Bagi sebagian orang Kristen, pertanyaan ini hanya merupakan pergumulan intelektual. Mereka mengalami kesulitan untuk mengharmonisasikan peperangan (yang melibatkan pembunuhan) dengan perintah Alkitab untuk membawa damai atau larangan untuk membunuh. Bagi sebagian yang lain, pertanyaan di atas benar-benar bersifat pribadi. Mereka mungkin berprofesi sebagai tentara atau anggota keluarga mereka adalah anggota angkatan bersenjata.
Pertanyaan ini tidak baru sama sekali. Sejarah gereja mencatat sikap yang berlainan terhadap tanggung-jawab kepada negara, terutama dalam konteks peperangan. Bapa-bapa gereja di abad permulaan hampir semua melarang keterlibatan orang Kristen dalam peperangan. Kekristenan di abad pertengahan sampai zaman renaissans cenderung pada sikap sebaliknya. Kalangan Anabaptis pada zaman reformasi sangat antipati dan menarik diri dari segala hal yang berbau pemerintah. Kalangan Reformed hanya mendukung perang yang sah (just war). Bahkan bidat Saksi Yehuwah sendiri terus mengganti pandangan mereka tentang wajib militer dan batasan keterlibatan pengikut mereka dalam peperangan.
Bagaimana pandangan Alkitab tentang perang? Bolehkah orang Kristen melibatkan diri dalam peperangan? Dua pertanyaan ini tentu saja membutuhkan jawaban yang panjang. Dalam tulisan ini, kita hanya akan melihat beberapa poin dasar yang berguna dalam pengambilan respon yang tepat terhadap peperangan.
Pertama-tama kita perlu menyadari bahwa peperangan muncul akibat dosa. Pembunuhan Kain dan Habel terjadi sesudah dosa masuk ke dalam dunia. Dengan kata lain, peperangan bukanlah situasi ideal. Ini adalah situasi yang tidak terelakkan.
Berikutnya kita juga harus menandaskan bahwa Allah menghendaki kedamaian. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk hidup dalam damai dengan semua orang (Rom 12:18; Ibr 12:14). Kita bahkan harus menjadi pembawa damai (Mat 5:9). Pemulihan segala sesuatu bahkan digambarkan dengan keadaan damai dan harmonis di antara semua makhluk (Yes 11:6-8).
Walaupun demikian, kondisi di atas tidak selalu tercapai dalam dunia yang sudah rusak oleh dosa. Paulus sangat menyadari hal ini. Karena itu dalam nasihatnya ia perlu menambahkan “sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rom 12:18). Di sisi lain, peperangan kadangkala diperlukan untuk menghindari kejahatan yang lebih besar (greater evil). Sebagai contoh, bangsa Israel diperintahkan untuk membasmi seluruh penduduk Kanaan karena mereka sudah berdosa dengan luar biasa dan sedemikian lama (Kej 15:16). Secara spesifik dalam konteks peperangan, apabila sebuah ancaman yang tidak berperikemanusiaan sedang dilancarkan kepada orang-orang yang tidak bersalah, maka untuk mencegah kejahatan yang besar itu, peperangan diperbolehkan.
Inti persoalan di sini adalah keabsahan sebuah peperangan. Keabsahan ini mencakup motivasi, cara, dan tujuan. Jika sebuah peperangan didorong oleh sebuah upaya untuk membela diri dan mencegah kejahatan yang lebih besar, hal itu diperbolehkan, bahkan diperlukan. Jika semua cara perdamaian sudah ditempuh dan gagal, maka peperangan menjadi satu-satunya alternatif. Apabila ini terjadi, hukum peperangan internasional yang dirumuskan untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan harus tetap ditaati. Jika peperangan dimaksudkan untuk menghadirkan kedamaian yang benar, lebih besar, dan berkualitas, peperangan bisa dibenarkan.
Seandainya semua pertimbangan di atas tidak dipenuhi oleh suatu pemerintah, orang-orang Kristen harus berani menolak untuk ikut serta dalam peperangan. Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis 5:29). Bagaimana pun, secara umum berlaku prinsip ketaatan kepada pemerintah sebagai hamba Allah untuk kebaikan manusia (Rom 13:1-7).
Konklusi dari semua penjelasan di atas: keikutsertaan dalam peperangan yang sah bukanlah dosa, tetapi semua peperangan – bahkan yang sah sekali pun – bukanlah pilihan pertama maupun utama. Kita terutama terpanggil untuk menghadirkan kedamaian dan teladan anti-kekerasan. Semua sarana perdamaian harus diupayakan secara maksimal. Setiap kesempatan untuk menegakkan kedamaian dan keadilan harus diraih dengan sekuat tenaga. Seandainya pengorbanan kita lebih efektif dalam menciptakan perdamaian, kita harus belajar untuk memilih opsi tersebut.
Pada akhirnya, orang-orang Kristen yang menolak perang (disebut penganut Pacifism) maupun yang mendukung secara kritis (disebut penganut Just War) sebaiknya tidak mengembangkan sikap oposisi, melainkan solidaritas. Kedua pihak bisa saling terbuka, belajar dari yang lain, dan dengan demikian memperjelas posisi kita. Dua pihak ini memang berbeda konklusi, namun berbagi tujuan dan harapan yang sama: ketidakadaan perang dan kehadiran kedamaian di muka bumi.
Soli Deo Gloria