Apakah Orang Kristen Boleh Menggunakan Aplikasi Jodoh? (Bagian 2)

Posted on 14/10/2018 | In QnA | Leave a comment

(Lanjutan tgl 7 Oktober 2018)

Dengan mempertimbangkan semua poin di atas, marilah kita sekarang menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Apakah orang Kristen boleh menggunakan aplikasi jodoh?

Tentu saja boleh. Teknologi pada dirinya sendiri bersifat netral. Walaupun demikian, ada beberapa cara pandang dan batasan yang perlu diperhatikan.

Yang terutama, aplikasi jodoh bisa menjadi filter awal. Beragam info yang disertakan setiap profil perlu disimak dengan teliti. Apakah info tersebut benar? Apa yang bisa dipelajari tentang orang itu dari info yang dia sediakan? Sebagai tambahan info, seseorang juga sebaiknya menelusuri media sosial dari orang tersebut. Perhatikan setiap postingan yang dia unggah. Postingan seringkali mengungkapkan jati diri seseorang. Jikalau seseorang terlihat kurang tertarik atau kurang bersungguh-sungguh dalam urusan rohani, dia bukan opsi yang perlu untuk ditindaklanjuti.

Jika masalah kerohanian yang mendasar sudah beres, pertimbangkan juga faktor kesepadanan. Jangan meremehkan perbedaan yang terlalu kentara, baik secara fisik, sosial, maupun finansial. Jangan pernah berpikir naif bahwa cinta yang besar pasti cukup untuk mengalahkan semua perbedaan itu.

Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa dua orang dengan perbedaan yang terlalu tajam tidak mungkin menjadi pasangan yang baik. Poin yang ingin digarisbawahi adalah ini: “Perbedaan yang terlalu besar membutuhkan kemauan dan upaya yang lebih besar untuk mengaturnya”. Ketidakcocokan pasti lebih banyak. Tingkat adaptasi yang diperlukan jauh lebih tinggi.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah cara membangun relasi yang berkualitas. Banyak orang yang mendapatkan jodoh melalui aplikasi terpaksa menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship/LDR). Ini adalah situasi yang tidak ideal. Pengenalan yang mendalam seringkali sulit diwujudkan. Perbincangan melalui telepon atau video seringkali hanya diisi dengan obrolan yang ringan dan menyenangkan.

Untuk mengatasinya, setiap pasangan perlu mengisi perbincangan dengan topik-topik yang lebih mendasar. Diskusikanlah isu-isu kehidupan yang penting, misalnya keuangan dan keluarga, karir dan waktu bersama keluarga, citra diri masing-masing, kelemahan-kelemahan rohani, dsb. Buatlah komitmen untuk berjumpa secara langsung beberapa kali dalam kurun waktu tertentu. Bila diperlukan, kunjungilah pasangan dan lihatlah keadaan keluarganya.

Seandainya pandangan masing-masing tentang isu-isu yang penting sangat berlainan, cobalah untuk mendiskusikan secara jujur dan serius. Jikalau kesepakatan tidak dicapai, ambillah masa rehat untuk refleksi dan introspeksi. Jikalau memang tidak bisa diselaraskan, hal itu mungkin petunjuk dari Allah untuk berkata selamat tinggal kepada pasangan.

Hal berikutnya adalah proyek bersama untuk meningkatkan kedewasaan. Sekadar mengetahui atau mengakui kelemahan masing-masing tidaklah cukup. Bahkan kemauan yang besar untuk berubahpun tidak memadai. Perubahan harus direncanakan dan dilaksanakan. Dan ini harus dilakukan bersama-sama sebagai sebuah komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik bagi Allah dan pasangan.

Temukan area yang perlu diperbaiki. Tentukan strategi yang akan ditempuh (berdoa bersama, membaca Alkitab dan buku-buku rohani yang bermutu, berdiskusi, melibatkan diri dalam komunitas tertentu, meminta tolong seseorang sebagai entor, dsb.) Tetapkan durasi waktu yang akan dijalani. Evaluasi setiap prosesnya.

Poin terakhir adalah durasi pacaran. LDR jelas kurang ideal. Untuk menyiasatinya, perpanjang masa perkenalan atau pacaran supaya bisa lebih memahami satu dengan lainnya. Jangan terburu-buru untuk menikah. Nikmati setiap prosesnya. Perhatikan bagaimana Allah memimpin. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko