Apakah Perbedaan Finansial Penting Dalam Sebuah Pernikahan?

Posted on 30/07/2017 | In QnA | Leave a comment

Banyak film dan sinetron mengangkat tema percintaan antar orang kaya dan orang miskin. Misalnya, seorang anak konglomerat jatuh cinta pada seorang penjual nasi goreng. Walaupun sempat ditentang, namun percintaan itu pada akhirnya berbuah manis di pelaminan. Cinta sejati tampaknya tidak mengenal perbedaan status ekonomi. Yang penting besarnya perasaan, bukan besarnya tabungan. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan melalui banyak film dan sinetron.

Sebaliknya, mereka yang menjadikan status ekonomi sebagai pertimbangan dipandang sebagai orang-orang yang tidak tulus dalam mencintai. Uang dan kekayaan dianggap tidak terlalu penting dalam sebuah hubungan. Mereka yang menempatkan ekonomi sebagai ukuran harus siap-siap diberi label sebagai orang matre.

Apakah hal ini benar? Ataukah perbedaan finansial seharusnya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam memilih pasangan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini?

Alkitab memang tidak pernah memberikan wejangan khusus tentang hal ini secara eksplisit. Tidak ada kisah pacaran dalam Alkitab, apalagi yang melibatkan dua orang dari status ekonomi yang berlainan. Yang paling mendekati mungkin adalah kisah Yakub dan Rahel. Sejak pertama kali tiba di rumah pamannya yang bernama Laban, Yakub sudah jatuh cinta kepada Rahel. Ini adalah percintaan antar saudara sepupu. Bukan hanya itu. Ini sekaligus percintaan antara karyawan dan anak majikan.

Proses yang dijalani selama “masa pacaran” dan pernikahan ternyata tidak mudah. Laban mencurangi Yakub berkali-kali (Kej 31:7). Apa yang menjadi hak Rahel (dan juga Lea, kakaknya) diambil oleh Laban juga (Kej 31:14-15, 41). Persoalan ekonomi tampaknya menghantui kisah asmara Yakub dan Rahel, sampai mereka berhasil memisahkan diri dari kungkungan Laban.

Harus diakui, inti persoalan dalam kisah di atas memang lebih terletak pada karakter Laban yang buruk, bukan pada perbedaan ekonomi. Lagipula, kisah ini hanya bersifat deskriptif (sekadar menggambarkan), bukan preskriptif (menggariskan apa yang harus diikuti). Buktinya, Musa memiliki relasi yang baik dengan Yitro, mertuanya, meskipun posisi mereka tidak berbeda dengan posisi Yakub dan Laban. Dengan kata lain, apa yang menimpa Yakub belum tentu terjadi pada semua orang.    

Penjelasan di atas tidak berarti bahwa perbedaan status ekonomi bisa diabaikan. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan sebuah rumah tangga adalah ekonomi. Kekurangan uang. Tidak bisa mengatur keuangan. Perbedaan status ekonomi.

Mereka yang tetap ingin menyeberangi jurang perbedaan finansial dalam pernikahan perlu memikirkan hal-hal berikut ini. Yang pertama, konsep dan sikap seseorang terhadap uang biasanya merupakan sebuah perilaku yang dipelajari di dalam keluarga. Baik secara sengaja maupun tidak sengaja, seseorang mengadopsi kebiasaan yang ada di dalam rumahnya. Apabila seseorang berasal dari keluarga yang kaya raya dan menjadikan uang sebagai ukuran dalam segala sesuatu, sangatlah sukar bagi orang tersebut untuk memiliki pemikiran dan sikap independen yang bertabrakan dengan nilai dalam keluarganya tersebut. Apa saja tetap akan dinilai dengan uang. Jika atas nama cinta dia rela mengabaikan hal itu, kekuatan cinta tersebut perlu diuji oleh waktu dan keadaan. Apakah kekuatan cintanya memadai untuk bertahan dalam kekurangan yang cukup panjang?

Kedua, status ekonomi seseorang membawa harapan finansial tertentu. Orang tua yang kaya raya dan berada di lingkungan keluarga besar yang kaya raya pula pasti menerima tekanan untuk menjaga kesuksesan material mereka. Kompetisi finansial antar keluarga besar sudah menjadi rahasia umum di banyak kalangan. Situasi ini pasti berdampak pada anak-anak mereka. Ada tekanan untuk mengejar, menyamai, atau bahkan melebihi kekayaan orang tua atau keluarga yang lain. Jika tidak disikapi secara bijak, hal ini berpotensi menimbulkan persoalan dalam keluarga. Sebagian orang berusaha bekerja dengan ekstra luar biasa tanpa menghiraukan perhatian terhadap isteri dan anak-anak. Sebagian lagi terpaksa menempuh jalan yang kotor untuk mencapai keberhasilan yang instan.

Saya sendiri pernah mendapati sebuah pernikahan hancur gara-gara hal ini. Seorang laki-laki dari keluarga menengah menikahi anak pengusaha terkenal. Sang suami berkali-kali merasa tidak begitu dihargai pada saat pertemuan keluarga besar. Setiap pertemuan keluarga merupakan momen penderitaan yang tak terkatakan.  Tekanan untuk mencapai kematangan finansial pun menjadi begitu terasa. Dia rela melakukan beragam pekerjaan sekaligus. Berbagai bisnis dia coba secara bersamaan. Tidak ada waktu untuk isteri dan anak-anak. Semua dilakukan demi menunjukkan diri di tengah keluarga besar. Apa yang dia lakukan ternyata menciptakan persoalan lain yang lebih besar. Isteri yang kurang diperhatikan akhirnya mendapatkan perhatian dari laki-laki lain. Perselingkuhan pun terjadi. Apa yang dipandang penting oleh sang suami ternyata berbeda dengan pandangan isteri. Sang isteri lebih membutuhkan seorang suami yang penuh perhatian daripada yang mengutamakan harta di atas keluarga.

Ketiga, standar kecukupan masing-masing orang berlainan. Bagi banyak orang, hidup bercukupan ditentukan oleh jumlah uang. Lebih jauh lagi, jumlah uang yang dipikirkan oleh masing-masing orang seringkali berlainan, tergantung pada kondisi keluarga maupun kepribadian masing-masing. Tidak dapat disangkali, mereka yang berasal dari keluarga yang mapan secara finansial akan memiliki batasan cukup yang lebih tinggi daripada orang lain yang statusnya ekonominya lebih rendah. Apa yang dianggap cukup oleh seseorang mungkin tergolong sangat berlebihan bagi pasangannya. Sebagai contoh, seseorang yang sudah terbiasa diberi kartu kredit tanpa batas oleh orang tuanya pasti akan mengalami kesulitan untuk menikah dengan orang lain yang berpenghasilan pas-pasan. Pasangannya pun akan menilai gaya hidupnya terlalu boros dan mewah.

Yang ideal memang mencukupkan diri dalam segala keadaan. Itu adalah ajaran Alkitab (Flp 4:10-13). Paulus sendiri berani berkata: “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (1 Tim 6:8). Persoalannya, tidak semua orang Kristen mengamini ayat ini, apalagi menjalaninya. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kemewahan dalam keluarganya, batasan mencukupkan diri bisa tetap terbilang tinggi di mata banyak orang. Apakah mereka nanti mau dan mampu menyesuaikan batasan itu pada saat menikah dengan laki-laki lain yang status ekonominya lebih rendah? Sulit dikatakan! Mencari orang yang mau saja sudah sukar. Bahkan di antara yang mau, tidak banyak yang benar-benar mampu menjalani kemauan itu.

Dari semua penjelasan di atas kita dapat mengambil keputusan bahwa perbedaan finansial merupakan persoalan yang benar-benar perlu dipertimbangkan secara matang oleh setiap pasangan. Jika pihak perempuan yang status finansialnya lebih baik dan perbedaan itu terlalu besar, ada banyak resiko yang akan dihadapi di depan. Bukan berarti halangan ini mustahil untuk dilewati. Semua tergantung pada seberapa benar konsep seseorang terhadap harta dan seberapa besar kerelaannya untuk menjalani konsep itu. Selain itu, pengorbanan dan kesusahan yang harus dibayar sebelum mencapai kematangan finansial yang ditargetkan juga perlu diperhitungkan. Berapa lama waktu yang diperlukan? Apa saja yang mungkin dipertaruhkan dalam proses itu? Kiranya artikel ini menolong kita untuk mengambil keputusan yang bijak dalam perkara ini. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko