Di kalangan orang Kristen penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan sudah bukan hal yang baru lagi. Sebagian besar sudah memanfaatkan alat tersebut. Walaupun demikian, hanya sedikit yang sungguh-sungguh menggumulkan isu ini secara theologis. Apakah penggunaan alat kontrasepsi benar-benar tidak melanggar ajaran kekristenan?
Isu ini terbilang cukup kompleks. Perubahan sikap gereja, baik Protestan maupun Katholik, terhadap isu sejak paruh pertama abad ke-20 menyiratkan bahwa isu ini tidak semudah yang dipikirkan banyak orang. Dulu hampir semua gereja menolak pencegahan kehamilan, namun sekarang situasi tampaknya berbalik.
Kerumitan ini disebabkan oleh beragam faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mencapai sebuah kesimpulan. Faktor pertama berkaitan dengan seks dan prokreasi (kelahiran). Apakah memisahkan seks dari prokreasi dapat dibenarkan? Faktor kedua berkaitan dengan konsep permulaan kehidupan dan jenis alat kontrasepsi yang digunakan. Apakah sebuah kehidupan dimulai pada saat sperma dan ovum bertemu (terjadi pembuahan) atau pada saat hasil pembuahan itu sudah menempel di rahim? Jawaban terhadap dua pertanyaan ini akan menentukan sikap seseorang terhadap isu penggunaan alat kontrasepsi.
Seks dan prokreasi
Alkitab sejak awal sudah mengajarkan secara eksplisit tentang keterkaitan antara seks dan prokreasi. Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27). Ayat selanjutnya langsung mengungkapkan perintah Allah kepada manusia untuk berkembang biak, bertambah banyak, memenuhi bumi, menaklukkan, dan menguasainya (Kejadian 1:28). Ayat ini bukan hanya sebuah perintah, melainkan sebuah berkat juga (ayat 28 “Allah memberkati mereka, dan berfirman kepada mereka”). Tidak terelakkan, seks dan prokreasi memang berhubungan erat.
Persoalannya, apakah seks selalu dikaitkan dengan prokreasi? Apakah aktivitas seksual yang tidak dimaksudkan untuk atau tidak berujung pada kehamilan merupakan dosa?
Sebagian orang menganggap pencegahan kehamilan, tidak peduli jenis alat yang digunakan, merupakan sebuah dosa. Mereka meyakini bahwa seks dimaksudkan untuk rekreasi (kenikmatan) dan prokreasi (kehamilan). Menceraikan seks dari prokreasi adalah pelanggaran terhadap ajaran Alkitab.
Mereka yang berada di posisi ini mengajukan beberapa argumen (misalnya Taylor Marshall, The Catholic Perspective on Paul, 180-86). Pertama, pencegahan kehamilan dipandang sebagai tindakan yang melawan alam. Organ-organ seksual, baik alat kelamin maupun alat reproduksi, diciptakan untuk memungkinkan terjadinya kehamilan. Segala tindakan yang menghambat atau mencegah hal itu merupakan perlawanan terhadap alam.
Kedua, Alkitab secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak adalah berkat, bukan kutukan. Pemazmur melihat anak-anak sebagai milik pusaka Allah dan kebanggaan keluarga (Mazmur 127:3-5). Paulus bahkan memandang mulia tugas perempuan dalam melahirkan anak. Ia mengatakan: “Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan” (1 Timotius 2:15).
Ketiga, pencegahan kehamilan dinilai bersalah oleh Alkitab. Salah satu contoh yang terkenal adalah Onan (Kejadian 38:6-10). Ia tidak mau memberikan keturunan kepada mantan isteri kakaknya. Setiap kali melakukan hubungan seksual, Onan cepat-cepat menarik alat kelaminnya sehingga spermanya tertumpah ke luar (coitus interruptus). TUHAN memandang tindakan ini sebagai dosa, lalu membunuh Onan.
Keempat, penggunaan alat kontrasepsi kuno dikecam oleh Alkitab. Salah satu perbuatan daging di Galatia 5:19-20 yang disebutkan Paulus adalah “sihir” (pharmakeia). Dari kata ini kita mendapatkan istilah modern “farmasi,” yang berhubungan dengan obat-obatan. Dosa pharmakeia ini dianggap sangat berhubungan erat dengan dosa seksual dan penyembahan berhala (lihat urutan pemunculan di Galatia 5:19-20). Maksudnya, para pelacur bakti di kuil-kuil berhala seringkali menyediakan seks bebas sebagai bagian dari ritual. Nah, untuk menghindari kehamilan, para perempuan tersebut menggunakan jasa para tukang sihir (tabib alternatif) yang menggunakan mantera atau benda-benda tertentu sebagai alat pencegahan kehamilan atau pengguguran kandungan. Dosa yang sama juga disinggung di Wahyu 9:21. Dosa ini juga dikaitkan dengan dosa seksual. Arti pharmakeia seperti ini juga diteguhkan dalam tulisan kuno, baik dari kalangan kekristenan maupun literatur umum.
Kelima, para pemimpin Kristen di abad permulaan menentang penggunaan alat kontrasepsi. John Crysostom, Jerome, dan Agustinus adalah beberapa bapa gereja ternama yang mengambil sikap negatif terhadap pencegahan kehamilan. Bukan tanpa alasan apabila mereka menolak praktik ini.
Keenam, keberadaan alat kontrasepsi telah memicu beragam dosa seksual. Kehamilan akibat seks bebas dan penyebaran penyakit kelamin dapat dicegah melalui alat kontrasepsi tertentu, sehingga membuka ruang yang lebih lebar untuk kehancuran seksual masyarakat modern. Penggunaan alat kontrasepsi juga berpotensi memberikan dukungan bahwa seks bisa dinikmati tanpa prokreasi, sehingga dapat mengarah pada segala bentuk pemuasan seksual seperti masturbasi (onani) dan homoseksualitas.
Apakah semua argumen di atas sudah memadai untuk menolak segala bentuk pencegahan kehamilan? Penyelidikan yang lebih teliti dan mendalam tampaknya mengarah pada kesimpulan yang sedikit berbeda.
Sehubungan dengan argumen #1 tentang pelanggaran terhadap alam, kita perlu mengkaji ulang apa yang dimaksud dengan “alamiah”. Saya setuju bahwa organ kelamin dan reproduksi manusia memang berkaitan erat. Organ-organ itu diciptakan secara berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk memungkinkan terjadinya kehamilan.
Walaupun demikian, pengertian “alamiah” tidak sesederhana itu. Saya sendiri sejak dahulu memilih untuk mendefinisikan “alamiah” dalam arti “sesuai dengan tujuan penciptaan.” Jika pengertian ini yang dianut, kita perlu mendekati Kejadian 1-2 sekali lagi untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar dan tepat. Dalam konteks penciptaan, seks maupun prokreasi bukanlah tujuan. Keduanya sama-sama instrumen untuk merealisasikan rencana Allah, yaitu menguasai bumi bagi kemuliaan-Nya (Kejadian 1:26 “supaya manusia berkuasa….”). Seks memungkin terjadinya prokreasi.
Prokreasi memungkinkan pertambahan dan persebaran umat manusia ke seluruh bumi, sehingga mereka pada akhirnya dapat menguasai bumi (Kejadian 1:28). Penguasaan bumi bagi kemuliaan Allah merupakan tujuan tertinggi bagi umat manusia dalam kisah penciptaan.
Poin di atas membawa kita pada pemikiran selanjutnya. Jika penguasaan bumi merupakan tujuan, segala sesuatu yang menghambat hal itu perlu untuk ditentang dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi tujuan itu perlu untuk didukung. Nah, bagaimana dengan perkembangbiakan manusia? Apakah pada dirinya sendiri hal ini selalu baik? Apakah jumlah keturunan yang banyak pada dirinya sendiri selalu lebih baik? Tentu saja tidak. Jika suami-isteri Kristen memiliki kapasitas untuk membesarkan anak-anak dengan baik, pasangan itu seyogyanya memiliki banyak keturunan. Anak-anak mereka akan memiliki dampak yang besar bagi dunia. Namun, apabila suami-isteri tidak mampu membesarkan anak-anak dengan baik dalam jumlah yang banyak, mereka sebaiknya menggunakan akal budi Kristiani mereka agar mengetahui kehendak Allah sehubungan dengan jumlah anak yang perlu mereka miliki dan asuh (Roma 12:2).
Apabila seks harus dikaitkan dengan prokreasi, seperti pandangan mereka yang menolak alat kontrasepsi, maka hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang mandul atau lanjut usia juga termasuk dosa. Bukankah hubungan seks dalam kasus-kasus semacam ini juga hanya ditujukan untuk kepuasan seksual tanpa berujung pada kehamilan? Tentu saja saya yakin bahwa para penentang alat kontrasepsi tidak akan berani menilai kasus-kasus ini sebagai dosa. Dengan demikian mereka tampaknya perlu memikirkan ulang argumen mereka.
Sehubungan dengan argumen #2 tentang anak-anak sebagai berkat, kita sebaiknya melihat itu secara lebih cermat. Tidak semua kelahiran adalah sesuatu yang positif. Tentang orang yang akan menyerahkan Dia ke penyaliban, misalnya, Tuhan Yesus sendiri pernah berkata: “Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Matius 26:24b//Markus 14:21b). Jadi, yang lebih penting bukan hanya kelahiran, melainkan bagaimana kualitas kehidupan orang itu.
Implikasi poin ini bagi diskusi kita cukup jelas. Adalah lebih baik untuk memiliki jumlah anak yang sedikit tetapi mereka berdampak positif daripada jumlah yang banyak tetapi hidup mereka tidak berkualitas. Tentu saja yang paling baik adalah anak dalam jumlah banyak dan kualitas kehidupan yang baik. Persoalannya, tidak semua orang memiliki kapasitas ke arah sana.
Argumen #3 tentang kematian Onan sebenarnya tidak terlalu relevan bagi diskusi kita sekarang. Alkitab secara eksplisit menyoroti keengganan Onan untuk memberikan keturunan bagi kakaknya yang sudah meninggal. Keengganan itu menunjukkan pelanggarannya terhadap Hukum Levirat yang sudah ditetapkan oleh TUHAN sendiri (Ulangan 25:5-10). Dalam hukum ini ditetapkan bahwa jika seorang suami meninggal dunia tanpa memiliki keturunan, maka saudara laki-lakinya harus melakukan perkawinan ipar. Anak yang dilahirkan nanti akan diperhitungkan sebagai anak almarhum. Jadi, ia dihukum oleh TUHAN bukan karena membuang spermanya di luar vagina Tamar. TUHAN lebih melihat motivasi yang buruk di balik tindakan itu. Onan tidak mau meninggalkan nama dan kehormatan bagi almarhum kakaknya.
Beberapa orang yang menentang alat kontrasepsi berusaha menolak penafsiran di atas. Mereka beralasan bahwa ketidaktaatan terhadap Hukum Levirat tidak membawa konsekuensi hukuman mati. Orang yang menolak hanya akan mendapat nama buruk dalam masyarakat (Ulangan 25:10).
Sanggahan ini tampaknya tidak terlalu kuat. Yang dibicarakan di Ulangan 25:10 adalah orang yang tidak mau mengambil saudara ipar sebagai isteri, sedangkan dalam kasus Onan tidak demikian. Onan mau mengawini istri kakaknya, namun ia tidak mau memberikan keturunan kepada kakaknya. Dengan kata lain, Onan hanya mau enaknya saja. Ia sangat egois. Hal ini dipandang jahat di mata Tuhan. Jadi, into dosa Onan dalam kisah tersebut bukanlah pembuangan sperma (walaupun masturbasi atau onani tetap merupakan sebuah dosa).
Sebagian penentang alat kontrasepsi mungkin juga akan mempertanyakan nasib Yehuda. Yehuda juga enggan memenuhi tuntutan Hukum Levirat dengan cara tidak memberikan anak ketiganya kepada Tamar (Kejadian 38:11), tetapi TUHAN tidak menghukum mati Yehuda. Hal ini diyakini sebagai bukti bahwa inti dosa Onan memang pencegahan kehamilan melalui onani, bukan pelanggaran terhadap Hukum Levirat.
Terhadap cara berpikir seperti ini kita perlu mengingat bahwa ketidaktaatan Yehuda dan Tamar terhadap Hukum Levirat agak berbeda. Onan mengambil keuntungan dari Tamar tetapi tidak mau memberikan apa yang menjadi hak kakaknya atau Tamar. Yehuda tidak mengambil keuntungan apapun dari Tamar.
Lagipula, cara kerja Allah tidaklah selalu mekanis (A pasti menghasilkan B). TUHAN itu penuh kejutan dan kemurahan. Ada anugerah Allah yang tidak terbatasi oleh pola mekanis seperti itu. Ada rencana Allah yang hendak direalisasikan melalui Yehuda. Alkitab justru ingin menunjukkan bahwa anugerah Allah mengalahkan kelemahan manusia. Anugerah Allah merupakan alasan mengapa Ia mau memakai seorang yang begitu lemah seperti Yehuda.
Di antara semua argumen untuk menentang pencegahan kehamilan, studi semantik tentang kata pharmakeia mungkin yang terlihat paling teknis. Kata ini memang kerap kali muncul dalam kaitan dengan ramuan kuno, sihir, dan penyembahan berhala. Fungsi dari ramuan itu juga cukup beragam: dari racun, santet, sampai obat. Di samping itu, kedekatan antara perzinahan dan penyembahan berhala juga tidak terbantahkan. Beberapa penyembahan kuno di kuil-kuil tertentu memang menyediakan para pelacur bakti untuk berhubungan seksual sebagai bagian dari ibadah.
Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa kata pharmakeia memiliki jangkauan arti yang begitu luas. Pemunculan kata ini di berbagai tulisan kuno menunjukkan bahwa pharmakeia tidak selalu berhubungan dengan dosa seksual. Kata ini seringkali muncul dalam konteks sihir atau ilmu hitam, namun tidak selalu terkait dengan seks atau kehamilan. Nah, untuk mengetahui arti mana yang sedang dimaksud oleh seorang penulis, kita perlu memperhatikan konteks pemunculan kata tersebut.
Dalam Galatia 5:19-20 dan Wahyu 9:21 kata pharmakeia (LAI:TB “sihir”) memang diletakkan berdekatan dengan penyembahan berhala dan dosa seksual lainnya. Namun, kita perlu mengingat bahwa dalam dua teks tadi kata pharmakeia muncul dalam sebuah daftar dosa. Sebagai sebuah daftar, kita tidak bisa memastikan jenis keterkaitan yang ada antar setiap kata dalam daftar tersebut. Sebagai contoh, pharmakeia juga diletakkan bersebelahan dengan perseteruan (Gal 5:19) dan pembunuhan (Why 9:21), tetapi tidak ada alasan yang pasti mengapa keduanya disandingkan seperti ini.
Bahkan sekalipun kita menganggap setiap pemunculan pharmakeia selalu berhubungan dengan penyembahan berhala atau dosa seksual, kita tetap tidak bisa memastikan apakah hal itu pasti melibatkan pencegahan kehamilan. Arti kata ini terlalu umum. Obat atau ramuan yang diberikan tidak hanya untuk menggugurkan kandungan. Diperlukan petunjuk yang eksplisit dari konteks untuk mengetahui arti mana yang sedang dimaksud. Sayangnya, konteks Galatia 6:19-20 maupun Wahyu 9:21 terbatas dalam menyediakan petunjuk seperti itu. Itulah sebabnya hampir semua penerjemah Alkitab memilih untuk menerjemahkan pharmakeia dengan “sihir,” tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.
Sehubungan dengan argumen #5 tentang pandangan para pemimpin gereja di abad permulaan, kita perlu mengkaji ulang kutipan-kutipan yang ada. Secara umum memang ada kecenderungan untuk menentang pencegahan kehamilan. Namun, kita perlu mempertimbangkan bahwa jumlah kutipan dari bapa-bapa gereja terbilang sangat sedikit (Robert Jütte, Contraception: A History, 23-4). Dari data yang sangat terbatas ini kita tidak boleh berpikir seolah-olah kontrasepsi dilarang secara luas di berbagai gereja. Diperlukan data yang lebih banyak untuk mengasumsi hal semacam itu.
Hal lain yang perlu dipikirkan juga adalah asumsi theologis di balik kecaman para bapa gereja terhadap alat kontrasepsi. Mereka berpandangan bahwa seks hanyalah untuk reproduksi. Aktivitas seksual yang tidak diarahkan untuk tujuan ini dipandang sebagai sebuah dosa. Dalam pembahasan sebelumnya saya sudah menerangkan kelemahan dari seperti ini. Seks dan reproduksi memang berkaitan erat, tetapi keduanya sama-sama bukan tujuan. Keduanya adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu penguasaan bumi untuk kemuliaan Allah.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, saya lebih memilih untuk melihat pandangan bapa-bapa gereja sebagai sebuah alternatif. Tulisan-tulisan mereka tidak memiliki otoritas yang mengikat, karena kurang disertai dengan penafsiran Alkitab yang memadai. Kita boleh mengadopsi maupun menolak pandangan mereka. Yang diperlukan di sini adalah akal budi Kristiani.
Tentang argumen terakhir sehubungan dengan penyalahgunaan alat kontrasepsi dalam seks bebas, kita harus membedakan antara esensi dan ekses. Esensi berarti sesuatu yang mendasar dan pada dirinya sendiri. Ekses berarti hal-hal berlebihan. Yang perlu ditandaskan terlebih dahulu adalah esensi. Apakah alat kontrasepsi pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang negatif? Apakah semua jenis penggunaan alat ini adalah keliru? Jika jawaban terhadap dua pertanyaan ini adalah “tidak,” maka fokus perdebatan tampaknya telah digeser dari esensi menjadi ekses.
Segala sesuatu yang berlebihan memang buruk. Ini bahkan terjadi pada hal yang baik sekalipun. Penyalahgunaan alat kontrasepsi untuk seks bebas tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang alatnya. Sama seperti pembunuhan dengan menggunakan pisau tidak akan digunaan sebagai alasan untuk melarang penggunaan pisau secara umum, demikian pula dalam kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi untuk seks bebas.
Untuk menghindari kesalahpahaman, saya perlu menegaskan bahwa semua penjelasan di atas tidak dimaksudkan sebagai pelarangan untuk memiliki banyak anak. Bagi kita yang diberi kapasitas untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengoptimalkannya. Mengapa memilih jumlah anak yang sedikit apabila kita memang mampu merawat dan mendidik lebih banyak? Saya juga tidak mendukung kecenderungan orang-orang modern yang tidak mau memiliki anak hanya sekadar untuk menghindari kerepotan. Mereka ingin menikmati hidup dengan pasangan tanpa diganggu oleh kehadiran anak-anak. Mentalitas semacam ini adalah egois dan tidak Kristiani. Kita harus memuliakan Allah dengan segala yang kita miliki atau yang kita lakukan. Jika kita memang diberi kapasitas untuk memiliki dan membesarkan anak bagi kemuliaan Allah, menghindari hal itu merupakan sebuah dosa.
Alat kontrasepsi yang aman
Dalam bagian sebelumnya kita sudah mengupas bahwa pencegahan kehamilan pada dirinya sendiri tidak keliru, sejauh motivasi di balik tindakan tersebut dapat dibenarkan. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa semua jenis alat kontrasepsi boleh digunakan tanpa pemikiran yang matang. Kemajuan teknologi menawarkan beragam alat kontrasepsi. Beberapa di antaranya secara etis dipersoalkan karena dianggap tergolong pengguguran janin.
Inti persoalan terletak pada dua hal yang saling berhubungan. Pertama, kapan sebuah kehidupan dikatakan sudah ada? Apakah pertemuan sel telur dan sperma merupakan titik awal kehidupan? Kedua, apakah suatu alat kontrasepsi bersifat mencegah pembuahan sel telur oleh sperma atau merusak pertemuan yang mungkin sudah terjadi?
Sehubungan dengan poin ke-1, Alkitab memang tidak memberikan petunjuk yang detil, konkrit, dan eksplisit. Alkitab hanya mengajarkan bahwa bayi di dalam kandungan merupakan “manusia” (Mzm 139:13-16). Allah telah menjalin relasi dengan bayi di dalam kandungan (Kej 25:22-23; Mzm 22:11; Yes 46:3; Yer 1:5; Gal 1:15). Namun, Alkitab tidak memberi keterangan detil tentang fase tertentu di dalam kandungan yang merupakan permulaan suatu kehidupan. Teknologi zaman dahulu tidak sehebat sekarang yang mampu memonitor setiap detil perkembangan janin.
Di tengah keterbatasan data yang ada, kita perlu memaksimalkan akal budi Kristiani kita dalam menimbang beragam usulan. Sebagian orang meyakini bahwa kehidupan sudah dimulai sejak sel telur dibuahi oleh sperma. Yang lain menolak gagasan ini, karena pada pertemuan awal itu masing-masing sel masih mempertahankan kromosom sendiri-sendiri. Peleburan kromosom baru terjadi pada saat janin itu menempel pada dinding rahim. Sebagian lagi mengusulkan masa antara 112-175 hari, karena pada masa ini seluruh bagian tubuh sudah terbentuk.
Menentukan pilihan mana yang paling tepat merupakan tugas yang sangat rumit. Definisi “permulaan kehidupan” perlu benar-benar dirumuskan, baik dari sisi filosofis maupun medis. Persoalannya, keterkaitan antara aspek medis dan filosofis tidak selalu jelas. Sejauh mana penemuan medis bermanfaat bagi penilaian moral secara filosofis?
Di tengah kerancuan yang ada, saya secara pribadi memandang bijaksana untuk tidak terpaku pada fase detil tertentu. Adalah lebih aman apabila kita menjadikan pertemuan sel telur dan sperma sebagai permulaan kehidupan, terlepas dari bagaimana kondisi janin itu selanjutnya. Seandainya kehidupan ternyata dimulai beberapa saat sesudah pertemuan itu, kita pun juga tidak akan dianggap bersalah apabila mempercayai fase yang lebih awal sebagai permulaan kehidupan. Kasusnya akan berbeda apabila kita mengambil posisi sebaliknya.
Dengan berpedoman pada poin ini, beberapa cara atau alat kontrasepsi tergolong “pasti tidak bermasalah,” misalnya berpantang bersetubuh untuk periode tertentu, sistem kalender (hanya berhubungan seks pada waktu isteri tidak dalam kondisi subur), coitus interruptus (menarik penis keluar dari vagina pada saat hendak ejakulasi), atau kondom. Semua cara ini hanya bersifat mencegah pembuahan telur oleh sperma. Dengan pedoman yang sama pula, beberapa alat kontrasepsi “pasti bermasalah,” misalnya operasi pengguguran kandungan, aborsi kimiawi (meminum cairan tertentu) atau pil tertentu yang tergolong abortif (misalnya RU-486). Semua alat ini dimaksudkan untuk menggagalkan pertumbuhan janin yang sudah terjadi.
Perhatian serius perlu diberikan pada beberapa teknologi yang memakai langkah antisipasi jamak. Maksudnya, beberapa alat atau obat memang ditujukan untuk mencegah pertemuan sperma dan ovum, tetapi apabila langkah ini tanpa sengaja terlewati, maka alat atau obat yang sama masih bisa menghancurkan atau mematikan pembuahan yang sudah terjadi itu. Beberapa teknik sterilisasi atau IUD termasuk dalam kategori ini. Begitu pula dengan beberapa pil yang beredar di pasaran. Alat kontrasepsi yang masuk dalam kategori di atas sebaiknya dihindari.
Dalam hal ini adalah lebih bijaksana apabila kita secara serius mencari tahu cara kerja pil, suntikan, atau alat tertentu secara detil, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Ada begitu banyak pilihan di sana. Di kemudian hari jumlah alternatif ini mungkin akan meningkat dengan tajam. Walaupun demikian, prinsip Kristiani terhadap hal tersebut tetap tidak berubah. Soli Deo Gloria.