Persoalan seputar pemasaran gereja (church marketing) akhir-akhir ini sering diungkit ke permukaan. Pro dan kontra bermunculan. Sebagian menganggap pemasaran gereja sebagai strategi efektif untuk penjangkauan yang lebih relevan dan kontekstual. Sebagian lagi berskap sinis dan menilai strategi ini tidak cocok dengan hakekat gereja.
Untuk memahami isu ini kita perlu membicarakan tentang definisi. Istilah ‘pemasaran’ memiliki jangkauan arti yang luas dan bias. Kata ini bisa mengandung makna berlainan bagi orang yang berbeda. Jika ‘pemasaran’ dipahami sebagai sebuah proses untuk mengkomunikasikan siapa kita (who we are), apa yang kita lakukan (what we do), dan mengapa kita melakukannya (why we do it), maka pada dirinya sendiri pemasaran tidak selalu berkonotasi negatif. Semua tergantung pada bagaimana kita melakukan pemasaran.
Dalam konteks bergereja, pemasaran harus dilakukan dengan kesadaran bahwa sebuah gereja tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan dalam kerajaan Allah yang sedemikian besar. Setiap gereja perlu saling mengamati dan mengisi kekosongan yang belum dilakukan oleh gereja lain. Para rasul pun berusaha memenuhi kebutuhan spesifik dari kelompok tertentu. Paulus dan Barnabas dikhususkan untuk orang-orang non-Yahudi, sedangkan Petrus, Yohanes, dan Yakobus untuk orang-orang Yahudi (Gal 2:9). Strategi kontekstualisasi – memberitakan injil sesuai dengan karakteristik pendengar (1 Kor 9:19-22) – yang dilakukan oleh para rasul sebenarnya tidak berbeda dengan salah satu aspek dalam pemasaran: kita ingin mengadakan pendekatan secara spesifik kepada kelompok masyarakat tertentu supaya pelayanan kita lebih persuasif dan efektif. Permintaan Paulus agar Timotius yang berdarah Yunani-Yahudi untuk menyunatkan dirinya juga merupakan langkah jitu untuk mengurangi atau mencegah penolakan dari kelompok Yahudi (Kis 16:3). Ini adalah sebuah cara untuk menjangkau kelompok orang tertentu pula. Dalam taraf tertentu, hal ini dapat dikategorikan sebagai pemasaran.
Dasar Alkitab di atas tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan semua jenis pemasaran gereja. Jika pemasaran itu dilakukan secara salah, maka pemasaran itu menjadi keliru juga. Sebagai contoh, jika sebuah gereja menganggap pemasaran sebagai penentu perkembangan gerejanya, maka pemikiran semacam ini telah mengabaikan kedaulatan dan anugerah Allah dalam pertumbuhan gereja. Jika pemasaran dilakukan untuk memuaskan orang dan bukan demi efektivitas injil, maka pemasaran itu telah diselewengkan. Jika sebuah gereja mengkomunikasikan pesan-pesan pemasaran yang tidak sesuai dengan keadaan gereja itu, maka hal itu adalah kebohongan publik. Jika sebuah gereja mengabaikan aspek-aspek kerohanian lain yang berada di luar konsep pemasaran mereka, maka gereja itu juga bersalah. Prioritas bukanlah eksklusivitas.
GKRI Exodus pun melakukan pemasaran gereja. Sebelum menerima tawaran untuk menjadi gembala sidang di GKRI Exodus pada pertengahan tahun 2006, saya menawarkan CTM (Care, Teaching, Mission) sebagai slogan gereja. Ini adalah bentuk pemasaran. Bukan berarti aspek-aspek lain di luar CTM adalah tidak penting. Sebagian gereja sudah sukses memenuhi aspek-aspek tersebut. Sesuai dengan kapasitas yang Tuhan berikan kepada GKRI Exodus, kita ingin dikenal sebagai gereja yang memperhatikan, mengajar, dan mengutus. Ini adalah fokus pelayanan kita. Melalui CTM dan penjabarannya dalam 25 tahun diharapkan gereja kita dapat menjangkau orang-orang Kristen tertentu yang diberi beban yang sama oleh Tuhan. Siapa saja yang memiliki beban khusus dalam hal perhatian, pengajaran, dan pengutusan, didorong untuk memperhatikan GKRI Exodus sebagai tempat bertumbuh dan melayani.
Pendeknya, pemasaran gereja dapat dibenarkan apabila dilakukan dengan konsep pemikiran, cara, dan tujuan yang benar. Bukan hanya tidak salah, pemasaran justru menambahkan efektivitas pelayanan sebuah gereja. Semua ini mengarah pada satu tujuan: kemuliaan Allah di muka bumi.