Di telinga sebagian orang istilah “perdebatan” mengandung konotasi negatif. Perdebatan dikaitkan dengan suasana panas dan serangan verbal. Tidak heran, mereka menghindari – bahkan terkesan memusuhi – perdebatan. Salah satu komentar yang sering dilontarkan adalah “perdebatan tidak membawa pertobatan” atau “mana ada orang yang bertobat gara-gara berdebat?”
Untuk memahami isu ini, kita perlu membedakan antara perdebatan dan cara perdebatan. Dari berbagai definisi yang disediakan oleh berbagai kamus standar, perdebatan secara sederhana dapat dipahami sebagai pertukaran argumentasi. Masing-masing pihak menjelaskan posisi masing-masing dengan disertai data dan alasan-alasan sebagai pembenaran. Dari pengertian ini terlihat bahwa tidak ada yang negatif sama sekali dalam perdebatan. Jika demikian, yang dipersoalkan adalah cara berdebatnya yang dianggap tidak tepat atau kurang bijaksana.
Jika yang dipersoalan adalah caranya, kita bisa sepakat bahwa perdebatan memang perlu dilakukan dengan cara yang benar. Alkitab mengajarkan bahwa pembelaan atas keyakinan kita perlu disampaikan dengan lemah lembut, hormat dan hati nurani yang tulus (1Pet. 3:15-16). Bahkan orang yang suka melawan pun harus disikapi dengan lemah lembut (2Tim. 2:25). Tidak ada ruang bagi perdebatan yang kasar. Kebenaran harus disampaikan dengan cara yang benar. Apa yang disampaikan sama pentingnya dengan bagaimana menyampaikannya.
Nah, sekarang kita dapat langsung menyinggung tentang pertanyaan di atas. Bagaimana menyikapi orang yang mengatakan bahwa perdebatan tidak membawa pertobatan? Keberatan ini mengandung beberapa kesalahan.
Pertama, sanggahan ini tidak sesuai dengan fakta. Sebagian orang sungguh-sungguh bertobat karena mengikuti perdebatan. Beberapa juga bertobat gara-gara kalah dalam pertobatan. Salah satu contoh terkenal adalah pertobatan (almarhum) Nabeel Quraishi. Dia mengalami pertobatan setelah kalah dalam perdebatan panjang dengan teman kuliahnya yang bernama David Wood. Kisah ini diceritakan secara detil dalam buku Nabeel yang berjudul Seeking Allah Finding Jesus. Beberapa orang lain yang saya kenal juga mengalami proses pertobatan yang sama. Jadi, dalam kedaulatan-Nya Allah bisa memakai perdebatan sebagai sarana pertobatan.
Kedua, sanggahan ini mengasumsikan penginjilan sebagai sebuah peristiwa (event). Sebagaimana sudah berkali-kali diutarakan oleh mereka yang terlibat aktif dalam penginjilan, pemberitaan Injil lebih ke arah proses daripada peristiwa. Sangat jarang orang bertobat gara-gara sebuah peristiwa saja. Pertobatan biasanya merupakan hasil dari serangkaian kejadian. Kita tidak pernah tahu bagaimana Allah Tritunggal mengatur proses keselamatan seseorang. Perdebatan bisa saja menjadi salah satu dari sekian langkah menuju pertobatan.
Ketiga, sanggahan ini mengandung kekeliruan logika. Sanggahan ini bersifat terlalu pragmatis. Ada asumsi bahwa hasil bisa menentukan benar atau tidaknya sesuatu. Dalam ilmu logika kekeliruan ini disebut argumentum ad consequentiam (argumen dari konsekuensi).
Terakhir, sanggahan ini mengasumsikan bahwa pertobatan adalah usaha manusia. Apakah perdebatan bisa memertobatkan orang? Jelas tidak! Tidak ada satupun usaha atau tindakan manusia yang dapat menyelamatkan jiwa sesamanya. Pertobatan terjadi karena Allah bekerja dalam hati seseorang (Kis. 16:14) oleh Roh Kudus (Yoh. 16:8-11; 1Kor. 2:13-14) melalui firman kebenaran (Yak. 1:18). Jika dalam sebuah perdebatan Injil diberitakan dengan jelas Roh Kudus bisa saja bekerja melaluinya. Soli Deo Gloria.