Kremasi merupakan salah satu cara penanganan jenasah yang dipraktekkan dalam budaya tertentu. Jenasah tidak dikuburkan ke dalam tanah, melainkan dibakar seluruhnya sampai tersisa abu dari tulang-tulang. Abu itu selanjutnya disimpan di tempat khusus dan diberikan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan. Ada keluarga yang menyimpan abu itu di rumah, ada pula yang membuangnya ke suatu tempat. Ada yang terus berdoa di depan tempat abu dan mendoakan almarhum(ah), ada yang sekadar menaruhnya di rumah tanpa melakukan ritual apapun.
Artikel kali ini hanya akan menyoroti praktek kremasi (bukan tindakan selanjutnya terhadap abu dari sisa tulang-tulang). Pertanyaannya begini: Apakah orang Kristen boleh dikremasi atau apakah orang Kristen boleh mengkremasi anggota keluarganya? Seperti biasa, pro dan kontra bermunculan seputar isu ini.
Mereka yang menolak kremasi pada umumnya memaparkan beberapa argumen. Pertama, Alkitab mengajarkan “dari debu kembali menjadi debu” (Kej. 3:19), bukan “dari abu kembali menjadi abu”. Kedua, praktek pemakaman yang umum dalam Alkitab adalah penguburan. Ketiga, kremasi menjadikan tubuh almarhum(ah) hancur sehingga terlihat kurang koheren dengan konsep kebangkitan tubuh di akhir zaman. Beberapa penolak kremasi bahkan meyakini bahwa tubuh yang hancur karena kremasi tidak bisa dibangkitkan lagi.
Mereka yang menyetujui kremasi juga mengajukan beberapa argumen. Pertama, cara pemakaman tidak mempengaruhi keselamatan almarhum(ah). Kedua, Allah sanggup membangkitkan tubuh yang sudah hancur. Ketiga, beberapa budaya memang melakukan kremasi. Akan jadi aneh apabila orang Kristen melakukan praktek pemakaman yang berbeda. Keempat, di beberapa tempat, biaya kremasi lebih murah daripada penguburan.
Bagaimana kita menyikapi perdebatan di atas sesuai dengan Alkitab dan akal budi Kristiani?
Pertama, Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa kremasi adalah sebuah dosa. Kalimat “dari debu kembali kepada debu” (Kej. 3:19) perlu dipahami secara tepat. Alkitab memberikan beberapa petunjuk bahwa tokoh-tokoh Alkitab maupun orang-orang Yahudi pada umumnya tidak memahami ayat tadi sebagai keharusan bagi penguburan ke dalam tanah. Sebagai contoh, nenek moyang Israel dikuburkan dalam sebuah gua (Kej. 23:9, 19; 25:9; 49:30; 50:13). Lazarus dikuburkan di gua (Yoh. 11:38). Yesus juga dikuburkan di sebuah gua (Mat. 27:59-60). Secara tradisi, banyak orang kaya Yahudi yang dikuburkan di gua. Jika benar demikian, tulang-tulang yang tersisa dari jenasah itu tidak benar-benar hancur. Sisa tulang-tulang yang ada dimasukkan ke dalam sebuah kotak bersama-sama dengan tulang-tulang lain dalam keluarga tersebut. Jadi, “dari debu kembali kepada debu” tidak boleh dipahami pada penguburan di dalam tanah.
Contoh lain yang patut dipikirkan adalah penguburan Saul dan anak-anaknya (1Sam. 31:11-13). Tentara Israel kalah telak dari pasukan Filistin. Saul dan anak-anaknya terbunuh dan tubuh mereka dipotong-potong serta ditancapkan di tembok kota Filistin sebagai bentuk penghinaan. Orang-orang Israel di Yabesi-Gilead lantas mengambil mayat itu untuk memberikan penguburan yang pantas bagi Saul dan anak-anaknya. Menariknya, penduduk kota itu memutuskan untuk membakar mayat-mayat tersebut, baru menguburkannya di bawah sebuah pohon. Mereka menganggap bahwa menguburkan anggota-anggota tubuh yang sudah terpotong-potong lebih memalukan keluarga Saul daripada membakar mayat-mayat mereka. Alkitab tampaknya tidak memberi petunjuk negatif apapun terhadap tindakan ini.
Kedua, cara penguburan tidak akan menghalangi kebangkitan tubuh. Keyakinan sebagian orang bahwa kremasi dapat menghalangi kebangkitan tubuh merupakan penghinaan terhadap kuasa kebangkitan Kristus. Kebangkitan-Nya berkuasa atas segala macam cara kematian dan penguburan.
Lagipula, konsep itu tidak adil bagi orang-orang Kristen yang meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar. Sejarah mencatat bahwa banyak orang Kristen di abad I-III yang dibakar hidup-hidup oleh para penganiaya mereka. Sebagian dari mereka dibakar hidup-hidup sebagai obor untuk menerangi stadion. Tidak sedikit yang diadu dan dimakan dengan binatang-binatang buas. Tubuh mereka tidak tersisa sama sekali. Bagaimana pula dengan orang-orang Kristen yang mati dalam kecelakaan pesawat terbang atau kebakaran bangunan?
Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa kremasi pada dirinya sendiri tidak melanggar prinsip Alkitab. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa kita boleh memilih cara apa saja dengan sembarangan. Kita perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengambil keputusan. Saya hanya akan menyinggung dua hal penting: bahasa simbolis Alkitab dan hati nurani orang lain.
Dari sisi simbolisme yang muncul dalam Alkitab, pembakaran tubuh manusia (mayat) memang menyiratkan sesuatu yang negatif. Orang-orang yang melakukan dosa besar dihukum dengan cara dibakar (Im. 20:14; 21:9). Contoh yang paling jelas adalah Akhan (Yos. 7:25). Bahkan kremasi terhadap jenasah Saul dan anak-anaknya juga dibalut dengan nuansa negatif (ketidaktaatan Saul yang menyebabkan kekalahan Israel dan kematiannya). Gambaran tentang neraka yang dikaitkan dengan api semakin menguatkan ide simbolis bahwa pembakaran atas tubuh seseorang menyiratkan sebuah kesan yang negatif. Walaupun semua data ini tidak menunjukkan bahwa kremasi keliru, tetapi kita tetap perlu mempertimbangkan kesan umum yang akan dimunculkan melalui kremasi.
Di samping itu, Alkitab seringkali menggambarkan kematian sebagai tidur panjang. Ide yang disiratkan mungkin adalah ketenangan dan istirahat dalam penantian yang berpengharapan. Ide ini akan lebih kuat diungkapkan melalui penguburan ke dalam tanah daripada kremasi. Paulus secara khusus menggambarkan kematian dan kebangkitan tubuh dengan metafora pertanian: biji yang ditanam ke dalam tanah akan diubah menjadi tanaman (1Kor. 15:37, 43-44). Metafora ini – sekali lagi – akan lebih mudah tersampaikan melalui penguburan ke dalam tanah daripada kremasi.
Selain bahasa simbolis Alkitab yang berhubungan dengan kematian, mayat, dan api, kita juga perlu menimbang hati nurani orang lain. Kita tidak boleh melupakan sebuah poin penting: penguburan bukan hanya masalah pencampakan atau penghancuran jenasah. Jika sekadar pembuangan mayat, mengapa mayat itu tidak dibuang saja ke tempat tertentu? Dalam banyak budaya, penguburan mencerminkan perhatian, penghargaan dan kasih sayang terhadap almarhum(ah). Nilai kultural inilah yang perlu dipertimbangkan.
Apakah itu berarti bahwa etika Kristen ditentukan oleh budaya? Tidak juga. Namun, Alkitab berkali-kali mengajarkan agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Apa yang boleh dilakukan tidak selalu harus dilakukan, jika itu berpotensi menimbulkan syak atau batu sandungan bagi orang lain (1Kor. 8:13). Kita perlu mengingat bahwa kremasi atau penguburan ke dalam tanah sama-sama tidak melanggar Alkitab. Dengan kata lain, isu ini sebenarnya sekunder (atau bahkan tertier). Dalam hal ini tidak ada kebenaran yang dikompromikan apabila kita melepaskan kebebasan kita sebagai orang Kristen.
Berpijak pada prinsip di atas, kita sebaiknya menggunakan akal budi Kristiani dengan cermat dan tepat untuk memutuskan apakah jenasah orang yang kita cintai sebaiknya dikuburkan ke dalam tanah atau dikremasi. Pilihlah opsi yang tidak ofensif terhadap keluarga besar (terutama jika mereka belum mengenal Allah). Pertimbangkan juga kemampuan keluarga dari sisi waktu, tenaga, dan dana.
Sebagai contoh, pemilihan metode penguburan ke dalam tanah perlu dipertimbangkan apabila keluarga mampu secara finansial dan mau merawat makam. Cara ini dalam banyak hal lebih memberi ruang untuk menunjukkan kepedulian terhadap anggota keluarga dan bisa menjadi sarana berkumpul dengan keluarga yang lain. Jika makam tidak pernah dikunjungi atau dibersihkan maka akan menimbulkan kesan negatif bagi anggota keluarga yang tidak Kristen. Walaupun penghormatan mereka terhadap almarhum(ah) seringkali berlebihan dan melanggar firman Tuhan, tetapi paling tidak mereka sangat menghormati orang tua atau anggota keluarga (bahkan yang sudah meninggal sekalipun). Orang-orang Kristen tidak boleh menimbulkan kesan sebaliknya: tidak peduli dengan keluarga yang sudah meninggal dunia. Soli Deo Gloria.