Saya bisa memahami mengapa pertanyaan ini dilontarkan. Dari sisi teologis, tidak Alkitab mencatat bahwa orang-orang yang bukan termasuk kalangan rasul juga terlibat dalam baptisan, misalnya Filipus (Kis 8:12). Dari sisi praktis, segelintir petobat baru di daerah yang anti-kekristenan dan belum ada gereja juga perlu untuk mewujudkan imannya melalui baptisan. Apakah baptisan hanya boleh dilakukan oleh hamba Tuhan yang sudah ditahbiskan sebagai pendeta?
Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu menengok catatan tersirat yang ada di Alkitab. Matius 28:19-20 (dikenal dengan istilah “Amanat Agung”) mengajarkan bahwa penginjilan, pemuridan, dan baptisan adalah tidak terpisahkan. Teks ini juga menyiratkan bahwa yang berhak membaptis adalah mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi murid Kristus yang sejati (“ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”). Prinsip yang sama berlaku atas mereka yang bukan rasul. Filipus sudah menunjukkan kerohanian yang matang dan pengajaran yang baik di mata para rasul dan jemaat (Kis 6:3). Intinya, tidak semua orang boleh membaptis. Orang yang belum sungguh-sungguh menjadi murid (menunjukkan kesalehan dan memiliki pengajaran kuat) seyogyanya tidak menjalankan sakramen baptisan.
Sekarang kita akan mengaplikasikan prinsip teologis di atas ke dalam situasi modern. Secara teologis, siapa saja yang memenuhi persyaratan di atas diperbolehkan untuk melakukan baptisan, entah orang itu adalah jemaat awam, hamba Tuhan yang belum ditahbiskan, maupun pendeta. Yang penting dia benar-benar sudah menjadi murid, dan orang yang akan dibaptis benar-benar menunjukkan tanda-tanda pertobatan yang sejati.
Secara praktis, baptisan sebaiknya hanya dilakukan oleh mereka yang sudah ditahbiskan sebagai pendeta. Ada beberapa alasan bagi pandangan ini. Semua berdasarkan akal budi Kristiani yang diterangi oleh pengajaran firman Tuhan. Pertama, para pendeta biasanya sudah mendapatkan pendidikan teologi dan pembinaan karakter yang memadai selama di sekolah Alkitab. Mereka memiliki peluang yang lebih besar dalam memenuhi persyaratan untuk melakukan baptisan. Kedua, penahbisan pendeta mengandung makna apresiasi dan pengakuan terhadap kesalehan, kapasitas, prestasi, dan loyalitas dari hamba Tuhan tersebut. Mereka yang sudah ditahbiskan kemungkinan besar sudah menjadi murid Kristus yang sejati.
Mereka yang setuju dengan pelaksanaan baptisan oleh orang awam pun akan setuju bahwa tidak setiap orang awam yang mengaku diri Kristen diperbolehkan melakukan baptisan. Ada ukuran tertentu yang dipikirkan. Ada pedoman tertentu untuk membedakan. Jikalau ukuran dan pembedaan memang tetap diperlukan, mengapa tidak sekalian menjadikan penahbisan sebagai pendeta sebagai ukuran dan pembedaan?
Selain alasan di atas, kita juga perlu memikirkan dampak negatif yang mungkin muncul apabila setiap orang awam diizinkan untuk melakukan baptisan. Ukuran apa yang digunakan untuk membedakan orang awam mana yang layak dan tidak layak? Siapa yang akan menetapkan ukuran tersebut dan mengawasi pelaksanaannya? Tanpa penetapan dan pengawasan akan timbul kekacauan yang luar biasa. Itulah sebabnya mayoritas gereja hanya mengizinkan baptisan dilakukan oleh para pendeta.
Dalam konteks penginjilan di tempat yang sulit (sangat anti-kekristenan dan tidak ada gereja di sana), baptisan sebaiknya dilakukan di luar tempat itu dan oleh seorang pendeta dari tempat lain (jika memungkinkan). Apabila benar-benar tidak memungkinkan, baptisan bisa dilakukan oleh pekabar injil. Ini pun sebaiknya disertai dengan catatan bahwa pekabar injil tersebut sudah diakui kematangan rohaninya oleh gereja atau yayasan misi yang mengutus.
Pendeknya, tidak ada kemutlakan bahwa baptisan harus dilakukan oleh mereka yang sudah ditahbiskan sebagai pendeta. Walaupun demikian, akal budi Kristiani menuntun kita untuk memandang baptisan oleh pendeta sebagai praktek gerejawi yang lebih bijaksana. Kalau pun ada orang awam atau hamba Tuhan yang terpaksa menjalankan sakramen baptisan, mereka tetap harus mendapat pengakuan dan persetujuan dari orang-orang Kristen yang lain (gereja lokal). Soli Deo Gloria.