). Paulus pun mengatakan bahwa kita tidak lagi berada di bawah Hukum Taurat (Rom 6:14-15; Gal 5:18). Di sisi lain, Yesus menegaskan bahwa selama langit dan bumi belum lenyap, tidak ada satu bagian terkecil dari Hukum Taurat yang dibatalkan (Mat 5:18). Para rasul pun beberapa kali memberikan nasihat atau ajaran yang didasarkan pada Hukum Taurat (Ul 25:4//1 Kor 9:9).

Salah satu hal yang turut menambah kesulitan adalah arti kata “Hukum Taurat” (nomos) dalam PB yang beragam. Kata ini bisa merujuk pada Pentateukh (Kejadian – Ulangan), Dasa Titah (Kel 20; Ul 5), seluruh PL, atau era keselamatan yang lama. Jadi, kita perlu mengetahui makna mana yang dimaksud oleh seorang penulis di suatu konteks.

Persoalan lain lagi adalah aspek tertentu dari Hukum Taurat yang sedang dibicarakan. Pada waktu Yesus mengatakan bahwa Hukum Taurat berlaku sampai pada zaman Yohanes, apakah Ia memaksudkan semua aspek dalam Taurat sudah batal seiring dengan tampilnya Yohanes? Tentu saja tidak. Yesus pun masih memegang beberapa perintah dalam Taurat, misalnya ibadah di Hari Sabat atau perayaan di bait Allah.

Solusi tradisional untuk mejawab kerancuan di atas adalah dengan membagi perintah-perintah dalam Hukum Taurat menjadi tiga macam: seremonial (berkaitan dengan ibadah), sipil (berkaitan dengan hal-hal detil yang kultural), dan moral (berkaitan dengan etika). Kelompok pertama sudah tidak berlaku lagi karena digenapi dalam penebusan Kristus. Kelompok kedua juga tidak mengikat karena konteks modern berbeda dengan kultur Israel dahulu. Hanya hukum moral yang dianggap masih berlaku.

Pembagian semacam ini tampaknya sudah mulai harus ditinggalkan. Alkitab tidak pernah memberikan dasar untuk pembagian semacam itu. Lagipula, banyak perintah bisa dikategorikan ke lebih dari satu jenis kelompok hukum. Misalnya, perintah tentang Sabat. Dari sisi ibadah, perintah ini tergolong seremonial yang seharusnya tidak berlaku lagi, namun hampir semua orang Kristen masih menaatinya, walaupun digantikan oleh konsep Hari Tuhan (Minggu). Sabat juga mengandung unsur moral, yaitu memberi istirahat pada hamba-hamba. Contoh lain adalah peraturan tentang panen. Bangsa Israel dilarang mengambil hasil panen yang jatuh di tanah. Itu diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Perintah ini jelas masuk hukum sipil, tetapi juga moral.

Saya sendiri meyakini bahwa semua perintah PL masih berlaku sampai kapan pun. Kesinambungan ini hanya pada taraf esensi, bukan ekspresi. Bentuk konkrit suatu perintah bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi zaman. Esensi yang diajarkan bersifat kekal dan universal. Pendekatan ini lebih konsisten dibandingkan alternatif yang lain.

Pandangan ini terutama didasarkan pada sikap Yesus terhadap Hukum Taurat di Matius 5:18-48. Dalam bagian ini Ia tidak membatalkan atau mengganti perintah-perintah PL. Ia hanya memperjelas esensi dari tiap perintah. Contoh: larangan terhadap perzinahan secara fisik ditarik sampai pada akarnya, yaitu perzinahan dalam hati (Mat 5:27-28).

Dalam kaitan dengan persepuluhan, kita perlu memahami bahwa esensi dari perintah ini adalah ucapan syukur. Sebagai tanda terima kasih kepada Melkisedek, Abraham memberikan sepersepuluh dari penghasilannya (Kej 14:19-20). Begitu pula dengan Yakub yang berjanji untuk mengembalikan sepersepuluh dari tiap penghasilannya sebagai tanda syukur untuk pemeliharaan Allah (Kej 28:22).

Esensi lain dari persepuluhan adalah keberlangsungan ibadah dan tunjangan hidup bagi mereka yang membutuhkan (Ul 14:22-29). Persepuluhan dibawa ke tempat ibadah (Ul 14:23-25; Mal 3:10). Para imam dan Lewi berhak atas persembahan itu karena mereka tidak memiliki bagian milik pusaka (Ul 14:27). Mereka tidak bisa bekerja, sehingga memerlukan bantuan material dari orang-orang Israel. Selain para imam dan Lewi, penerima persepuluhan adalah orang-orang yang berkekurangan. Mereka hanya memiliki sumber penghasilan yang sangat terbatas, misalnya orang-orang miskin, para janda, yatim-piatu, dan orang-orang asing (Ul 14:29).

Jadi, secara esensi persepuluhan masih berlaku. Apakah bentuk konkritnya juga masih sama?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan mencoba melihat persepuluhan dari kacamata PB. Rujukan tentang persepuluhan hanya muncul sekali (Mat 23:23). Dalam teks ini Yesus mengecam ketaatan orang-orang Farisi terhadap persepuluhan yang begitu kecil-kecil, tetapi mereka mengabaikan keadilan bagi para janda. Dua hal ini jelas kontradiktif, karena salah satu tujuan persepuluhan adalah untuk meringankan kesusahan para janda. Yesus memerintahkan mereka untuk menjalankan persepuluhan, sekaligus tetap memperhatikan keadilan bagi orang-orang yang terpinggirkan.

Ia tidak mau memilih salah satu antara persepuluhan dan keadilan pada para janda. Keduanya bukan pilihan, melainkan kewajiban.

Sesudah kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, tidak ada rujukan tentang persepuluhan dalam PB. Bahkan dalam beberapa konteks yang seharusnya topik itu sangat relevan untuk dibicarakan, para rasul tidak menyentuh hal tersebut. Sebagai contoh, diskusi tentang tunjangan hidup untuk para rasul di 1 Korintus 9:1-18. Di bagian ini Paulus menerangkan berbagai alasan mengapa para pekerja injil wajib dinafkahi oleh jemaat, dari alasan logis sampai biblika. Ia tidak lupa mengutip Taurat Musa (1 Kor 9, 13-14). Menariknya, ia tidak membahas tentang persepuluhan sedikit pun. Ia malah mengutip analogi dari larangan untuk memberangus mulut lembu yang sedang mengirik (1 Kor 9; bdk. 1 Tim 5:17-18). Jika ia tidak lupa untuk menggunakan makanan kudus untuk para imam sebagai perbandingan dan argumen (1 Kor 13-14), mengapa ia tidak membicarakan tentang persepuluhan? Bukankah hal itu akan menjadi argumen yang sangat sesuai dan kuat?

Kita tidak tahu secara pasti mengapa Paulus tidak menggunakan perintah persepuluhan sebagai argumen. Ia mungkin menganggap perintah itu sudah sedemikian populer dan biasa, sehingga jemaat tidak perlu diingatkan kembali. Ia hanya mengasumsikan jemaat sudah memahami hal tersebut. Ia bahkan mungkin mengetahui bahwa tunjangan untuk kehidupan dan perjalanan Petrus dan rasul-rasul lain (1 Kor 9:5) berasal dari persembahan persepuluhan jemaat.

Kemungkinan kedua, Paulus merasa tidak perlu menyinggung tentang persepuluhan. Konteks pembicaraan di teks ini adalah kritikan sebagian jemaat Korintus terhadap Paulus (1 Kor 9:3). Kritikan ini berhubungan dengan tunjangan hidup dan pelayanannya, sebagaimana diuraikan di ayat-ayat selanjutnya. Karena inti persoalan hanya terfokus pada posisinya sebagai pekerja injil, ia tidak mau menyinggung tentang persepuluhan. Persembahan persepuluhan bukan hanya untuk para imam dan orang-orang Lewi, tetapi juga untuk anak-anak yatim-piatu, para janda, dan orang-orang asing. Jadi, dalam konteks seperti itu, persepuluhan tidak terlalu relevan. Lembu yang mengirik dan makanan kudus bagi para imam lebih spesifik menjawab isu yang sedang dilontarkan jemaat Korintus.

Kemungkinan ketiga, Paulus lupa menyertakan perintah tentang persepuluhan sebagai salah satu argumen. Alternatif ini sedikit lebih sulit diterima daripada yang lain. Jika memang Roh Kudus mengilhamkan dia untuk memberikan argumen bagi tunjangan hidup dan pelayanan para hamba Tuhan, dan jika persepuluhan memang dimaksudkan untuk itu, mengapa ia bisa melupakan poin penting ini? Lebih jauh, jika ia tidak lupa memikirkan makanan kudus bagi para imam, mengapa ia gagal mengingat tunjangan hidup para imam yang berasal dari persepuluhan bangsa Israel?

Kemungkinan terakhir, Paulus memang menafsirkan persepuluhan dengan cara yang berbeda. Kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus telah memberikan makna baru yang lebih esensial. Secara tidak langsung ia mungkin sedang memberi petunjuk bahwa praktek persepuluhan sudah tidak berlaku lagi bagi orang-orang Kristen. Jika pelayanan korban para imam telah dimaknai secara baru melalui korban Kristus di kayu salib (Ibr 9) dan melalui persembahan hidup kita di hadapan Allah (Rm 12:1; 1 Pet 2:9), mungkinkah segala hal lain yang berkaitan dengan keimaman pun juga ditafsirkan dengan cara yang baru? Kita sulit memastikan hal ini. Tidak ada petunjuk yang eksplisit dalam PB.

Di antara empat kemungkinan di atas, tidak ada satu pun yang konklusif. Saya lebih memilih untuk mendekati persoalan ini dari perspektif yang lebih luas. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal, semua perintah Allah secara esensi tetap berlangsung, walaupun ekspresinya selalu berubah sesuai zaman dan situasi. Dalam kaitan dengan zaman mesias di PB, inti dari persepuluhan sebaiknya tetap dilakukan, yaitu pemberian sebagian dari penghasilan kita kepada Allah sebagai wujud ucapan syukur kepada-Nya. Terlepas dari apa pun istilah yang akan digunakan untuk praktek pengembalian ini, prinsipnya tetap sama. Jika kita merasa diberkati oleh Allah, sudah seyogyanya kita mengucapkan syukur kepada-Nya. Salah satunya adalah melalui persembahan materi.

Bagaimana tentang besar atau jumlah dari persembahan itu? Apakah tetap sepersepuluh (10%) dari penghasilan kita? Tidak ada standar konkrit tentang hal ini. Semua berpulang pada seberapa besar ucapan syukur kita kepada Allah. Menurut hemat saya, kita seharusnya memberikan lebih banyak daripada 10%. Kita hidup dalam masa keselamatan yang baru yang jauh lebih mulia daripada zaman PL (Mat 11:11; 2 Kor 3:6-18). Tidak ada alasan untuk tidak berani memberikan lebih dalam hal materi. Jika orang-orang di PL rela dan taat memberikan 10%, lebih-lebih lagi kita yang dianugerahi keselamatan besar yang tak terbeli oleh uang!

Pemberian yang lebih ini tidak hanya terbatas pada hal-hal material. Cara kita hidup. Cara kita melayani. Cara kita berkorban tenaga, waktu, dan pikiran. Kita sekarang hidup dan terlibat dalam pelayanan Roh (2 Kor 3:6, 8). Semua hal yang kita lakukan seharusnya dilakukan dengan keyakinan, keberanian, kerelaan, dan pengorbanan yang jauh lebih besar.

Beberapa orang mencoba meniadakan persepuluhan dengan alasan bahwa Alkitab memerintahkan kita untuk memberikan seluruh hidup kita, bukan sepersepuluh dari penghasilan kita. Cara berlogika semacam ini sangat rapuh. Jika kita merasa mampu memberikan “seluruh hidup kita”, mengapa memberikan 10% dari penghasilan kita terasa berat? Adalah sebuah kebohongan apabila kita mengaku sudah memberikan seluruh hidup kita kepada Allah, tetapi kita secara sengaja tidak mau memberikan 10% dari penghasilan kita kepada-Nya. Harta memang bukan satu-satunya ukuran. Namun, harta pasti menjadi salah satu ukuran

Sisi biblika

Dari sisi teologis kita sudah melihat bahwa esensi persepuluhan tetap mengikat orang-orang Kristen. Memberikan materi kepada Allah merupakan salah satu ungkapan syukur kita yang penting. Kalau di perjanjian yang lama umat Allah rela mempersembahkan sepersepuluh, kita yang hidup di perjanjian yang baru seyogyanya berani memberikan lebih.

Dari sisi biblika kita menghadapi sebuah persoalan pelik yang berhubungan dengan analogi dan jangkauan aplikasi. Perjanjian Lama mengatur esensi maupun bentuk konkrit dari persepuluhan. Motif di balik persembahan ini adalah ucapan syukur kepada Allah. Obyek dari persembahan ini adalah para imam, para Lewi, dan orang-orang yang berkekurangan (janda, yatim piatu, orang miskin, dan orang asing).

Tatkala Perjanjian Baru hanya memberi landasan bagi esensi persepuluhan, kita mempertanyakan analogi dari obyek persembahan ini. Untuk zaman sekarang, siapakah yang berhak menerima persembahan? Pertanyaan ini menjadi lebih rumit karena sebagian hamba Tuhan (yang biasanya dianalogikan sebagai para imam) masih memiliki sumber penghasilan lain di luar pelayanan. Beberapa hamba Tuhan masih menjalankah bisnis mereka. Apakah mereka tetap berhak atas persembahan ini? Jika mereka berhak, bukankah para pemain musik dan pelayan lain di gereja juga berhak karena mereka dapat dianalogikan sebagai orang-orang Lewi? Dengan demikian pertanyaan ini sekaligus menyentuh persoalan jangkauan aplikasi. Sejauh mana kita bisa menerapkan ajaran Alkitab tentang obyek persembahan ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengingat beberapa poin di bawah ini. Pertama, persoalan tentang siapa yang berhak menerima persembahan seharusnya tidak menghalangi kita untuk memberi. Memberi adalah tugas kita. Mengelola pemberian itu adalah tugas orang lain. Masing-masing bertanggungjawab kepada Allah, Sang Pemberi berkat.

Kedua, persembahan yang kita berikan tidak bisa diidentikkan dengan persepuluhan. Apa pun nama dari persembahan yang kita berikan, kita seharusnya memberikan lebih banyak daripada orang-orang di Perjanjian Lama. Dengan konsep ini kita tidak boleh terlalu kaku mengelola persembahan tersebut seturut dengan penggunaan persepuluhan. Sebagian dari pemberian orang Kristen tetap ditujukan untuk hamba Tuhan dan orang-orang lain yang membutuhkan.

Ketiga, para penerima persembahan secara esensial adalah mereka yang tidak memiliki sumber penghasilan lain. Para imam dan orang-orang Lewi tidak mempunyai tanah warisan untuk dijadikan ladang. Para janda, anak-anak yatim, dan orang-orang asing seringkali sulit memperoleh kesempatan mendapatkan penghasilan. Situasi kuno sangat membatasi peluang mereka dalam hal mata pencaharian. Supaya mereka bisa tetap hidup dan supaya para pelayan bait Allah tetap bisa melayani tanpa gangguan, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk mendukung mereka secara materi.

Tiga poin di atas menjadi landasan bagi kita untuk menerapkan persembahan. Hamba Tuhan yang masih mempunyai sumber penghasilan yang memadai dari bisnis mereka seyogyanya belajar melepaskan hak mereka. Mengambil seperlunya adalah tanda bijaksana. Masih banyak orang yang lebih memerlukan materi itu. Kerajaan Allah secara umum maupun gereja lokal secara khusus juga mungkin lebih membutuhkan persembahan itu. Pada saat hamba Tuhan tersebut telah meninggalkan mata pencahariannya dan fokus ke pelayanan, maka jemaat wajib memberikan perhatian yang lebih kepada mereka, termasuk secara finansial. Jangan sampai pekerjaan Tuhan menjadi terhalang hanya gara-gara keuangan.

Sehubungan dengan para pemain musik atau para pelayan yang lain, kita perlu mengingat bahwa mereka kebanyakan memiliki pekerjaan sendiri. Mereka bukan hamba Tuhan sepenuh waktu yang memberikan hidupnya bagi pelayanan. Apresiasi secara finansial untuk mereka sama sekali tidak boleh disangkut-pautkan dengan prinsip persepuluhan di Perjanjian Lama. Para Lewi di zaman dahulu tidak bekerja, pemain musik sekarang rata-rata memiliki pekerjaan sendiri. Di samping itu, jika para pelayan adalah dari kalangan jemaat lokal sendiri, tidak memberikan apresiasi berupa uang merupakan langkah tepat untuk mengajarkan komitmen dan kemurnian pelayanan. Apresiasi bisa diwujudkan dalam bentuk lain yang lebih penting, misalnya CD/DVD lagu-lagu, buku-buku nyanyian, dukungan dana untuk pelatihan dan seminar musik, dsb. Apresiasi berupa dukungan moral dan perhatian terhadap mereka juga bisa menjadi apresiasi yang konstruktif. Pendeknya, mereka perlu diberi apresiasi yang bisa memperkaya kualitas pelayanan mereka.

Pada akhirnya, yang paling penting adalah motivasi, baik yang memberi maupun yang menerima. Semua seyogyanya menjadikan pelebaran kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya sebagai kepentingan tertinggi. Keengganan jemaat dalam memberi pasti tidak sesuai dengan prinsip ini. Demikian pula ketamakan para pelayan yang tidak berani melepaskan hak kita. Berilah semampumu (jemaat), terimalah secukupnya (para pelayan).

Masalah-masalah teknis dalam pemberian persembahan (persepuluhan) tidak kalah rumitnya dengan persoalan teologis dan biblikal. Berbagai pertanyaan umum dilontarkan oleh orang-orang Kristen, baik dari mereka yang mencari celah untuk tidak memberi maupun yang sungguh-sungguh ingin mempersembahkan dengan cara yang benar. Sebelum mengupas pertanyaan tersebut satu per satu, kita perlu mengingat – sekali lagi – bahwa yang terpenting adalah esensi dan motivasi dalam memberi. Selama persembahan itu muncul dari hati yang bersyukur (bukan karena terpaksa) dan diberikan untuk kemuliaan Allah (bukan kebanggaan diri), teknis pemberian seharusnya tidak boleh menjadi sebuah persoalan yang terlalu serius.

Pertanyaan pertama: Apakah persepuluhan harus diberikankepada gereja atau boleh langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya? Dalam Alkitab, persepuluhan kadangkala dibawa ke suatu tempat ibadah, misalnya rumah TUHAN (Mal 3:8-10) atau tempat khusus yang ditunjukkan oleh Allah (Ul 12:17-18; 14:23; 2 Taw 31:5-6, 11-12). Di samping itu, Alkitab juga mencatat tentang persepuluhan pada tahun yang ketiga supaya diberikan kepada dan dimakan oleh orang-orang Lewi dan semua orang lain yang membutuhkan di tempat pemberi persepuluhan berdomisili (Ul 26:12).

Berdasarkan keterangan di atas, tempat memberikan persepuluhan sebenarnya tidak selalu harus melalui gereja (sebagai analogi dari bait Allah). Walaupun demikian, saya tetap merekomendasikan gereja sebagai tempat pengumpulan persembahan. Praktek memberikan persembahan ke rumah TUHAN sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Israel. Lagipula, pemberian persembahan di tempat sendiri hanya dilakukan tiap tiga tahun sekali. Jadi, yang lebih umum adalah membawa persepuluhan ke rumah TUHAN.

Di samping itu, para pemimpin gereja secara umum juga pasti lebih memahami kondisi hamba-hamba Tuhan dan jemaat mereka. Mereka lebih tahu bagaimana persembahan tersebut seharusnya dikelola dan didistribusikan. Kita percaya bahwa para pemimpin adalah pilihan TUHAN (Rom 13:1), termasuk para pemimpin rohani. Kewajiban kita adalah menunjukkan ketaatan. Seandainya mereka ternyata tidak bisa dipercaya, maka hal itu adalah urusan mereka dengan Allah. Tuhan pasti tidak akan tinggal diam. Di sini iman kita kepada Tuhan benar-benar diuji.

Keuntungan lain dari memberikan persembahan melalui gereja adalah si pemberi persembahan tidak perlu bersusah-payah memikirkan penyalurannya. Semua diserahkan kepada pihak gereja. Dalam banyak kasus, memberikan persembahan secara langsung bisa berpotensi membuat si pemberi menjadi sombong. Si penerima pun bisa merasa berhutang kepada si pemberi (bukan kepada Allah). Memberikan melalui gereja tanpa mencatumkan identitas diri adalah pilihan terbaik, baik bagi pemberi maupun penerima.

Pertanyaan kedua: Apakah semua pelayan ibadah wajib menerima persembahan? Pertanyaan ini biasanya diajukan dalam kaitan dengan orang-orang Lewi di bait Allah. Mereka bukanlah para imam, tetapi terlibat secara aktif dalam ibadah. Jika hamba-hamba Tuhan (dianalogikan dengan para imam) berhak atas persembahan itu, bukankah para pemain musik (dianalogikan dengan para Lewi) juga mempunyai hak yang sama?

Jika dicermati lebih jauh, analogi yang digunakan sebenarnya tidak tepat. Persembahan yang diberikan tidak identik dengan persepuluhan. Selain itu, alasan para imam dan para Lewi ditetapkan sebagai penerima persepuluhan adalah karena mereka tidak memiliki tanah atau ladang untuk diusahakan. Dengan kata lain, mereka memang tidak memiliki sumber penghasilan lain. Seluruh hidup mereka dicurahkan pada ibadah di bait Allah. Karena itu, yang penting di sini terutama bukanlah jabatan seseorang, melainkan alokasi waktu untuk pelayanan. Semua orang yang memberikan diri sepenuhnya untuk pelayanan – entah itu pelayan musik atau pendeta – berhak menerima persembahan. Jika seorang pemain musik atau hamba Tuhan masih memiliki mata pencaharian lain, maka persembahan itu bukanlah hak yang bersifat wajib. Semua bergantung pada kebijakan gereja masing-masing.

Dalam hal kebijakan lokal ini, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah konsistensi. Pelayan ibadah bukan hanya pemain musik. Masih ada petugas LCD, dokumentasi, penyambut jemaat, dsb. Jikalau hanya satu bagian yang diberi persembahan, maka keputusan itu bisa menimbulkan masalah pada bagian lain. Jikalau semua diberi, kesulitan lain akan muncul: para pelayan bisa memiliki komitmen dan dedikasi pelayanan yang rendah, karena dipengaruhi oleh materi yang akan mereka dapatkan. Jalan keluar terbaik adalah memberikan persembahan hanya pada para pelayan ibadah yang melayani secara penuh waktu atau yang bukan berasal dari gereja setempat (misalnya, pemain musik dari luar). Bagi para pelayan ibadah yang merupakan jemaat sendiri, para pemimpin gereja cukup memberikan perhatian dan apresiasi kepada mereka. Bentuknya bisa bervariasi: seragam, mengajak makan, barang-barang yang menunjang pelayanan mereka (buku, CD, dsb), maupun hadiah Natal.

Pertanyaan ketiga: Apakah persepuluhan dihitung dari penghasilan kotor (omset) atau bersih (profit)? Bagaimana jikalau suatu bisnis terhitung rugi? Bagaimana jika pemasukan belum bisa menutup biaya operasional? Kebingungan semacam ini sering dialami oleh sebagian orang Kristen.

Sesuai dengan penjelasan dari sisi teologis dan biblikal di bagian sebelumnya, kita dapat menilai pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang tepat sasaran. Yang ditekankan dalam pertanyaan-pertanyaan itu adalah aspek legalistik yang detil, sedangkan Alkitab lebih menegaskan esensi dari persepuluhan. Seberapa besarkah ucapan syukur kita kepada Allah? Seberapa besarkah kerelaan kita untuk menurunkan taraf hidup kita supaya kita bisa memberi lebih banyak bagi pekerjaan Tuhan di muka bumi?

Jadi, sekali lagi, semua berpulang pada hati kita masing-masing. Orang yang benar-benar mengasihi Tuhan pasti akan melakukan upaya lebih besar dan serius untuk memberikan yang lebih kepada Dia. Orang yang tidak mengasihi Allah pasti akan mencari celah supaya ia mendapatkan alasan untuk memberi lebih sedikit kepada Allah.

Saudara termasuk kategori yang mana?

Ayat-ayat Alkitab yang dapat direnungkan berhubungan dengan Persepuluhan: (Mrk 7:19), (16:16),  (Rom 6:14-15; Gal 5:18),  (Mat 5:18),  (Ul 25:4//1 Kor 9:9), (Kel 20; Ul 5), (Matius 5:18-48),  (Mat 5:27-28), (Kej 14:19-20),  (Kej 28:22),  (Ul 14:22-29),  (Ul 14:23-25; Mal 3:10),  (Ul 14:27),  (Ul 14:29), (Mat 23:23), (1 Korintus 9:1-18),  (1 Kor 9, 13-14),  (1 Kor 9; bdk. 1Tim 5:17-18), (1 Kor 13-14), (1 Kor 9:5), (1 Kor 9:3), (Ibr 9) (Rm 12:1; 1 Pet 2:9), (Mat 11:11; 2 Kor 3:6-18), (2 Kor 3:6, 8), (Mal 3:8-10), (Ul 12:17-18; 14:23; 2 Taw 31:5-6, 11-12),  (Ul 26:12), (Rom 13:1).                                                                                                                   

Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko