(Lanjutan tgl 23 September 2018)
Dia tidak menganggap Allah ceroboh atau kurang memperhitungkan konsekuensi dari tindakan-Nya. Poin utama yang dia ingin sampaikan adalah kualitas dan kekuatan kasih Allah yang begitu besar. Allah mau membayar berapapun harganya bagi kita. Dengan penuh kegigihan, Dia terus mengejar kita. Meminjam ungkapan dalam Bahasa Indonesia, Allah telah mati-matian mengorbankan segalanya untuk mengasihi dan mendapatkan kita. Jadi, dari sisi konsep teologis, Cory tidak terlalu berbeda dengan para pengkritiknya.
Kalau benar demikian, yang perlu dipersoalkan adalah pilihan kosa kata untuk mengungkapkan konsep tersebut. Kata “reckless” jelas terdengar negatif dan sangat dramatis. Namun, hal ini belum tentu pada dirinya sendiri keliru. Alkitab juga menggunakan beberapa kata yang bernuansa negatif untuk Allah. Sebagai contoh, Paulus pernah berkata: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1Kor. 1:25). Sesuai teks Yunaninya, ayat ini secara hurufiah dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Sebab kebodohan Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan kelemahan Allah lebih kuat daripada manusia”. Apakah kalimat ini berarti bahwa Paulus mengajarkan ada kebodohan dan kelemahan dalam diri Allah? Sama sekali tidak! Ini hanyalah sebuah gaya bahasa dramatis yang melebih-lebihkan untuk membuat sebuah kontras yang begitu tajam: kebodohan Allah melebihi kepandaian manusia yang tertinggi, kelemahan Allah melampaui kekuatan manusia yang terbesar. Contoh lain adalah memiutangi Tuhan. Siapa saja yang menolong orang yang lemah telah memberikan hutang kepada Allah (Ams. 19:17a). Allah akan mengembalikan apa yang sudah dia berikan kepada orang yang lemah itu (Ams. 19:17b). Dalam perspektif teologis yang lebih luas, tidak ada satu manusia pun yang dapat memiutang Allah. Segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Dia (1Kor. 4:7; Rm. 11:36). Walaupun demikian, Amsal 19:17 tentu saja tidak bisa dianggap salah. Kata “memiutangi” di sini digunakan dengan makna tertentu yang terbatas, sesuai dengan konteksnya.
Mempertimbangkan semua poin di atas, saya cenderung untuk memberikan lampu hijau bagi penggunaan lagu ini dalam konteks ibadah pribadi maupun bersama. Hanya saja, pemimpin pujian perlu memberikan klarifikasi seperlunya supaya tidak ada kesalahpahaman. Tidak ada plan B dalam rencana keselamatan Allah. Tidak ada satupun yang akan mengagetkan Dia. Membaca Efesus 1:4-5 atau 2 Timotius 1:9 mungkin bisa menjadi pembuka lagu yang baik dan bermanfaat bagi jemaat.
Bagi yang tetap tidak mau menggunakan lagu ini, sikap tersebut sah-sah saja. Masih banyak lagu lain yang mengajarkan konsep teologis yang sama yang bisa digunakan. Kita tidak seyogyanya bertengkar untuk hal-hal semacam ini. Soli Deo Gloria.