Apakah Orang-orang Injili Harus Menerima Teori Bumi Muda?

Posted on 17/09/2017 | In QnA | Leave a comment

Apakah bumi berusia muda (diciptakan sekitar 6000 tahun yang lalu) atau miliaran tahun? Perdebatan ini terus berlangsung dengan hangat sampai sekarang. Ada beragam aspek yang terkait. Ada berbagai kerancuan yang perlu dijernihkan.

Artikel ini tidak bertujuan untuk memberi jawaban tentang usia bumi. Pertanyaan yang diangkat sedikit berbeda. Bukan “Berapakah usia bumi?”, melainkan “Apakah orang-orang injili harus menerima Teori Bumi Muda?”

Sebelum melihat jawaban dari pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui mengapa pertanyaan seperti ini perlu untuk diungkit ke permukaan. Seperti sudah disinggung di awal, perdebatan tentang usia bumi melibatkan banyak aspek. Salah satunya adalah hasil penelitian ilmu alam (sains). Para ilmuwan meyakini bahwa bumi ini sudah berusia miliaran tahun. Lebih jauh lagi, sebagian dari para ilmuwan ini memegang teori evolusi yang bertabrakan dengan ajaran Alkitab. Beberapa ahli yang mengadopsi Teori Bumi Muda berpendapat bahwa orang-orang injili tidak seharusnya menerima Teori Bumi Tua, yang mereka identikkan dengan menerima teori evolusi. Mereka juga berpendapat bahwa standar kebenaran adalah Alkitab, bukan hasil penelitian. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan memaparkan penelitian ilmiah yang mendukung Teori Bumi Muda.

Terlepas dari teori mana yang benar tentang usia bumi yang sesungguhnya, tidak ada keharusan bagi orang-orang injili untuk memegang Teori Bumi Muda. Mereka yang menolak teori ini tidak selalu penganut teori evolusi. Mereka juga tidak menyandarkan pandangan pada hasil sains belaka. Standar kebenaran mereka tetaplah Alkitab saja. Justru karena komitmen terhadap Alkitab inilah mereka memilih untuk tidak bersikap dogmatis sehubungan dengan usia bumi. Alkitab memang tidak memberi petunjuk yang jelas dan transparan. Karena itu mereka tidak mau melampaui apa yang dicatat oleh Alkitab.

Jika kita mendasarkan pandangan pada kisah penciptaan saja, kita akan membuka diri pada opsi bumi muda atau bumi tua. Yang pertama, seluruh kisah penciptaan memiliki tujuan theologis yang jauh lebih kental daripada tujuan ilmiah. Kejadian 1 ditulis bukan sebagai buku pegangan kosmologi. Tujuan utamanya bukan untuk menjelaskan berapa lama Allah menciptakan alam semesta. Kejadian 1 mengandung nuansa polemis terhadap agama-agama politheistik kuno yang menyembah banyak hal, padahal menurut Kejadian 1 semua itu hanyalah ciptaan, bukan Allah. Jikalau durasi penciptaan memang penting, Allah pasti akan menyatakan itu secara lebih jelas.

Hal kedua yang perlu dipikirkan adalah arti kata “hari” (yôm). Seperti yang pernah diulas dalam artikel-artikel sebelumnya, kata ini tidak boleh dibatasi artinya pada “24 jam”. Penggunaan yôm di kisah penciptaan maupun seluruh Alkitab menunjukkan bahwa kata ini bisa merujuk pada durasi waktu yang berbeda-beda. Sebagai contoh, kata ini muncul di setiap fase penciptaan (hari ke-1, ke-2, dsb.), namun kata yang sama digunakan sebagai rangkuman atas seluruh kisah penciptaan. Kejadian 2:4a “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan”. Kata “waktu” di sini adalah yôm. Jadi, makna yôm di pasal 1 dan 2 berbeda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa arti kata yôm di seluruh pasal 1 juga berlainan. Masing-masing ciptaan mungkin saja membutuhkan waktu yang berbeda-beda.

Yang terakhir, kita perlu memperhitungkan bahwa Allah mungkin menciptakan alam semesta tidak secara linear. Maksudnya, Dia bisa saja menciptakan sebuah dunia yang langsung tua (menurut kacamata sains) demi keberlangsungan alam yang lebih baik. Tidak diperlukan waktu miliaran tahun untuk menciptakan dunia seperti sekarang. Sebagai contoh, menurut sains, zat fotons pada matahari terbentuk selama puluhan ribu tahun sebelum akhirnya memancar ke bumi. Dalam penciptaan, proses linear seperti ini belum tentu diikuti oleh Allah. Jika Dia mampu menciptakan sesuatu dari ketidakadaan (creatio ex nihilo), Dia juga pasti mampu menciptakan matahari dengan sinarnya yang langsung sampai ke bumi. Proses-proses yang dipandang secara linear bisa saja terjadi secara simultan.

Sebagai kesimpulan, orang-orang injili boleh menerima atau menolak Teori Bumi Muda. Bersikap skeptis terhadap teori ini pun sah-sah saja untuk dilakukan. Yang paling penting, sikap tersebut bukan didasarkan pada keyakinan terhadap teori evolusi. Sikap ini juga bukan melulu karena mengikuti pendapat para ilmuwan. Keengganan untuk menerima Teori Bumi Muda secara dogmatis sebaiknya lebih didorong oleh keterbatasan informasi di dalam Alkitab. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko