Apakah Lagu “Reckless Love” Boleh Dinyanyikan Dalam Ibadah? (Bagian 2)

Posted on 23/09/2018 | In QnA | Leave a comment

(Lanjutan tgl 16 September 2018)

Kita tidak boleh menuntut tata bahasa maupun arti semantik dalam kamus formal ke dalam syair atau lirik lagu. Penulis puisi dan pengarang lagu dalam taraf tertentu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan ide atau perasaan mereka melalui bahasa atau ungkapan yang tidak baku.

Masih terkait dengan poin di atas, kita juga perlu menganalisa konteks lirik lagu secara keseluruhan. Sebuah kata tidak boleh dikutip dan ditafsirkan terlepas dari konteksnya. Keseluruhan lirik menyediakan sebuah kerangka untuk memahami arti dari setiap kata yang ada. Prinsip ini bahkan berlaku untuk segala macam komunikasi verbal. Kita memerlukan sebuah konteks untuk memahami sebuah kata atau kalimat.  

Masih ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu konteks penggunaan lagu. Kontroversi seputar lagu Reckless Love harus diletakkan dalam konteks ibadah bersama. Seseorang dengan pemahaman doktrinal yang baik mungkin merasa tidak masalah dengan lirik lagu ini, karena dia bisa menafsirkan ulang kata “reckless” sedemikian rupa sehingga tidak bertabrakan dengan kerangka teologis yang dia yakini. Persoalannya, dalam sebuah ibadah bersama, apakah setiap jemaat akan memahami lagu ini dengan cara yang sama? Seandainya tidak, apakah ada dampak teologis yang buruk jika dinyanyikan bersama-sama di gereja?

Sesudah mempertimbangkan semua pemikiran awal di atas, marilah kita sekarang mencoba menjawab pertanyaan di awal artikel ini: Apakah lagu “Reckless Love” boleh dinyanyikan dalam ibadah? Cara terbaik untuk menjawab ini adalah mencoba memahami lirik itu dari perspektif pengarangnya sendiri.

Cory tentu saja menyadari kontroversi panas yang menyertai popularitas lagunya. Dia juga tidak tinggal diam. Salah satu respons yang dia berikan dalam akun media sosialnya adalah menekankan kata “kasih” (reckless love). Yang dia anggap reckless adalah cara Allah mengasihi kita, bukan pribadi Allah sendiri.

Penjelasan di atas, menurut saya, tidak terlalu banyak menjernihkan persoalan. Cara seseorang melakukan sesuatu seringkali mengungkapkan sifat orang tersebut. Sebagai contoh, orang yang mengerjakan sesuatu dengan berlambat-lambat sangat mungkin adalah orang yang malas. Orang yang tidak teliti dalam banyak hal sangat mungkin adalah seorang yang ceroboh. Hal yang sama bisa diberlakukan pada Allah. Jika cara Allah mengasihi kita memang reckless, bukankah itu bisa merujuk pada sifat-Nya pula?

Walaupun penjelasan Cory pada poin ini kurang memuaskan, tetapi penjelasannya secara keseluruhan perlu untuk dipertimbangkan.

 

Bersambung…………..

Yakub Tri Handoko