Apakah Orang Kristen Boleh Golput?

Posted on 07/04/2019 | In QnA | Leave a comment

Sebentar lagi negara kita akan mengadakan pesta demokrasi (Pemilu). Kali ini pestanya memang terkesan lebih besar. Pemilihan presiden, legislatif pusat dan daerah diadakan secara serentak pada 17 April 2019. Hawa persaingan makin memanas.

Di tengah situasi seperti ini sebagian orang, termasuk orang-orang Kristen, memilih untuk tidak berpartisipasi. Beragam alasan dikemukan sebagai pembenaran. Ada yang menganggap pemungutan suara adalah hak belaka, bukan kewajiban. Ada yang pesimis dan skeptis terhadap kemajuan negara ini. Ada pula yang sengaja memanfaatkan waktu pemilihan untuk liburan. Tidak ada alasan. Mereka juga mungkin merasa tidak perlu memberikan alasan atau pembenaran.

Bagaimana sikap yang benar terhadap pemilu? Bolehkah orang Kristen golput? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Alkitab tidak pernah menyinggung secara eksplisit tentang pemilihan raja atau lembaga legislatif lainnya. Di tengah keterbatasan ini, kita perlu memaksimalkan akal budi Kristiani.

Saya menyadari bahwa pemilu memang lebih ke arah hak daripada kewajiban politis. Setiap orang boleh menggunakan atau tidak. Walaupun demikian, menurut pendapat saya secara pribadi, untuk pemilu kali ini orang-orang Kristen tidak boleh golput.

Pertama, etika Kristen bukan masalah boleh atau tidak, tetapi membangun atau tidak (1Kor. 6:12; 10:23). Apa yang diperbolehkan secara logis atau teologis belum tentu harus dilakukan, terutama jika tindakan itu tidak membawa manfaat bagi orang lain atau membelenggu orang tersebut. Nah, dalam pemilu kali ini kita sama-sama mengetahui taruhan besar yang ada di depan. Antara nasionalisme versus sektarianisme. Antara keragaman versus keseragaman. Antara pemerintahan yang (terbukti) relatif bersih dengan yang menguatirkan (walaupun belum terbukti di depan). Jika seseorang memikirkan untuk golput, dia perlu menanyakan manfaat tindakan itu bagi kemanusiaan.

Kedua, orang percaya diperintahkan untuk mengupayakan kesejahteraan kota dan bangsa (Yer. 29:7). Ada banyak cara untuk melakukannya. Kita mungkin bisa berdoa syafaat bagi para pemimpin (1Tim. 2:1-4). Perintah untuk berkontribusi seperti ini tampaknya sulit diselaraskan dengan pilihan untuk golput. Kontribusi apa yang bisa diberikan melalui golput? Kalaupun salah satu calon presiden belum tentu memuaskan semua orang dalam semua aspek, paling tidak kita harus mengupayakan untuk menghindari pilihan yang lebih buruk.

Ketiga, Alkitab memberikan gambaran yang memadai tentang keadaan sosial yang baik. Allah menghendaki keadilan, kesetiaan, dan kerendahhatian (Mik. 6:8). Setiap orang perlu mengasihi sesamanya, tidak peduli keragaman etnis atau agama yang ada (Luk. 10:30-37). Orang-orang asing dan kaum marjinal perlu diperhatikan (Kel. 22:21; 39:9). Tidak ada pembedaan antara orang asli dan asing (Kel. 12:49). Nah, di antara calon eksekutif dan legisaltif yang ada, adakah yang menunjukkan upaya serius untuk menghadirkan semua hal positif ini? Jika memang ada, mengapa kita tidak menjatuhkan pilihan pada mereka? Bukankah calon yang sering menyoal tentang pribumi dan non-pribumi atau yang ingin mendirikan pemerintahan sesuai dengan keyakinannya sendiri seharusnya dibuat kalah dalam pemilu kali ini? Jika orang Kristen memilih untuk golput, mereka sedang menutup mata terhadap keadilan.

Sebagai konklusi, inti dari artikel ini bukan “orang Kristen harus menggunakan hak pilihnya”. Intinya terletak pada penggunaan hak itu untuk tujuan yang baik. Paling tidak, untuk menghindari yang lebih buruk. Nah, dalam pemilu kali ini, ada calon-calon tertentu yang sudah terbukti baik (bersih dan mumpuni). Calon-calon lain masih baru tetapi sudah terbukti bersih dari catatan kotor. Menjatuhkan pilihan pada mereka merupakan pilihan yang lebih bijaksana daripada tidak melakukan apa-apa. Ingatlah, tidak menggunakan hak pilih bukan berarti kita tidak memilih. Kita sedang memperbesar kemungkinan menang bagi calon yang lebih buruk. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko