Apakah Orang Kristen Wajib Memberikan Buah Sulung? (Bagian 1)

Posted on 09/02/2020 | In QnA | Leave a comment

Apakah orang Kristen harus memberikan seluruh gaji atau penghasilan pertamanya kepada gereja? Isu ini semakin marak dibicarakan karena sebagian gereja mendorong jemaatnya memberikan buah sulung. Iming-iming yang ditawarkan tentu saja kelimpahan. Ayat favorit mereka adalah Amsal 3:9-10 “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya”.

Berdasarkan Imamat 23:9-14 dan Ulangan 26:1-11, ada lima alasan mengapa orang Kristen tidak lagi terikat dengan praktek pemberian buah sulung & mengapa menjadikan buah sulung sebagai umpan berkat adalah tidak Alkitabiah. Pertama, perintah ini lebih ke arah ucapan syukur atas penyertaan Allah (dari Mesir sampai Kanaan) daripada sarana mendapatkan berkat Allah (Im. 23:10; Ul. 26:1, 5-10). Sejak awal pemberian peraturan ini, tidak ada ide tentang berkat yang melimpah sebagai balasan dari Allah. Jadi, teks di Amsal 3:9-10 sebaiknya dipahami bukan sebagai pola yang umum. Mungkin itu hanyalah sebuah janji khusus pada situasi yang khusus pula. Lagipula, sesuai dengan jenis sastra Kitab Amsal yang memuat banyak observasi kehidupan, apa yang tertulis di sana belum tentu adalah sebuah janji ilahi, melainkan observasi atas apa yang biasanya terjadi.

Kedua, yang dipersembahkan juga bukan seluruh hasil panen. Semua teks tentang buah sulung tidak ada yang mengindikasikan bahwa seluruh panen sulung wajib diberikan. Sebaliknya, Alkitab secara eksplisit menggunakan istilah seberkas atau sebakul (Im. 23:10-11; Ul. 26:2). Ketidakjelasan ini juga menimbulkan perdebatan di kalangan para rabi Yahudi. Ada yang mengusulkan 1/60 dari hasil panen, itupun hanya untuk jenis tanaman tertentu. Beberapa hasil panen yang lain dikecualikan dari praktek pemberian buah sulung.

Ketiga, pemberian buah sulung dihubungkan dengan kurban bakaran dan persembahan-persembahan lain (Im. 23:12-14). Ada kurban bakaran, sajian, api-apian, dan curahan di hadapan TUHAN. Jika persembahan buah sulung tetap diwajibkan, mengapa semua kurban yang lain ini tidak diwajibkan lagi? Mengapa penebusan Kristus hanya menggenapi semua persembahan, kecuali persembahan buah sulung? Jadi, kalau semua kurban lain sudah digenapi di dalam Kristus, tidak ada alasan mengapa buah sulung dipertahankan.

Keempat, jika konsisten dipraktekkan, perintah untuk memberikan buah sulung berlaku setiap tahun atau setiap panen (Neh. 10:35; Ams. 3:9-10). Praktek ini tidak hanya terjadi sekali pada waktu bangsa Israel menduduki tanah Kanaan dan mulai menikmati hasi dari tanah itu. Ini dilakukan secara terus-menerus. Pertanyaannya, jika jenis pekerjaan seseorang tidak berkaitan dengan pertanian, bagaimana pengertian “sulung” diterapkan? Jika itu diberikan terus-menerus, seberapa sering seseorang harus memersembahkan gaji atau penghasilannya? Konsistensi penerapan dalam hal ini tentu saja membingungkan dan sulit dipertahankan.  

Terakhir, yang menikmati buah sulung bukan hanya para imam, tetapi juga kaum Lewi dan orang-orang asing (Ul. 26:11). Praktek memberikan buah sulung kepada gereja dan hanya pendeta yang menikmati hasilnya merupakan kebiasaan yang tidak Alkitabiah. Jemaat yang memberikan sebenarnya berhak untuk mengawasi penggunaan buah sulung tersebut. Tujuannya untuk memastikan bahwa para pelayan dan golongan marjinal yang membutuhkan juga menikmati hasilnya.

Walaupun praktek ini tidak mengikat (secara kemasan), tetapi konsep teologis (esensi) tetap dipertahankan. Kita harus selalu mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Salah satu bentuk ucapan syukur adalah memberikan persembahan kepada Tuhan. Jemaat mula-mula memiliki kebiasaan menyisihkan penghasilan mereka setiap minggu (1Kor. 16:2). Kebiasaan ini bukan paksaan, tetapi lahir dari hati yang mengasihi dan bersyukur (2Kor. 9:6-7). Jadi, setiap orang Kristen perlu membiasakan diri untuk menyisihkan penghasilan bagi pekerjaan Tuhan dan orang lain yang membutuhkan. Semakin besar rasa syukur kita, semakin besar pemberian kita. Jadi, walaupun persembahan buah sulung tidak lagi mengikat, tetapi berbagi penghasilan untuk pekerjaan Tuhan dan orang-orang yang membutuhkan tetap harus dilakukan. Allah sudah sedemikian baik kepada kita. Dia memberikan diri-Nya bagi kita. Berlebihankah jika kita berbagi berkat-Nya untuk orang lain? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko