Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, banyak hal yang baru mulai diperkenalkan dan digunakan dalam ibadah Kristen, dari teknologi pengaturan suara (sound system), penggunaan LCD/LED sampai lampu sorot. Seperti sudah bisa ditebak, pro dan kontra bermunculan.
Dalam artikel ini yang akan dibahas hanyalah penggunaan lampu sorot. Semakin banyak gereja menggunakan lampu sorot dalam ibadah mereka. Kita tidak perlu mengunjungi semua gereja untuk membuktikan hal ini. Ketiklah kata “worship” di Google image, kita akan langsung menemukan berbagai gambar suasana ibadah dengan beragam lampu yang sangat variatif.
Mereka yang menentang trend ini menilai penggunaan lampu-lampu tersebut bersifat duniawi. Gereja hanya mengikuti trend di luar. Gereja berusaha menyenangkan hati jemaat dengan menghadirkan ibadah yang kekinian dan sekuler. Mereka memandang ibadah-ibadah seperti itu tidak ubahnya seperti diskotek. Hanya memuaskan emosi. Sangat superfisial. Mengabaikan apa yang esensial dalam ibadah.
Di sisi lain, mereka yang menyetujui penggunaan lampu sorot dalam ibadah memiliki cara pandang yang berbeda. Bagi mereka, gereja perlu menyediakan ibadah yang nyaman dan menyenangkan, sehingga jemaat bisa menikmati ibadah. Dengan menghadirkan ibadah yang kekinian, gereja juga bisa menjangkau orang-orang lain yang alergi dengan semua hal yang tradisional dan terlalu sakral. Gereja akan ketinggalan jaman jika tidak mengikuti perkembangan teknologi.
Bagaimana sikap yang benar terhadap penggunaan lampu sorot dalam ibadah?
Sebelum menjawab pertanyaan ini secara lebih seksama, kita perlu memahami inti persoalan. Apa yang sebenarnya dipersoalkan? Saya yakin yang dipersoalkan bukan penggunaan lampu sebagai alat penerang. Gereja di sepanjang zaman selalu menggunakan cahaya dalam ibadah mereka. Dalam ibadah fajar dan malam pada zaman dahulu, gereja-gereja menggunakan pelita atau lilin. Beberapa arsitektur gereja kuno memanfaatkan sinar matahari yang bisa langsung menembus kaca-kaca atau mozaik di ruang ibadah sehingga ruangan itu tidak gelap. Efek cahaya yang ditimbulkan juga bisa menambah keindahan ruangan dan memberi atmosfir berbeda dalam ibadah.
Jadi, apa yang sebenarnya dipersoalkan? Saya menduga, inti persoalan sebenarnya terletak pada penggunaan yang dianggap keliru. Bukankah mereka yang anti lampu sorot juga mematikan lampu pada saat penyalaan lilin di momen Natal? Bukankah mereka juga tidak berkeberatan dengan hiasan lampu Natal di panggung? Bukankah mereka juga menggunakan permainan lampu di ornamen salib, plafon, atau dinding gereja sebagai penambah keindahan arsitektur?
Dengan asumsi di atas, marilah kita mulai meneliti setiap poin yang menyebabkan pro dan kontra. Pertama, suasana ibadah yang seperti diskotek. Apakah suasana diskotek boleh dibawa ke dalam ibadah? Jelas tidak! Esensi ibadah jelas sangat berbeda dengan diskotek.
Walaupun demikian, poin ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak semua penggunaan lampu sorot. Penggunaan lampu sorot di gereja-gereja tertentu sangat berbeda dengan suasana di diskotek. Mereka menggunakan lampu-lampu sorot dengan ketrampilan seni yang tinggi sehingga mampu menyediakan suasana ibadah yang sesuai dengan lirik lagu maupun tema khotbah. Lampu-lampu tidak asal menyala dan bergerak dengan liar. Mereka memaksimalkan lampu untuk menolong jemaat lebih bisa menangkap mood dan lirik sebuah lagu.
Bersambung………